Randu Biola dan Harpa

50 2 2
                                    

Dua detik pertama terasa sunyi senyap, aku menurunkan tangan lalu menunduk di atas kursi. Ingin rasanya kumenangis, gagal menjaga martabat sekolah dengan penampilanku yang pas-pasan. 'Memalukan!, ini sangat memalukan!' gumamku dalam hati.

Dua detik selanjutnya masih terasa gelap gulita, lalu aku memutuskan turun dari panggung dengan tidak mengangkat kepala, menunjukkan penyesalan yang amat sangat, menahan malu berkepanjangan.

Saat aku telah berada dimulut panggung, tiba-tiba terdengar suara dari barisan yang paling depan!, tepuk tangan!, disusul tepuk tangan penonton yang saling bersahtut, menjalar bagai domino. Ruangan semakin menggemuruh dengan teriakan dan suitan, ruang seni seakan bergelora. "Appassionata!" seru juri-juri yang berada didepanku tadi, aku melihat mereka sangat antusias, juga ikut menempelkan tangan sekeras-kerasnya.

Hatiku serasa bergelimpangan kebahagiaan, yang tak dapat kukatakan dengan kalimat puitis milikku. Tertembak panah merah hati, seperti yang didongeng-dongeng itu. Mungkin begitu suasana hatiku kali ini, seperti roda, kadangkala berada di bawah, dan kadangkala berada di atas. Untuk yang terakhir kalinya, aku melihat para juri menuliskan nilaiku dengan lebih bertenaga, penuh senyum kebahagiaan, sepertinya lagu yang aku bawakan tadi membakar hati mereka, bergejolak melonjak-lonjak sehingga terlihat sangat bersemangat, oh benarkah?.

Ibu Yati sudah menungguku dimulut panggung, melambaikan tangan mengisyaratkanku untuk turun dan menemuinya. Tidak disuruh dua kali aku berlari dan memeluk Ibu Yati, meneteskan air mata haru dibawah raung penonton yang masih bergemuruh dan menggelora, aku sudah turun dari panggung tetapi tetap saja riuh belum usai, sehebat itukah penampilanku tadi?.

Beliau menghapus air mataku dengan tangannya yang telah berkeriput, aku melihat matanya untuk yang kesekian kalinya, ia terlihat sangat bahagia, amat sangat. "Ini adalah yang pertama kalinya Ibu mempunyai siswa spesial sekaligus spektakuler, ini adalah kado terindah darimu untuk Ibu." Aku merasakan deru napasnya perlahan melambat, terengah-engah. Seketika beliau melepas pelukanku, tiba-tiba ia terhuyung lemas dan jatuh pingsan dengan derasnya air mata yang terbuai di pipinya itu. Apa yang terjadi!?.

Sontak suara gemuruh yang tadinya tercengang karena penampilanku tadi, berbalik mejadi teriakan histeris. Aku mencoba menahan tubuh beliau agar tidak tersungkur ke lantai, serta berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria mendekat dan membawa beliau ke UKS, memberi pertolongan pertama sembari menunggu datangnya ambulan. Sedangkan aku harus tetap berada di tempat ini, karena peserta dilarang untuk meninggalkan seleksi ini meskipun telah tampil, harus menunggu pengumuman.

Aku mengatupkan rahang dan menutup mulutku dengan tangan yang bersimbah air mata Ibu Yati, hatiku amat terpukul karena kejadian ini, semoga dalam doa yang aku lantunkan untuknya, tidak terjadi apa-apa pada Ibu Yati.

Acara terjeda 10 menit, lalu panitia memutuskan untuk tetap melanjutkan seleksi ini, masih tersisa dua orang peserta. Aku duduk dikursi yang sebelumnya dipakai oleh beliau, menyedihkan sekali, padahal baru beberapa saat aku merasakan kebahagiaan yang teramat sangat, tiba-tiba terpukul oleh kejadian ini, sungguh memilukan. 'Be positive!' semua akan baik-baik saja, gumamku dalam hati agar tegar.

Kulihat disana, perempuan dengan postur sedang, tersenyum diantara keheningan penonton. Memegang biola dengan mantap serta alat panjang yang siap digesekkan pada senar yang terbentang. Ia membungkukkan badan empat puluh lima derajat tanda salam pertama kepada khalayak. Mengambil langkah kokoh kedepan, menaruh biolanya disekujur tangan kirinya dan memiringkan kepalanya kompak kekiri, menyangga benda itu dan mulai melepaskan gesekan pertama.

Ia menari, berjalan kesana kemari mengikuti alunan yang tercipta oleh gesekan lembut nan syahdu, tak salah lagi, itu lagu 'Album Biru' my favorite song!. Ini sangat lain dan berbeda dari suara si hijau, denting yang tercipta terlihat sangat syahdu nan nikmat, sesekali ia membuat improvisasi yang mengagetkan, membuat bulu kuduk berdiri, mengagumkan!. Inikah kekuatan dari biola yang sesungguhnya?.

