saya masih (mau) bertahan

290 34 5
                                    

Semula saya pikir menyerah itu lebih mudah.

Di penghujung akhir bulan Juni dan saya mencapai limit, tidak bisa melebihi lagi, tidak bisa melebihi lagi dan cukup sampai sini. Cukup untuk terus berjuang dan saya pikir semua itu sia-sia saja, bertahan untuk waktu demi waktu, dari setiap detiknya yang semakin lama semakin menyempit. Ada malam yang rasanya terlalu panjang, terlalu panjang bahkan sekadar untuk bernapas. Pendek, putus-putus, takut, saya takut melihat hari esok (tapi juga saya takut mati.)

Kemudian satu momentum di akhir kesadaran yang kecil itu, jari saya memaksakan diri untuk memenuhi linimasa ruang obrolan teman.

Saya mau menyerah, begitu awalannya, klise sekali, saya tidak kuat. Mungkin saya lebih baik mati.

(Orang-orang bilang itu melodramatis, terlalu dilebih-lebihkan, atau bahkan kurang iman dan tidak punya agama. Tapi siapa mereka? Yang berdiri di antara menyerah atau bertahan saja tidak tahu rasanya. Sugesti? Saya rasa masalahnya tidak sekecil itu.)

Tapi teman saya tidak menanggapi pernyataan saya dan dia balik bertanya; bagaimana bapak dan ibu? Sudah membolehkan? Kawan-kawanmu juga bagaimana? Sudah siapkan stok tisu yang banyak kalau mereka menangis? Lalu adikmu, tidak akan kecewa karena sosok kakaknya ternyata begini? Bagaimana kamu bertemu dengan Tuhan nanti?ーbukan main sarkasnya, manusia yang satu ini.

Akan tetapi, siapa sangka, kalau rentetan pertanyaannya itu, malah membuat saya menangis. Demi Tuhan, harusnya yang mau menyerah kan jangan menangis! Harusnya kan hati saya apatis!

Kenapa jadi begini?

(Anehnya, saya bertahan di dua minggu kemudian. Orang bilang itu pengecut, mau mati tapi tidak jadi karena takut mati, tapi teman saya bilang itu bagus. Karena saya masih punya rasa takut. Saya masih punya hati.)

Hari ini, ibu saya yang menangis (dan saya pikir betapa kecewanya bapak, kalau putri yang setiap hari mengumbar senyum dan tidak bisa diam ini ternyata mengeluarkan kata-kata tabu, yang sama sekali tidak boleh diucapkan). Yang di waktu serupa pula, saya begitu sakit hati, kalau nyatanya adik perempuan saya berada di garis yang sama dengan saya. Kami sedarah dan (berpikir) ingin menyerah, tapi tidak pernah saling sadar diri dan menganggap baik-baik saja. Ketika mata kami saling bertemu, ujung hati saya marah-marah, bisa-bisanya saya jadi figur yang tidak becus!

Barangkali saya perlu waktu, sedikit saja, untuk menata kekacauan ini meski lambat dan pelan-pelan. Bapak marah dan saya memaklumi, mungkin suatu hari nanti kami perlu bercengkrama dalam obrolan panjang, ketika senja, bersama secangkir teh hangat manis dan kopi buatan ibu. Barangkali saya perlu mencari kebebasan lain bersama adik saya, tanpa untaian kata-kata pun tak masalah. Duduk diam di kafe terdekat dan berbincang kecil. Memaafkan diri sendiri tak ada salahnya, menerima diri sendiri yang seperti ini memang harus dilakukan, memupuk luka yang harus dikurangi.

Suatu hari nanti, dengan perasaan yakin tanpa beban, saya akan bilang; saya masih (mau) bertahan dan saya baik-baik saja.

Sebab, untuk saat ini, saya perlu waktu memperbaiki diri.

dari bait kecil ini, aku menulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang