"Kau kira keputusanmu ini masuk akal?!"ㅡ Kim Myungsoo
***
Myungsoo keluar dari ruang tengah dengan dengan wajah kuyu. Aku segera berdiri kemudian menghampiri bocah itu.
"Sesuatu terjadi?" Tanyaku ketika membuntutinya menuju pintu depan.
Myungsoo tak menjawab, tapi beberapa kali aku melihat pundaknya naik turun saat berusaha menyedot ingusnya. Aku yakin sekali dia habis menangis. Namun, aku tak berani bertanya lebih ketika moodnya terlihat sangat buruk. Apa ia bertengkar dengan ayahnya? Atau ada kabar tidak sedap dari dokter yang memeriksanya?
Kami hening di dalam mobil. Selama perjalanan pulang ke rumah, Myungsoo hanya sibuk memainkan jari-jari di atas pangkuannya.
Pada akhirnya aku mendengkus karena sudah tak tahan dengan keheningan yang sama sekali tidak nyaman ini.
"Mau permen?" Aku menyodorkan permen berbagai macam rasa.
Myungsoo melirik permen-permen itu kemudian menatapku dengan galak. "Kau pikir aku anak-anak?"
Aku mengerjapkan mata bingung saat tindakannya tidak sinkron dengan ucapannya. Ia mengeruk semua permen lalu mengantunginya.
"Tidak boleh menolak pemberian orang lain," dalih Myungsoo sambil membuka bungkus permen dan melahap isinya.
"Bagaimana tadi?" Tentu saja, aku sebagai lelaki yang pantang menyerah, mulai mengorek informasi. Maksudku, aku berhak tahu apa yang terjadi di kediaman Tuan Kim.
"Apanya?"
"Apa kata dokter?" Aku menatap Myungsoo yang kelihatan gusar di kursinya.
"Rahasia."
"Wajahmu sembap. Kau habis menangis kan?" Tukasku.
Myungsoo memalingkan wajahnya. "Bicara apa sih. Sok tahu sekali. Aku habis cuci muka."
Lagi, aku mengosongkan paru-paru dalam desahan panjang. "Aku juga wajib tahu apa yang kalian diskusikan. Dengan sikapmu yang begini, aku merasa tersisih dan tidak dipercaya." Itu melukaiku.
Myungsoo tidak menjawab. Ia melihat keluar jendela dengan tatapan menerawang tapi kosong. Pikirannya mungkin berkeliaran kemana-mana. Seolah yang berada di sisiku hanya seonggok daging tanpa nyawa.
Baru kali ini aku mengharapkan suatu kekuatan supranatural untuk bisa membaca pikiran orang.
Saat Paman Choi memarkirkan mobil tepat di depan rumahku, Myungsoo bergegas membuka pintu mobil. Namun, sebelum ia keluar, dengan suara lirih ia berkata,"Bayinya baik-baik saja."
Aku tertegun sejenak. Memandang punggung Myungsoo yang kemudian terhalang pintu setelah ia menutupnya.
Meski bocah itu mengatakan demikian, bagiku masih ada hal yang mengganjal. Seperti apa yang membuatnya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY'S BREATH
FanfictionRasanya seperti terjun dari tebing. Kakimu tidak menapak. Perasaanmu teraduk-aduk. Kaget, kalut dan putus asa bercampur jadi satu. Sama halnya dengan perasaanku waktu dia berdiri di depan pintu rumahku dan berkata: "Aku hamil." A/n : INI WOOSOO MEAN...