9. Ketahuan Ghibah

7.3K 1K 61
                                    

Malu semalu malunya.

Itu yang dirasakan Kiara hingga saat ini. Mungkin masih efek kejadian kemarin saat ia berada di mushollah.

Bayu memang tidak merespon sedemikian rupa. Lain halnya dengan Bara. Tapi entah mengapa, tetap saja, Kiara merasakan perasaan aneh saat Bara bercanda mengenai seperangkat alat salat itu.

"Stop, Kiara. Kak Bayu itu cuma ngerespon asal. Mungkin karena dia tau kalo Kak Bara orangnya memang suka bercanda. Makanya direspon dengan bercanda juga. Ia, pasti! Jadi stop baper, Ra!" gumam Kiara seraya bolak balik seperti setrikaan di depan cermin.

"Ara! Ada Luna nih!"

Kiara berhenti bolak balik dan menyusul Luna secepatnya.

Kiara melihat Luna ikut bergabung bersama keluarganya mines ayahnya yang sedang sarapan. Terlihat Luna yang sedang malu-malu kucing menolak saat ibu Kiara menyodorkan sepotong roti dan segelas susu.

Kiara ikut mengambil posisi tepat di samping si bungsu Sasha seraya mengambil dua lembar roti di atas piringnya.

"Dimakan dong, Lun. Gak baik nolak rejeki," tutur Indra kakak sulung Kiara.

"Iya, Kak. Hehe."

"Luna, jangan malu dong. Biasa aja," ujar Kiara dengan tampang polosnya.

"Muka Kak Luna memerah. Panas ya, Kak?" tanya Sasha dengan ekspresi keingintahuan yang tinggi.

Dalam hati Luna merutuki kepolosan Kiara dan kejujuran Sasha di depan Indra. Kan bisa ketahuan kalau Luna saat ini sedang salting. Ya, bagaimana tidak. Sarapan di depan calon mertua gitu loh.

Luna memang sedang menaruh perasaan pada Indra, Abang Kiara. Sejak bertemu pertama kali, waktu itu Kiara juga minta dijemput olehnya, dan saat itu kebetulan pula Indra masih ada di rumah, alhasil ia yang masih menjadi teman baru Kiara jadi terpesona dengan kegantengan Indra.

Kiara sudah tahu kalau Luna suka pada abangnya sama seperti kesukaannya pada abang Risa, maka tidak heran jika menurut Kiara itu hanya cinta sementara. Ya kalau orang-orang bilang itu cinta monyet, yang kadang tidak perlu menjadi nyata. Lagi pula, Indra sepertinya hanya menganggap Luna dan teman-teman Kiara yang lain sebagai adik layaknya Kiara.

"Maaf ya, Lun. Jadi ngerepotin kamu. Kakak gak bisa nganter Ara ke sekolah hari ini soalnya ada urusan lain. Ayah juga hari ini lagi ada urusan di kantor, jadi gak sempet juga nganterin Ara," ujar Indra kemudian menggigit roti bakarnya.

"I-iya, Kak. Gak papa. Hehe."

"Ya udah. Aku duluan ya, semuanya. Udah hampir telat ini." Indra berdiri dari posisi duduknya lalu berjalan mengitari meja untuk bersalaman dengan sang ibu. "Bu, Indra duluan ya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab semuanya serentak.

Sebelum Indra berlalu, ia menyempatkan mengacak pelan kepala Luna yang tertutup hijab karena kebetulan ia duduk di dekat ibunya.

"Bukan mahram, Bang," seru Kiara. Sementara Indra hanya tersenyum menanggapi.

Luna berdehem pelan seraya menyembunyikan kegugupan yang menderanya.

"Hihi, Abang Kiara emang suka gitu, Lun. Jangan marah ya," ujar Ibu Kiara sambil memperbaiki tatanan hijab Luna.

Wuih, salting gue! Salting!

"Ya udah deh, Bu. Kiara sama Luna berangkat juga. Udah mau jam tujuh ini," ucap Kiara sambil mengambil tasnya yang sengaja digantung di sandaran kursi.

"Terus, Sasha? Nggak ke sekolah ya?"

Sasha mengangguk pelan dengan mulut yang masih dipenuhi dengan roti. "Iha, hak. Haha hahi ii nghak hehohah."

"Sst, rotinya ditelen dulu, Dek." Ibu mendekatkan segelas susu pada Sasha yang langsung diminum oleh anak bungsunya itu. "Maksud Sasha tadi tuh dia ngomong kalo hari ini dia emang nggak ke sekolah," jelas Ibu membenarkan ucapan Sasha. Sasha yang masih meminum susunya pun mengangguk pelan membenarkan penjelasan sang ibu.

"Oh gitu. Hehe. Oh iya, Bu. Luna berangkat dulu." Luna menyalami tangan ibu Kiara setelah Kiara menyalami ibunya terlebih dahulu.

"Hati-hati, ya."

"Iya, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Jalanan hari ini cukup padat, dipenuhi dengan kendaraan dengan berbagai macam arah tujuan. Luna menghentikan laju motornya saat kendaraan yang ada di depannya juga ikut terhenti. Luna melirik ke arah rambu lalu lintas, dan oh pantas saja, lampu merah.

"Ra, kok lo sama Risa kemarin lama banget sih ngambil mukenanya?" tanya Luna setelah tiba-tiba kepikiran Kiara dan Risa yang memang membuatnya menunggu cukup lama, hingga pak Faisal -guru agamanya menyuruhnya untuk segera mengambil wudhu.

"Oh, itu. Kemarin tuh di sana ada Kak Bayu sama Kak Bara. Tau sendirilah, Kak Bara tuh rese banget. Pake gangguin orang segala."

Luna terkekeh pelan. "Huh. Dapet Kak Bara mah kudu kuat mental, Ra. Haha. Terus, Kak Bayu gimana?"

Pipi Kiara kembali memanas mengingat kejadian kemarin. "Ih, Kak Bayu mah diem-diem aja. Iya-iyain omongan Kak Bara."

"Lah, kalo diem berarti nggak iya-iyain, Kiara!" protes Luna.

"Iya, itu deh maksudnya. Eh, tapi Kak Bara nyariin kamu tau."

Luna mendengus pelan. "Nyariin? Kenapa? Gue nggak punya hutang sama dia."

Kiara mengedikkan kedua bahunya. "Nggak tau juga. Tiba-tiba nyariin kamu. Hihi. Tapi menurutku Kak Bara itu baik kok, Lun."

"Heh. Jangan mau ketipu sama tampangnya dia kalo lagi di mushollah, Ra. Lo nggak liat apa? Betapa songongnya dia saat di luar mushollah," ujar Luna tidak terima.

"Ya mungkin aja kan, sifat aslinya Kak Bara tuh ya waktu di mushollah. Di luar itu cuma topengnya aja."

"Iya, deh. Iya. Belain aja terus tuh Kak Bara-mu."

Kiara menepuk pelan bahu Luna. Tidak ada salahnya kan berbaik sangka sama orang lain?

"Ehem, kalo niat gibahin orang, jangan di deketnya dong. Kedengeran nih."

Luna dan Kiara menoleh ke samping kanan. Dan betapa kagetnya mereka saat melihat ada Bara yang sedang berboncengan dengan Bayu di sana. Tentunya dengan jarak kendaraan yang begitu dekat dengan mereka.

Luna dan Kiara sampai terbengong cukup lama sambil menatap kepergian dua orang makhluk yang tak terasa kehadirannya itu. Luna sampai lupa bahwa saat ini lampu rambu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Kalau bukan karena bunyi klakson yang memekakkan telinga, mungkin Luna masih berdiam di tempatnya.

"Ra, tadi itu... beneran Kak Bara sama Kak Bayu bukan sih?" tanya Luna masih ragu. Ia takut jika yang dilihatnya tadi hanyalah halusinasi.

"Iya, bener. Itu Kak Bara dan Kak Bayu," jawab Kiara dengan nada meyakinkan.

"Mampus deh gue. Ketahuan ghibahin orangnya. Muka gue enaknya ditaro di mana ya, Ra?"

Kiara tersenyum miris menanggapi ucapan Luna. Sebenarnya ia sendiri juga cukup malu, karena sempat juga mengghibahi Bayu.

"Gue kok ya jadi malu sampe sekolah," keluh Luna.

"Udah ya, Lun. Kita pake jurus muka tebal aja deh," saran Kiara yang langsung disetujui oleh Luna.

***

Ciyeee ketahuan ngeghibah😄
Di sini siapa yang pernah ketahuan lagi ghibah? Abis itu yang denger malah yang dighibahi? Gimana rasanya? Hihihi😅

Ini aku apdet khusus buat kalian yang udah setia ngasi aku semangat dan dukungan! ❤️ thankyou so much❤️

Jan lupa, vote dan komentarnya, biar makin mangatsss!☺️

P.s: cek typo yang bertebaran

Follow IG: windyharuno & windyharuno_stories

Cuma Ngefans, Kok! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang