'Si Penyair Puitis'

195 6 9
                                    

Kersak-kersak sekop tak hanti-hentinya menggema di gendang telingaku, dan sudah menjadi teman karib semenjak aku berada disini, karena keterpaksaan kondisi keluarga yang sengsara. Semua karena salah dia, kertas yang 'diberhargakan', bagaimana mungkin kertas-kertas itu dapat merubah hidup seseorang?, tetapi, jikalau kupikirkan, bukan dialah pelaku utamanya, tetapi sistem pemerintahan negeri ini yang porak-poranda dirundung banyak racun kobra yang bercercaran di alas perpolitikan, hancur karena ambisi, kekuasaan, pangkat, gelar, dan yang utama, pastinya dia, sikertas-kertas yang 'diberhargakan' itu.

Uang rakyat digilas oleh tangan-tangan berlendir yang telah diludahi para setan-setan, mengelabuhi para sipir penjaga lembaran bergambar itu, bebas berfoya-foya, menghabiskan uang itu dibalik layar kebijaksanaan yang ditampakkan, memperlihatkan banyak ketololan yang sudah mereka ciptakan sendiri dibalik baju bagusnya itu, 'Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga' mungkin begitu, kalimat yang sekarang digunakan untuk menunggu si iblis tupai sampai jatuh, suatu saat pasti akan terbuka, gembong kebiadaban yang selama ini tertupup rapat oleh dinding baja terkuat didunia (itu menurut mereka), kejahatan akan kalah oleh tebas cahaya kebenaran.

"Tavel, ini upahmu hari ini" Ujar Bosku, sambil kuulurkan tangan kotor yang masih berserak pasir, ini sudah hampir 2 dua minggu, tubuhku berpacu dengan pekerjaan kasar yang sebenarnya biasa dilakukan oleh lelaki, sebetulnya, ini bukanlah tempat untuk seorang wanita berusia 15 tahun untuk bekerja, mengais uang di derasnya arus sungai berbahaya, mengeruk pasir untuk diperjualbelikan oleh Bos, ini adalah sumber pendapatan sampingan keluargaku, ayah telah lama sakit dan tidak bisa menafkahi perut-perut kecil, yang membutuhkan beberapa suap saja untuk tetap bernafas dikefanaan dunia, miris sekali memang, saat aku melihat keindahan alam yang diberkatkan kepada negeri ini, kekayaan-kekayaan yang dapat dioptimalkan menjadi sebuah bongkahan emas besar yang menggelora, menggema dicakrawala menjadi sebuah negara kuat serta disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Tetapi semua itu agaknya sudah menjadi sebuah tisu tipis, yang digunakan dengan tidak bijaksana. Melukai semua mata dan hati para pengharap kesejahteraan, mereka ini dirundung kemiskinan yang amat dahsyat, orang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin serta melarat, tentunya.

Hutang negara dimana-mana, kesengsaraan telah mencapai setengah populasi rakyat yang mendiaminya, merasa tidak beruntung, karena dilahirkan di negeri kaya tetapi miskin adanya. berjibaku dengan kemelaratan setiap harinya, disamping itu kriminalitas semakin menjadi-jadi, setan telah berhasil menjelmakan banyak anak manusia menjadi budaknya, harapan hidup sangat kecil presentasinya, "Percuma bermimpi menjadi seseorang yang besar, jika kau berasal dari populasi yang berpangkat 'kemelaratan'." Begitu ungkapan yang selalu diutarakan. Bangsa ini telah dicap menjadi salah satu wilayah dunia yang tidak aman, kerja sama regional telah diputuskan sepihak, karena saking ketidakpotensialnya menjalin kerjasama, akhirnya negara ini tidak memiliki hubungan regional dengan bangsa lain.

***

Perkenalkan diriku, remaja tanggung yang mencoba berdiri dengan satu kaki, menerabas, menerjang badai, dan terkadang terombang ambing di derasnya kekejaman pusaran puyuh mematikan, namun disela-sela nafas ini, aku akan terus berjuang, layaknya kekokohan batu karang, yang selalu teguh disaat ombak menghempas, mengangkat pedang laksana kesatria, Tevelina namaku, 'si penyair puitis', itu adalah julukan dari teman-temanku, entah apa yang mereka pikirkan, sejujurnya itu adalah julukan yang tidak sepantasnya aku sandang.

Kemampuan berimprovisasi dengan kata-kata, aku dapatkan dari perenungan hati yang tercabik, terluka oleh keadaan yang mendesak, bermunculan dan bermanifestasi menjadi bunga-bunga kalimat indah nan elok saat kau membacanya, wadah penjelmaan kata-kata hati yang sulit kuungkapkan dengan suara, mengais kisah dari kalbu, yang aku kuatkan agar tabah, menjadi kertas penderma, pahlawan yang aku butuhkan ketika hatiku rancau membiru dan tersakiti. Selembar kertas adalah obat hatiku, pelipur lara yang selama ini menyelamatkan aku, dari kebiruan jalan hidup yang sangat sengsara.

TavelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang