London I'm Coming!

17 3 2
                                    

Langit terasa lebih megah dan bersahabat hari ini, tempias angin yang tak dapat kulihat seperti air yang menerpa wajah, dingin, hangat, tak bisa kujelaskan karena hari ini aku akan berangkat menuju sebuah negara di Eropa sana.

Dan hari ini juga aku akan berkenalan lebih dekat dengan teman yang akan menjadi sahabat seperjuangan nantinya, aku tak tahu menahu dari mana mereka berasal, pokonya merekalah pemain musik terbaik yang pernah aku lihat, dan sebentar lagi akan aku kenal lebih dekat, terutama Shafiya Anggraeni itu, pemain biola tersyahdu yang aku tahu.

Termasuk juga yang satu itu, Rendi Kurnia, pemusik berbakat sekaligus yang teraneh, pemain harpa laki-laki yang sempat mencenganggkan ruang tahta permusikan sekolah, bahkan kabarnya sonter kemana-mana, dia, si pemilik tangan ajaib, ibarat mempunyai mata ketiga terjernih manusia.

Aku tak sanggup membayangkan lagi, bagaimana hatiku akan bergetar hebat dikala berjabat tangan dengan mereka, semoga aku tak kan pingsan menghadapinya.

---

Ayah dan Ibuku berpesan agar selalu menjaga diri di luar sana, karena apapun dapat terjadi. Jangan tinggalkan ibadah, selalu ingat akan sebuah prinsip kejujuran. Terus berdoa dan berusaha semaksimal mungkin.

Pagi ini aku berangkat sekolah seperti biasa, menuju ke sekolah terlebih dahulu, hari ini adalah hari yang lain dari biasanya, aku tak membawa buku sama sekali, yang kubawa adalah kebutuhan-kebutuhan pokok, kepertluan di negeri orang sana, sungguh sangat berdebar hatiku.

Sesampainya disekolah, tanganku langsung disambat dijabat lalu dipeluk oleh teman perempuanku, sungguh momen yang luar biasa. Meluncurlah langsung ke ruang Seni Budaya, itu komando bapak kepala sekolah tempo hari.

Hei lihatlah!, ramai sekali ruang itu!, seperti tumpahan manusia yang menggerombol membanggakan sesuatu. Tentu saja mereka, Shafiya dan Rendi, sudah sampai disana lebih awal dariku, tak dapat diragukan lagi, kemauan untuk maju dan membanggakan Indonesia di kancah dunia.

Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba sorak-sorai dan tepuk tangan menyambutku gegap gempita, seperti melihat emas kuning yang berjalan, tetapi jika dibayangkan ngeri juga.

"Tavelinaaa!," Namaku ternyata dielu-elukan banyak orang, juga nama kedua orang hebat itu. Sungguh luar biasa. Seseorang menyuruhku untuk segera masuk dan duduk bersama teman-teman yang lain.

Ternyata mereka, sempat tergetar hatiku menatap Rendi, dia difabel, tak dapat melihat. Hingga dia tak tahu tanganku telah terjulur untuk bersalaman, dia tak beraksi, tetapi Shafiya langsung membantu Rendi, memberi kode untuk bersalaman denganku, sepertinya mereka sudah akrab. Lalu dia menyebutkan namanya, bergetar lagi hatiku untuk yang kedua kalinya.

Selanjutnya giliranku menjabat tangan Shafiya, dia tersenyum lalu menyebut nama panggilannya, 'Fiya', dan mulai detik ini aku akan memanggilnya begitu. Hingga akhirnya perkenalan ini menjadi awal dari segalanya.

Diruang itu aku, lebih tepatnya kami diberikan arahan dan motivasi, karena ini adalah debut pertama kami didunia permusikan, terutama aku yang lebih terkejut, tiba-tiba ditunjuk ikut seleksi mendadak.

Setelah ini kami langsung menuju bandara, 14.5 jam perjalanan di pesawat, aku tak dapat membayangkan bagaimana rasanya berada dalam sebuah kendaraan yang memiliki sayap dengan kecepatan tinggi, tak sanggup pula mendengar suara anak-anak yang selalu meneriaki datangnya pesawat dari bawah, aku gugup sekaligus ngeri membayangkannya.

Ini juga pengalaman pertamaku, menaiki sebuah mobil mewah, jantungku berdebar kencang tak keruan. Deru mesinnya halus, tak seperti naik ojek pengkolan yang suaranya seperti nyanyian jin laut, bobrok.

Suasana mobil masih sunyi, aku berinisiatif membuka obrolan.

"E-ehm, bagaimana kabarmu kalian hari ini?" Tanyaku agak sedikit tersentak karena jalan yang berlubang, sambil menengok ke Fiya dan Rendi, Fiya yang sedari tadi kutengok menengok ke arah kaca, mungkin sedang menikmati pemandangan. Dan Rendi sontak menjawab,

TavelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang