Ucapan pertama saya dapat dari seorang kawan, sewaktu sibuk bermain palet warna di depan layar laptop, interupsi kecil karena notifikasi dan sebuah sticker yang muncul pada pukul 00.00, teng, tengah malam. Purezento, katanya, yang ketika dibuka saya langsung dihadapkan dengan laman unduhan tema ruangan chat. Bulan dan nebula, seorang kosmonot, dia tahu benar bagaimana saya.
Seorang adik tingkat mengirim pesan serupa, saya nyaris menangis. Saya kira sosok saya yang seperti ini telah lama dilupakan, rupanya masih ingat. Dia masih ingat.
Kemudian rasanya hari jadi semakin panjang. Untuk setiap deretan kalimat, untuk ucapan, untuk doa-doa yang tersampaikan, bahkan untuk emotikon; kepada saya, untuk saya, saya pikir semua ini bukan hanya sekadar kata. Sebut melankolis tapi saya tak ingin memungkiri, kalau saya bisa bertahan sampai sini. Paru-paru dan jantung saya masih bisa bekerja sebagaimana mestinya. Saya tak tahu harus merasa apa, seperti mati rasa saja.
Tapi saya tak ingin diam, setidaknya hari ini saya harus menyibukan diri.
Sebab, kalau detik-detik kosong itu tiba, seringkali saya bertanya-tanya apakah tahun berikutnya saya masih dapat notifikasi. Dapat pengingat bahwa tahun bertambah meski tetap ada yang berkurang, karena akan selalu ada yang berkurang. Dan diam-diam berdoa saya masih punya kesempatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
dari bait kecil ini, aku menulis
Poetrysuatu hari, aku bermimpi; "untuk apa aku menulis?" . . . [Antologi Puisi dan Cerpen]