Dua, karena Jungkook benci mendung.***
Jimin keluar gerbang kampus hampir pukul tiga sore. Wajahnya kusut, kaos lecek bekas main softball tadi, dan dia berkeringat; banyak.
Celana jeansnya kecipratan lumpur lapangan dan sekarang dia mirip sekali dengan gembel yang ada di dekat rumah.
(Dengan rambut berantakan dan wajah berminyak–jadi, ya, memang khas sekali jika Park Jimin menggembel di sesorean seperti ini.)
Jimin diam-diam tertawa ketika belok di jalanan tempat parkir di mana mobilnya disimpan. Tadi, di kelas ketiga, Profesor Choi memberi mereka masing-masing satu pak permen karet rasa jeruk.
Kalian semua keliatan tua sekali, dia bilang begitu sambil menepuk bahu Jimin yang duduk di samping Seongwoo. Jimin hanya menaikkan sebelah alis, berpikir, memang darimananya relasi seperti itu sambil membuka satu plastik permen pembungkusnya.
Lalu, Jimin teringat tentang Jungkook.
Tapi Jungkook hanya datang saat malam, dan sore ini langit masih mendung. Jimin tidak suka jika Jungkook datang dalam cuaca begini. Karena selain itu bakal membuat Jungkook sakit, Jimin juga tidak bisa menghampirinya sekalipun Jungkook berteriak.
"Halo, gembel. Sendirian?"
"Jangan menakutiku seperti itu, sialan." Jimin mendelik dari sudut matanya, memukul kepala Taeyong sampai cowok itu meringis ngilu. "Gila. Kau makan apa sih sehari-hari? Bagaimana kalau otakku miring kena tanganmu itu?"
"Yah, tinggal di obati. Pacarmu 'kan, anak kedokteran."
"Kedokteran gundulmu. Dia punya cewek lain, asal kau tau."
Jimin mencebik, tapi ada seringai membayang di sudut bibir. "Siapa?"
"Oh, apa kau perlu tau lalu berbuat aneh-aneh seperti kemarin itu?"
"Hmm," Jimin cuma manggut-manggut menanggapinya, seolah mendengarkan padahal Taeyong yakin Jimin dalam hati sudah menyusun selusin rencana kotor. "Oke, oke. Dan, Seongwoo? Dia di mana?"
Oh. Ada yang aneh.
Taeyong tidak sadar menjilat bibir dan menusuk pinggir mulutnya pakai lidah, bertanya, "Memangnya kenapa?" lalu diam-diam merutuk karena suara yang dia keluarkan malah mirip cicitan tikus.
"Kenapa apanya?"
"Seongwoo ada janji bareng Minhyun 'kan, tadi." Jawaban itu terlalu kabur bagi Jimin dan Taeyong tau, jadi dia menambahkan, "kurasa dia ada tugas dengan senior Taehyun juga. Kau tau kan, anak teknik itu bagaimana. Masa kau mau dia memasak melulu untukmu?"
"Tapi masakan Seongwoo 'kan, enak." Jimin tau dia sedikit agak kelewat batas dengan omongannya, tapi dia tidak suka jika sahabatnya main bareng orang lain–apalagi Seongwoo, dan, Jimin kira, itu karena Seongwoo terlihat seperti seorang abang sedang Jimin hanya punya Jungkook saja.
("Suka Iron Man juga?"
"Oh, RDJ jelas-jelas cowok paling keren sedunia! Tapi Cevans mungkin- Astaga, maaf, aku bahkan tidak menanyakan namamu-"
"Jimin. Park Jimin saja. Kau Ong Seongwoo, 'kan? Pidatomu tadi pagi benar-benar keren. Dan mantel birumu, man, kamu kelihatan bersinar sekali.")
"Ya sudah, biar aku saja yang memasak untukmu." Taeyong akhirnya bilang.
Jimin mendelik, tapi juga tidak menjawab tidak. Dia hanya mencangklongkan ransel di bahu sambil membetulkan lipatan berkas di sana. Kelihatannya berat sekali, dan Taeyong ingin (paling tidak) membantu mengangkatnya sampai Jimin duduk manis di dalam mobil.
"Terima kasih, Lee. Tapi sekarang sudah sore, dan aku takut pawangmu memarahiku nanti."
Dahi Taeyong mengerut dalam. "Jaehyun bukan pawangku."
"Iya, bukan. Tapi belum–tidak ada bedanya." Jimin mengeluarkan cengiran main-main sambil buka pintu mobil belakang.
"Pulang sana. Aku malas berdebat. Nanti Jungkook lama menunggu."
Mendengarnya buat Jimin agak tersenyum simpul.
"Baiklah. Jangan lupa bilang Seongwoo untuk mampir ke rumah besok, oke?" Jimin berkata sambil mengulas tawa, gagal. Dia lebih mirip meringis ketika Taeyong hampir berbalik dari tempatnya.
(Dan Jimin berharap, sedikit, kalau sahabatnya itu tidak jadi pergi tapi bertanya: ada apa? sehingga Jimin tidak perlu tersenyum seakan dia sedang baik-baik saja).
"Aku juga ikut, 'kan?"
"Tentu saja. Memangnya, kau mau main dengan si Jung seliburan nanti?"
Taeyong mendesis. "Sialan. Mati sana."
"Aku juga cinta kau, Kak. Jangan pulang malam-malam, oke? Cowok cantik sepertimu bisa dilalap habis orang jahat di luar sana." Jimin menyeringai, langsung memutar setir ketika Taeyong melempar dua sampah kaleng minuman soda ke jendela mobil ("Awas, Park! Lihat saja nanti!")
Tawa Jimin keras, keras sekali mirip orang gila. Mungkin karena Jimin tadi pagi minum kopi pekat campur susu tanpa tambahan gula, atau mungkin karena Jungkook rewel sekali tadi malam, Jimin tidak tau pasti.
"Titip salam buat adikmu, ya!"
Jimin melambaikan sebelah tangan ke luar jendela, tersenyum, miring. Taeyong mirip sekali dengan yang lain, tidak tau apa-apa, tapi baik sekali hingga Jimin kadang merasa aneh bercengkrama dengan bocah Lee itu.
"Ya, aku pastikan Jungkook mendengarnya!"
Bohong.
Jungkook tidak bakal pernah dapat salam apapun, tidak karena dia sudah mati dari dulu.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
ᵗᵃᵏᵉ ᵐᵉ ᵃʷᵃʸ
Hayran Kurgujimin memimpikan jungkook semalam. semalam yang lalu, semalam kemarin, semalam dulu.