Beberapa orang disampingku terlihat mulai meitikkan air mata, lagu yang dibawakan olehnya membuat hati siapapun ngilu, termasuk aku sendiri. Menembus ruang terdalam semua insan, ia telah merebut hati para juri, spektakuler. Orang-orang langsung memberi standing aplose kepadanya, tetapi ia hanya melambaikan tangan ke arah penonton yang bergemuruh lalu turun dari panggung.

Peserta terakhir yang satu ini sangat berbeda daripada yang lain, laki-laki yang bajunya lecek dan kusut berdiri ditengah panggung, ia diantar oleh seseorang. Tetapi, hei!. Dia menutup matanya, tak sekalipun aku melihatnya membuka mata. Ada apa gerangan dengan peserta ini? Buta, ya! sepertinya dia buta. Dan alat musik apa yang akan ia mainkan? ini mustahil!, batinku didalam hati.

Seseorang berjalan menuju panggung membawakan alat musik harpa, aku kaget bukan kepalang, ia akan memainkan harpa!, simfoni yang sangat langka, aku belum pernah melihatnya sedekat ini. Bahkan para juri pun kaget setengah mati, 'anak yang tak bisa melihat mengikuti seleksi ini?', mungkin begitu pertanyaan para penonton yang kebingungan. Seketika ruangan sedikit riuh dengan kejutan yang dibawakan olehnya.

Orang itu meletakkan harpa didepan laki-laki itu, memberi kursi lalu mengisyaratkan ia untuk duduk dikursi. Seketika semua orang bungkam, memperhatikannya dengan seksama.

Dia menghela napas panjang, dengan mantap ia memetik senar vertikal didepannya, tanpa melihat!. Kulihat tangannya lihai memainkan harpa, lantunan yang mengalun bagai gemercik air pagi hari yang menenangkan. Aku tak tahu lagu apa yang ia bawakan, tetapi itu lebih dari cukup untuk mencengangkan seisi ruangan. Siapapun yang melihat penampilannya pasti akan terharu, terhanyut dalam intuisi yang ia sampaikan dengan caranya sendiri.

Dan saat ini pula terdengar samar, suara tertahan karena kejutan lain yang dibawanya ini, sungguh manusia ajaib bertalenta. Air mataku tak kuasa menahan sedih, semua orang pun demikian, bahkan para juri pun kulihat telah berserak air mata.

Cantik, hanya satu kalimat yang dapat menggambarkan kemahirannya dalam memaikan harpa, ia memang tak bisa melihat dengan matanya, tetapi ia bisa melihat bersama cetik tangannya. Hingga akhirnya dia menyelesaikan lagu itu dengan sempurna, tanpa kesalahan, dan memukau seluruh penonton diruang seni, seluruh orang memberi standing aplose kepada manusia ajaib ini.

'Inilah kekuatan musik yang sesungguhnya', kataku dalam hati, sambil memikirkan kondisi Ibu Yati saat ini, sayang beliau tidak bisa melihat pertunjukan dua peserta terakhir tadi.

Tiga puluh menit para juri terlihat berdebat, mungkin ini keputusan yang sulit bagi mereka. hingga akhirnya telah mencapai mufakat. Keputusan telah dibuat di atas kertas. Salah satu dari mereka berdiri ditengah panggung.

"Semua peserta telah menampilkan perform yang memukau, berusaha memberikan kemampuan sepenuhnya untuk seleksi bergengsi ini, dari sini akan kami ambil tiga orang dengan penampilan terbaik, setelah melalui keputusan yang panjang akhirnya didapat." Suasana diruang tahta permusikan seketika hening dan mendebarkan.

"Satu, diraih peserta nomor urut 30, peserta terakhir atas nama Rendi Kurnia, dua, diraih oleh peserta nomor urut 29, atas nama Shafiya Anggraeni, tiga,..."

Namaku tak kunjung disebutkan, hatiku semakin berdebam-debam kalang kabut, aku kaget bukan kepalang!.

"...diraih oleh peserta nomor urut 28, atas nama Tavelina." Aku senang bukan main!, aku dapat lolos dari seleksi ini, tetapi tunggu!, sang juri masih belum selesai membacakan tulisan-tulisan yang masih bersisa diatas kertas tersebut.

"Dengan keputusan yang telah diambil, tiga anak muda ini akan mewakili Indonesia di ajang Festival Musik Dunia, Kota London, Inggris"

Aku mengatupkan rahang, tak percaya dengan kata-kata yang terlontar oleh orang yang berdiri di atas panggung tahta permusikan sekolah. Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Aku? Tavelina? gadis kusut dari kampung Gohai akan mendarat di Inggris?, aku tersungkur ke lantai, sujud syukur aku panjatkan kepada tuhan, seandainya Ibu Yati disini, pasti dia akan sangat bangga, dan juga keluargaku di rumah. Aku menangis dan terharu. Semoga ini adalah awal yang baik bagiku, diberi kesempatan untuk terbang menggapai bintang di langit Inggris.

Bersambung di "Tiga Bintang"

Beri vote dan dukungannya untuk Tavel ya, gadis ajaib ini akan menggema di salah satu langit Eropa bersama dua teman barunya itu, Rendi Kurnia dan Shafiya Anggraeni.

TavelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang