5. Maimunah

97 16 11
                                    

   Di pabrik kerupuk Cinta Rasa itu, Mas Tarmiji masih disergapi rasa sedih yang akibatnya bercampur pada rasa kerupuknya. Kawanan kerupuk pun ikut berbela sungkawa atas kepergian sang maestro pengoseng yang piawai dalam mengolah rasa dan bentuk kerupuk-kerupuk mungil itu. Sepi dan diam. Lidahnya terbelenggu oleh cengkeraman geraham yang membeku. Dingin. Tak ada lagi Pak Yanto yang akan meleburkannya.

   Semua. Semua hanya tinggal kenangan yang pasang-surut. Pucatnya rembulan dan murungnya mentari pun menyadari dan merasakannya. Pemantik tawa dan gembira itu sudah tak kuasa dirasakan lagi hawa keberadaannya.
                      
                              °°°

   2 Tahun berlalu setelah kepergian sang maestro oseng, Yusuf telah menginjak jenjang menengah yang pertama. Pikiran Mumun dirasuki begitu banyak hal. Apa ini anak akan dijebloskan ke Pesantren, atau dibiarkan masuk ke dalam kangkangan pemerintah di SMP Negeri 3 Majenang. Dua hal itu saling beradu di pikirannya. Mengutik-ngutik hingga membuatnya pusing keliling dunia. Hana yang juga sudah stay di kelas 6 menambah kalkulasi pikiran Mumun. Di samping dia sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Seorang ibu sekaligus ayah. Dua pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh dua orang. Tapi keduanya memeluk Mumun, sebagai objek motivasi Mumun untuk bertanggung jawab akan itu semua. Yin dan Yang berpadu di sana.

   Ia harus atraktor. Dan sebagai permulaan, dan permulaan harus dimulai dengan yang baik, bukan? Ia meminta nasehat, wejangan dan pendapat dari tokoh agama Wanareja, Ustadz Agus. 

   "Mbok ya, bagus dimasukkan ke Pesantren. Agama itu kan magnetis. Bermahkotakan agama, berdayangkan dunia." Kata Ustadz Agus menasehati.

   Cukup, setelah berkeliling antara pilihan satu dan pilihan dua, ia menetapkan, ia berproklamasi, angin dingin lewat melalui telinga kanannya dan bersemayam sebentar lalu pamit lewat telinga kiri sambil berdadah, Mumun akan menjebloskan anaknya, Yusuf, ke Pesantren.

   "Kau ingin ibu bahagia kan, nah, kau turuti dan nikmatilah. Jangan pulang lah kau ke sini, sebelum otakmu itu sesak dengan ayat Al Quran." Ibu memberi kata saku supaya menjadi pedoman Yusuf nantinya.

   "86 Bu. " sembari melayangkan tangan kanannya dan mendarat di pelipis kanannya.

   "Tapi ibu, ke negeri manakah ibu akan melabuhkan Yusuf?" Yusuf bertanya, sedang tangannya masih menempel di pelipis kanannya.

   "Aih... kau tunggulah kabar lagi dari ibu yah?!" Macam Yusuf, Mumun melayangkan tangan dan mendaratkan di keningnya yang mulai banyak tercoreng kerutan, mendarat dengan keras. 
  
   Ada satu yang tertinggal rupanya, ya. Ke mana Yusuf akan pergi? Entahlah. Biarkan Mumun yang mengatasi.

                              °°°

   Cilacap itu adalah tempat yang indah bagi para backpacker yang mencandui panorama alam yang asri. Yang suka menghutan, Cilacap adalah Kabupaten dan Kota berhutan yang apik dan cocok bagi yang menyukainya. Yang suka menghutan bisa pergi ke Cilacap jika ingin merasakan hantaman sensasi natural dari alam, suara anjing hutan yang melolong-lolong, atau raungan dari serigala asli atau juga serigala jadi-jadian, semua ada di Cilacap. Komplit.

   Kepulan angin yang berdebur di sana juga amat menyerang, sehingga sanggup menusuk-nusuk sampai ke tulang sensasi dinginnya. Dan, Yusuf adalah orang asli Cilacap, yang tak lama lagi akan minggat untuk menambah pundi-pundi perbendaharaan pengetahuannya di negeri antah-berantah. Belum pasti. Mumun juga disergapi dilema berkepanjangan. Hana, santai-santai saja. Tak apa.

