Kali ini aku sedang bersinggah duduk, diruang tahta permusikan sekolah. Bersama dengan teman-teman lain, dan saat ini juga, Bu Yati menjelaskan pelajaran yang akan disampaikan, beliau adalah guru Seni Budaya yang mengajari kami, membunyikan alat-alat musik yang kebanyakan dapat bernyanyi jika disentuh, mereka-mereka ini pasti senang, karena kedatangan kami telah meramaikan ruang yang sebelumnya hanya menyisakan lengang.
Masing-masing anak telah membawa alat musik, tidak ada yang terlihat masih berkemilau, kebanyakan sudah usang, baret dimana-mana, dan beberapa temanku mengaku membeli recorder setengah harga, barang bekas tentunya. Tidak ada yang mampu membeli alat musik dalam keadaan baru, buku saja harus membeli di tempat pengepul barang bekas, banyak dari buku itu sedah lecek, dan bau pula. Tapi apalah daya kami?, memang itu satu-satunya cara agar tetap dapat menulis saat disekolah. Satu helai daun kertas amat sangat berarti.
Aku membawa si hijau, satu-satunya siswa yang memiliki alat musik tiup seperti piano (dalam versi yang lebih kecil) ini hanyalah aku seorang, itu pun hadiah dari ibuku, saat aku berulang tahun yang ke-10, Benda itu terlihat elok dengan tampilan kusam serta baret-baret yang bertempel, saat mendapatkan benda ini, aku senang bukan kepalang, melonjak-lonjak dan melompat kegirangan seperti sedang bermain trampolin. Aku menekuni alat musik ini, sejak 5 tahun terakhir, dan telah membuat beberapa karya bersama benda yang sudah aku anggap 'Teman'.
Teman-temanku yang lain memandang heran pianika hijau usang yang aku genggam, menatap lamat-lamat lekuk tubuh benda mati ini, alat musik yang satu ini memang tergolong mahal dan susah dicari, oleh karena itu aku sangat besyukur dapat dijodohkan dengan dia.
"Bagus sekali alat musikmu Tavel" Kata Bu Yati dengan tatapan mata penuh perhatian, aku hanya tersenyum. "Bolehkah Ibu melihatmu memainkan not-not berjejer itu?" Timpal beliau kembali, aku tidak tahu kenapa nuansa ruangan menjadi sunyi, semua mata tertuju tajam menghadapku dengan tatapan aneh masygul. "Tentu Ibu", jawabku sesopan mungkin, semula yang suasananya terasa hening, kini riuh berkoar-koar tepuk tangan. Aku akan melantunkan lagu "Rayuan Pulau Kelapa" Karya Ismail Marzuki, ketukan 4/4, DOLCE. Aku memulai lagu dengan sentuhan cantik, melenggok-lenggokkan badan, mengikuti arus semurai nyanyian si hijau, menit pertama terlihat sunyi suram, begitu menit yang kedua pun demikian, hingga aku menyelesaikan 60 detik terakhir dengan sentuhan manis, bak pelangi telah muncul untuk yang kedua kalinya.
Tiba-tiba ruang tahta permusikan riuh saling menyantar, menggema bagai teriakan suporter bola yang sedang menyemangati tim kesebelasannya. Tepuk tangan, pekikkan yang berkali kali menyebutkan namaku, serta semburat senyum, tertulis di wajah Bu Yati membuat hatiku serasa tertembak panah, haha, panah yang berujung hati merah, seperti didongeng-dongeng itu.
"Wah, lagu yang kau bawakan tadi, sangat menyentuh Tavel, apa lagi di saat bait 'Ta - nah a - ir - ku In - do - ne - sia.' Hati Ibu seketika bergetar, bangga, karena dilahirkan di Indonesia" Puji Bu Yati dengan intonasi meyakinkan, mempertontonkan wibawa dan kebijaksanaan yang sarat akan makna, ruang seni ini seketika kembali menyuar-nyuar. "Terima Kasih Ibu, dan juga kawan-kawanku semua".
Kedua orang tuaku selalu memberi pesan, agar tetap rendah hati, dan tidak menyombongkan diri. Sombong, adalah sebilah pedang yang akan memotong tubuhmu menjadi dua bagian, semua usaha akan sia-sia, dan kemampuanmu berhenti/stuck, mati, tidak berkembang. Maka dari itu percayalah.
***
Bel pulang sekolah telah membunyikan suara lantangnya, mengisyaratkan "Waktu sekolah telah usai, kita akan berjumpa esok kembali" , mungkin begitu maksudnya dalam ritme mengasyikan.
Waktu pulang, saatnya aku kembali, mengais uang dari pasir sungai.
***
Sang surya gamblang menunjukkan panas teriknya, menyengat dan membakar pori-pori kulit. Siang ini terasa sangat menyiksa, tatkala tubuh lemahku ini lemas, karena belum sempat memasukkan sesuatu kedalam perut, setelah perjalanan panjang dari sekolah tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tavel
General FictionPerjuangan seorang anak manusia yang berusaha berdiri diantara derasnya terjangan angin puyuh mematikan, 'Si Penyair Puitis', begitulah julukannya. Mencoba mewarnai kerasnya dunia dengan tangan halus yang berserak pasir. Persahabatan adalah panji y...