Ini adalah momen terbaik dalam hidupku, bersama Fiya dan Rendi dalam sebuah perjalanan yang sangat menggugah jiwa, bersama dalam satu pesawat terbang besar dengan dua mesin ganda di setiap sayapnya, membuatku bergidik sekaligus ngeri, apakah itu cukup untuk membuat benda raksasa ini terbang?, tanyaku dalam hati.
Ini pertama kalinya aku melihat lapangan terluas dalam histori penglihatanku, menatap ujung landasan yang sepertinya tak memiliki pemberhentian, lalu-lalang pesawat yang terbang bergilir membuatku sangat takjub dengan apa yang kulihat sendiri.
Lihatlah juga, para pramugari dan pramugara menari sambil meragakan alat keselamatan penumpang, mereka tak lebih seperti self guard di kolam renang, tetapi lebih cantik dan tampan, sungguh luar biasa.
Dan pada saatnya tiba, pesawat kami siap lepas landas. Aku berada di pojok dekat jendela, ditengah ada Fiya dan yang terujung adalah Rendi, dan yang ada dibelakang adalah guru pendamping, salah satunya Pak Dharmawan, wali kelasku sendiri, belakangan ini beliau jarang terlihat disekolah karena ada urusan mendadak aku tak tahu apa urusan tersebut hingga beliau harus tidak mengajar selama 1 bulan lebih, dan pada kesempatan kali ini beliau ditugaskan untuk menjadi pendamping kami bertiga, juga ditambah empat orang yang tak kukenal.
Aku sangat antusias, karena ini adalah pengalaman pertamaku. Deru mesin mulai terdengar halus, perlahan pesawat menambah kecepatan beberapa knots, deru mesinnya semakin kencang tetapi tetap terasa halus, kecepatan pesawat meninggi hingga cukup untuk menerbangkan benda besar berton-ton ini menyentuh langit, sedikit goncangan tetapi tak berarti, dan akhirnya pesawat lepas landas dari bandara. Dan dari semua kejadian itu mataku malah tertutup.
Hei! lihatlah!, baru beberapa detik aku membuka mata, sudah disuguhkan pemandangan yang fantastis. Inikah rasanya mengudara?, inikah rasanya berada di atas awan?, ini hebat dan sungguh luar biasa. Awan putih itu seperti dapat kupegang karena saking dekatnya dengan telapak tanganku.
Tetapi, ternyata suitan dan teriakan anak-anak tak terdengar dari sini, tak apalah akan kunikmati semua pemandangan ini. Matahari tak malu-malu menampakkan sinar gamblangnya, sempat kumelihat kepak sayap dari kawanan burung-burung, aku tak tahu jenis apa burung tersebut yang kulihat dari mata mereka itu sebuah tatapan sayu, seperti tidak tidur berhari-hari, seharusnya mereka singgah di kebun binatang. Dan kini yang dapat kulihat adalah hamparan laut awan dan semburat sinar mentari bersama dengan kecepatan tinggi dari pesawat ini.
"Silahkan dik, ini jus untuk kalian sambil menikmati indahnya pemandangan luar" Ujar seorang pramugara di dekat kursi Rendi duduk, aku terkesima dengan kharisma dan wibawanya, tiba-tiba Fiya mencubit perutku.
"Jangan ngalamun terus Vel, nanti kalau kamu kesetanan gimana? Kami yang repot, aku sih, nggak akan mau ngurus" Fiya tertawa lepas, disusul Rendi.
Aku sedikit terkejut lalu berterima kasih kepadanya, tak mau pikir apa barusan yang mereka bicarakan padahal aku tahu mereka sedang menyindirku, kulepaskanlah semua jengkelku pada minuman ini.
"Aahh!!!, pahit!, eh-asin!, eh-pedaas!, eh-kecut!, eh-maniss!, eh-ini rasa balas dendam!" Teriakku pelan-pelan, rasakan itu Fiya, Rendi!
Pramugara itu kembali lagi lalu bertanya ada apa sehingga salah seorang dari kami berteriak. Aku sengaja menatap luar memutuskan untuk diam seribu bahasa. Hingga Fiya dan Rendi sangat repot dan kebingungan bagaimana cara menjelaskan semua hal yang ambigu ini.
---
Terlepas dari kejadian tadi, dan semua itu hanya gurauanku. Aku memutuskan bertanya hal penting yang seharusnya sudah kutanyakan sejak diperjalanan mobil tadi.
"Emm, Rendi, bisakah kau membantuku menerjemahkan ke bahasa isyarat?, aku ingin bertanya kepada Fiya" Tanyaku meminta bantuan Rendi.
"Fiya, bisakah kau bercerita? Bagaimana kau kehilangan pendengaranmu? Bagaimana juga caramu memainkan biola itu? Ini sungguh talenta yang luar biasa, maaf kalau hal ini sedikit privasi kalau kau tak mau menjelaskan tak apa" Aku bertanya sembari Rendi menerjemahkan.
"Kau boleh mengetahuinya Tavel, Rendi Juga, Aku sebenarnya dapat mendengar hingga umurku 12 tahun, kerena sebuah tragedi kecelakaan, hingga terpaksa kehilangan pendengaranku pada waktu itu juga" Kebanyakan dari orang yang tak bisa mendengar juga tak pula dapat bicara, tetapi Fiya berbeda suaranya jernih dan jelas seperti kepak kupu-kupu yang baru keluar dari kepongpong, jelas dan indah.
"Pada waktu mataku terbuka dirumah sakit rasa-rasanya ada yang berbeda, tetapi aku tak tahu apa penyebabnya hingga aku hiraukan semua keganjilan itu, satu jam berlalu aku memang sengaja tak bersuara, karena semua badanku sakit untuk digerakkan, suasana ruangan kosong, mungkin itu ruang ICU tempat aku diobati"
"Dan pada waktunya aku mengetahui bahwa pendengaranku telah lenyap dibawa senyap, tahukah kau? betapa aku ingin mendengar bunyi tepukan, bahkan sampai-sampai lupa akan
bunyi tepukan, kubentur-benturkan kedua tanganku sekeras mungkin agar dapat mendengar bunyi itu satu kali saja, tak tahu betapa kerasnya aku menepuk-nepukkan tangan sampai-sampai bengkak dan memar hanya karena ingin mendengarkan sebuah bunyi tepuk yang terlupakan" Fiya terlihat sedih, dari raut mukanya aku tahu bahwa hidupnya dirundung nestapa.
"Tetapi, dari semua yang telah direncanakan tuhan kepadaku membuat Fiya yang dulu berbeda dengan Fiya yang sekarang, dari peristiwa itu aku ditempa dan dibumbui banyak kebaikan, membuat Fiya yang saat ini kalian kenal" Fiya tersenyum, membesarkan hati aku dan Rendi, aneh, seharusnya kami yang memberinya dukungan tetapi dialah yang memberikan kami motivasi.
"Jangan menyerah, dibalik kesulitan pasti ada kemudahan"
"Hiraukan batu kerikil atau batu karang, bangkit dan gapai bintang dalam sekali raihan maka seluruh dunia akan melihatmu" Kata Fiya mantap, mempertontonkan masa kelamnya sebagai bahan bakar terbaik untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Bergetar hatiku melihat Fiya, Rendi pasti juga merasakan apa yang Fiya rasakan, karena penglihatannya lenyap dibawa gelap, aku semakin percaya dengan mereka, teman-teman hebat pilihan. Terimakasih tuhan, karena engkau mempertemukan aku dengan kedua orang luar biasa ini.
---
Pemandangan lapangan luas kembali lagi berarti itu adalah bandara, berarti pula aku sudah ada dilangit Inggris, Kota London.
Kami bertiga sangat antusias, perjalanan 14.5 jam kami dapat mencapai negeri dibenua biru yang mendunia. Disamping itu seorang pramugari memberi ucapan selamat datang dengan bahasa inggris aksen british tentunya.
"Ladies and Gentlemen, welcome to London Heathrow International Aiport"
Huhh, jantung kami bertiga berdebar-debar, mulai dapat merasakan atmosfer perjuangan di negeri orang, perasaan kami campur aduk oleh banyak hal, padahal kami baru melihat bandaranya, megah, cantik, mewah, dan ramah. Tampak disekitaran bandara terlihat rumah-rumah bergaya futuristik dan tentunya megah juga, ini Britania Raya, kita benar-benar ada di Inggris!
Tahukah?, kata guru IPS ku Benua Eropa adalah satu daratan dengan Benua Asia, tetapi dianggap berbeda karena perbedaan budaya, selain itu Benua Eropa memliki angka kelahiran terendah sekaligus memiliki harapan hidup yang tinggi pula.
Uhh, disini dingin sekali, karena negara ini beriklim tropis berada lebih dari 23.05 derajat bujur utara dan tak dilalui garis khatulistiwa. Andai teman-temanku dapat merasakan apa yang aku lihat, ini mungkin menjadi memorable moment yang tak pernah dilupakan.
Pantengin terus kisah tavel ya teman...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tavel
General FictionPerjuangan seorang anak manusia yang berusaha berdiri diantara derasnya terjangan angin puyuh mematikan, 'Si Penyair Puitis', begitulah julukannya. Mencoba mewarnai kerasnya dunia dengan tangan halus yang berserak pasir. Persahabatan adalah panji y...