   Bayangan hipotermia yang kapan saja bisa merasuki mereka, sudah menjadi wacana tak terbaca saja. Bayangan itu mereka hiraukan. Hanya Mas Inyong yang kadang kalang kabut dibuatnya, karena daging yang mengisi tubuhnya itu minim.

   Mumun, setelah mencari referensi, hilir mudik ke sana ke mari, akhirnya berhenti pada suatu tempat, yang mana di sana ia mendapatkan informasi yang bagus untuk kelanjutan langkah Yusuf dalam menghimpun ilmu. Bu Fitri adalah orangnya. Karena Bu Fitri ini orang berpendidikan, satu-satunya orang di Wanareja yang mempunyai gelar formal, dan dengan kepiawaiannya dalam mengolah ilmu dan mengucurkannya ia menjadi salah satu orang terpandang di sana. Selain Mas Udin pemilik saham pabrik kerupuk Cinta Rasa yang monumental itu. Muntab.

   Bu Fitri yang berkulit putih macam orang Jepang dan berbadan ideal berkerudung lebar itu memang mempunyai banyak kenalan dalam bidang kependidikan. Karena Bu Fitri ini diwisuda dengan gelar S.Pd , sehingga ia menjadi sumber dan wadah untuk bertanya masyarakat Wanareja pasal kependidikan. Mumun pun ikut-ikutan.

   "Anak kamu ni, usia yang produktif dan aktif ini, alangkah bagusnya jika Quran itu yang mendiami kepalanya terlebih dahulu. Kau tahu kan maksudku, ya, kau jebloskan si Yusuf ini ke Pesantren Penghafal Quran." Bu Fitri menjelaskan kepada Mumun dengan gaya dan gestur yang rada menjengkelkan.

   "Keren lah namanya... aku suka itu. Tapi, di mana? Ibu tahu kah?" Mumun masih menyimpan segudang tanya dalam sanubarinya.

   "Emm... jika Bu Mumun tak keberatan, di Bekasi itu ada sebuah Pesantren Penghafal Quran yang, yah, pasaknya tak akan melebihi tiang." Bu Fitri berkata-kata.

   "Ohh... bisakah Bu Fitri mengabarkan alamatnya?" Mumun dengan nada meminta.

   "Iya... nanti menyusul yah?!" Tukas Bu Fitri.

   Setelah bersalaman dan mengucap salam, pergilah Mumun kembali ke habitatnya dengan keluarga tercintanya. Yusuf dan Hana berada di rumah, menanti-nanti jawabannya. Yusuf yang penasaran bukan kepalang. Ini menentukan tapak lanjutan kisah hidupnya. Ini taruhan. Antara Yusuf dengan dirinya sendiri. Tubuhnya pun tak kuasa menahan degupan jantungnya yang bergetar hebat, Hana pun sampai pusing dibuatnya.

   Ketika Mumun sampai di muka pintu, mengetuk pintu sembari mengucapkan salam, Yusuf yang mendengar suara tiba-tiba itu terjerembap karena berlari ingin membuka pintu. Ini saatnya menoreh taruhannya, angin baik atau burukkah yang akan dihembuskan di telinganya yang macam panci itu. Ia siap mendengarkan apapun yang ibunya ujarkan. Apapun itu. Telinganya telah memasang kuda-kuda yang mantap.

   "Nak, kau tahu..." Mumun berlagak dramatis.

   "Apa bu?" Yusuf terdramatisasi.

   "Emmm... " Hana dijangkiti rasa penasaran yang dalam.

   "Kau benar-benar akan ibu jebloskan ke Pesantren. Biar kau dan ayahmu senang juga bangga. Ibu dan Hana juga pasti akan bangga jika begitu. Ya kau juga tahu sendiri, apapun asalkan Allah ridha kan? Jadi, kau akan ibu berangkatkan ke Bekasi sana. Biar kau bergaul dengan Para Pejuang Quran di sana." Kata Mumun sambil menyentuhkan telapak tangan kasarnya ke atas  kepala Yusuf.

   "Allahumma... benar bu?" Yusuf terperanjat dan terlihat gembira.

   "Insya Allah... ibu juga yakin ini yang ayahmu damba, menjadi Penghafal Quran sekaligus Pejuangnya." Mumun masih menyimpan rindu terhadap Pak Yanto. Tak habis dan tak akan pernah. °°

Pecandu SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang