"Tidak!, pokoknya kamu tidak boleh ikut!." Seru ayah diatas kasur kusut bobrok yang sebentar lagi amblas dimakan waktu.
Aku keget dengan respon ayah, kukira beliau dengan senang hati memperbolehkanku untuk mengikuti ajang yang sangat bergengsi ini, kapan lagi aku mendapatkan kesempatan sebesar ini?, yang aku tahu kesempatan tidak datang dua kali. Aku akan terus berusaha agar dapat terbang tinggi di langit Inggris.
Sedangkan Ibu dan adikku sangat mendukung lompatan besar yang akan kulewati, seluruh teman dan sekolah tentunya sependapat dengan mereka. Bahkan lingkungan rumah telah memberi apresiasi dengan apa yang telah aku capai, berharap dengan adanya salah satu pemuda kampung Gohai berprestasi, semua berharap pemerintah akan melirik kami, dapat membenahi infrastruktur dan mendengar aspirasi serta keluhan para warga. Tapi mungkinkah?, padahal mereka sedang sibuk berkelahi layaknya anak TK. Menghiraukan kemelaratan yang berguntur-guntur di atas aspal tikar ketidakmenentuan, keterlaluan.
Aku tak tahu menahu apa maksud larangan beliau untuk tidak memperbolehkanku mengikuti kompetisi ini, sulit sekali rasanya jika tak mendapat restu kedua orang tua, tetapi kali ini berbeda, ibu telah memperbolehkan dan sangat menyetujui sedangkan ayah sebaliknya.
Ayahku adalah orang yang memiliki pendirian, tak akan merubah keputusan jikalau dalam suatu keterpaksaan. Meskipun sekarang ia terbaring payau diatas ranjang, ayah tetaplah ayah, bertubuh tinggi jangkung, berjenggot lebat dan berkumis tipis. Agamis dan sangat menjunjung kejujuran.
Melelehkan hatinya tak semudah membalikkan telapak tangan, aku harus memiliki alasan yang tepat dan rasional jika ingin mendapatkan hati ayah yang sekokoh benteng besar membujur di negeri Cina. Apapun yang terjadi aku harus mengikuti kompetisi ini, aku telah mendapat dukungan penuh dari semua lapisan elemen, yang pastinya lebih dari cukup untuk mendorong dan memotivasiku menjadi lebih berkobar seriuh badai api yang gontai memekik.
"Ayah sangat menyayangimu Tavel, ayah tak akan menyetujuimu pergi ke negeri antah berantah yang sama sekali belum ayah dengar, apa itu? Ing-grr-is? negeri seperti apa itu? keputusan telah dijatuhkan, tak akan ayah izinkan, pada waktu kau hilang ditelan sungai, komat-kamit ayah berdoa agar kamu segera ditemukan dalam keadaan sehat, ibu dan adikmu shock setengah mati mendengar berita itu, sedangkan ayah tidak bisa membantu apa-apa, sakit dan tak berdaya, ngilu hati ini." Ayah bedeham batuk tak keruan, aku sedih dengan kondisi ayah yang sakit-sakitan seperti ini. Sontak ayah melanjutkan perkataanya.
"Disini saja kau tidak bisa menjaga diri, apa lagi jikalau ayah mengizinkanmu? apa jadinya nanti?, ini semua untuk kebaikanmu nak" Beliau berdeham tak keruan lagi, jikalau bisa aku akan mengorbankan seluruh yang kupunya untuk kesehatan ayah.
Ultimatum yang ayah lontarkan seperti sabda yang mengiang-ngiang di tempurung otakku, menggerimisi hati yang sebenarnya sudah becek dengan segala kepayahan dan kemelaratan. Ayah tetaplah ayah, tak dapat diganggu-gugat, aku harus menghormati keputusannya, ibu sekalipun tak dapat membantah apalagi adik, kendati demikian aku akan terus melembutkan batu karang kokoh menjadi semangkuk bubur yang kalut diaduk sendok.
"Sampaikan maaf ayah pada Ibu Yati yang berharap banyak demimu nak, sampaikan jua alasan kenapa ayah tak mengizinkamu mengikuti kompetisi ini." Beliau batuk lagi untuk yang kesekian kalinya.
Sebelum pulang sekolah tadi, aku sempatkan untuk mengunjungi Ibu Yati yang kabarnya sedang berada dirumah sakit, katanya ia sempat memasuki kamar IGD. Syukurlah kondisinya sekarang baik, aku hanya bisa melihatnya dibalik kaca pintu, terbaring lemas menggunakan alat bantu oksigen, infus yang tertancap di pergelangan tangan dan terkulai pingsan oleh penyakit yang sama sekali tak diberi tahu oleh sang dokter yang merawatnya, perawat itu berkata kondisi Ibu Yati sudah baik dan kondusif, sebentar lagi pulih, sabdanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tavel
General FictionPerjuangan seorang anak manusia yang berusaha berdiri diantara derasnya terjangan angin puyuh mematikan, 'Si Penyair Puitis', begitulah julukannya. Mencoba mewarnai kerasnya dunia dengan tangan halus yang berserak pasir. Persahabatan adalah panji y...