PROLOG

1.7K 82 16
                                    

"Tidak."

"Dasar pendusta."

"Aku berkata sejujurnya."

"Gengsimu itu terlalu besar. Bilang saja kau ingin bertemu Soojung kan? Makanya kau datang kemari. Seingatku kau sempat mengelak undangan Sunggyu." Jang Dongwoo berkata di depan telingaku setengah berteriak.

"Kenapa membawa-bawa Soojung?" Aku tersenyum kecil pada setiap gadis yang melintas dan memberikan pandangan tertarik padaku. Cairan alkohol dalam gelas kuteguk dalam sekali tenggak.

"Aku tahu kau menyukai gadis itu," tebaknya.

"Tsk." Seringai menggoda di bibir tebal Dongwoo tak urung enyah. Yang dikatakan lelaki bersurai cokelat keemasan itu tidak sepenuhnya salah. Namun tidak juga patut dibenarkan. Tujuanku datang ke pesta ini murni hanya untuk menghormati undangan Sunggyu. Jika bukan karena kami kenal dekat, kecil kemungkinan peluangku untuk datang kemari. Mengingat aku tidak terlalu minat dengan dunia gemerlap.

Kuabaikan Dongwoo yang terus-menerus menaik-turunkan alis. Seandainya ini bukan di keramaian, sudah kutendang muka kudanya sejak tadi.

Kuputuskan untuk meninggalkan Dongwoo yang kian lama kian sulit untuk dikendalikan. Selagi dia melompat-lompat kegirangan, aku menghampiri Sunggyu yang bercokol dengan segerombolan orang-orang tak kukenal. Dia berbalik saat kutepuk keras bahunya.

"Ohㅡ kau datang, Nam?"

Lidahku seketika pahit. "Kau punya rokok?"

Dengan sigap dia mengangsurkan sebungkus rokok beserta pematiknya.
"Thanks."

"Mau kemana?"

Langkahku terhenti ketika jarak yang kubuat belum terlalu jauh. Aku menunjuk ke arah balkon. Merokok disana mungkin lebih aman dan tenang. Dentuman musik remix membuat kepalaku sedikit berkedut-kedut dan jantung berdebum-debum. Aku tidak tahan.

"Jangan sembarangan membuang puntung rokoknya."

Kuacungkan jempolku sembari mengantungi rokok itu ke dalam saku jaket. Dia tidak pernah lalai memperingatkanku untuk memadamkan rokok sebelum membuangnya. Terakhir kali aku melempar puntung rokok yang menyala secara sembarangan, kepala botak seorang bapak-bapak ㅡyang tak sengaja lewat di depan rumah Sunggyuㅡmenjadi korban. Aku langsung berjongkok, bersembunyi di balik pagar balkon. Sementara bapak malang tadi berteriak kesakitan karena kulit kepalanya dijilat bara api. Setelah itu, gantian kepalaku yang terancam botak karena Sunggyu ㅡdengan tidak berperasaanㅡ menjambakku sambil mengomel panjang lebar.

Aku menggulum senyum usai menyesap cocktail. Mencecap rasa yang tertinggal di lidah. Pelan, kuletakkan gelas itu pada sebuah meja kecil di sudut balkon. Sambil menikmati udara dingin malam hari, kubakar ujung lintingan tembakau yang sudah terapit di bibir. Kuhisap pelan lalu kuhembuskan setelahnya. Dadaku berkembang rileks. Asap putih mengepul melewati hidung dan mulut. Bergulung cukup lama di udara.

"Sudah kuduga."

Suara itu menyita perhatianku. Howon berdiri tak jauh dari ambang pintu. Satu tangannya menggenggam gagang ramping gelas. Dia mendekat begitu aku memberinya senyum tipis.

"Mau mencoba?" Gelas berisi liquid putih kecokelatanㅡdengan hiasan irisan lemon yang menancap di bibir gelasㅡtersuguh di depanku. Howon mengedikkan dagu sebagai gestur menyuruhku untuk minum. Aku tidak langsung menyerobot. Kutatap dulu matanya lamat-lamat. Mencari tanda-tanda kejahilan darinya. Namun ekspresinya sulit ditebak.

Aku sempat khawatir dan berpikir macam-macam. Jangan-jangan sebelum diberikan padaku, minuman ini sudah dicampur dengan cairan detergen. Atau paling parah diludahi secara diam-diam.

BABY'S BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang