"Bahkan ketika ibu menyuruhku masuk ke SMA biasa dan menolak keras keinginanku, ayah tidak sekali pun menentang kehendakku untuk bersekolah di Woollim."***
"Pergi ke minimarket dan beli lah salep." Ibu meletakkan beberapa lembar uang di atas meja makan ketika aku baru membuka pintu kulkas, mencari minuman kaleng.
Aku mendengkus begitu melihat satu kaleng soda masih bercokol pada rak paling bawah, terhimpit oleh botol-botol soju milik ayah. Saat aku meraih minuman kaleng itu, ibu tiba-tiba mendekat dan melongok ke dalam lemari yang didominasi sayur-sayur hijau serta daging beku sisa bulan lalu.
"Ibu, mau sampai kapan menyimpan daging ini?"
Kenapa masih mempertahankan daging yang sudah terlalu lama menginap di freezer. Kandungan gizinya jelas sudah tidak sama. Daging yang sudah lama tersimpan dalam lemari pendingin lebih baik dibuang atau diberikan pada kucing liar. Tapi berapa kali pun aku berupaya mengingatkannya, Ibu tetap bersikeras mempertahankan apa yang menurutnya 'mahal' dan 'sayang untuk dibuang'.
"Biarkan saja disitu. Itu masih layak konsumsi," tukas Ibu menutup lemari pendingin lumayan keras. Tanda-tanda bahwa ia enggan mendengar protes. "Cuaca sedingin ini kau mau minum soda?"
"Tidak." Aku balas menatap manik mata Ibu yang penuh ketidakpercayaan. "Ini untuk kompres."
Seperti tahun-tahun sebelumnya, jika musim dingin tiba, ibu tidak mau membuat balok-balok es. Disamping tidak akan ada yang mengonsumsinya, balok-balok es tersebut akan membentuk bunga-bunga es dan membuat kondisi kulkas jadi penuh dan lebih cepat kotor. Padahal disaat seperti ini lah balok es bisa sangat berguna.
Ibu memundurkan wajahnya lalu fokus mengekori setiap pergerakanku. Bahkan ketika aku menarik kursi dan duduk di atasnya, ibu tetap khidmat dalam mengamati.
"Apa kita perlu ke dokter?" Nada bicaranya tampak cemas.
Aku menggeleng. Satu tangan menempelkan kaleng tadi ke pipi kiri. "Ini cuma luka ringan. Jangan berlebihan, Bu."
"Woohyun, pipimu bengkak. Apa semalam kau sempat mengoleskan obat di ujung bibirmu?"
"Iya," bualku semata-mata hanya untuk menenangkan kerisauan Ibu.
Sesungguhnya, setelah malam dimana Ayah menamparku dengan sangat tidak manusiawi, aku hampir di lempar kursi kayu. Beruntung, waktu itu ibu langsung menghalangi ayah melakukan hal gila tersebut. Aku sudah sering membayangkan reaksinya, namun tidak kusangka akan seburuk ini. Aku tidak pernah melihat ayah meledak-ledak. Dan mungkin malam itu merupakan luapan emosi beliau yang sudah lama terpendam. Ditambah dengan tekanan ekonomi yang tengah dihadapinya.
Aku seperti sebuah pelampiasan. Meski begitu aku tak berani untuk mengelak. Jangankan mengelak, menyalahkan pun tidak. Sebab aku tidak dalam posisi yang benar. Aku salah, dan aku cukup sadar soal apa yang membuatku semakin berdosa kepada kedua orang yang telah bersusah payah membesarkanku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY'S BREATH
FanfictionRasanya seperti terjun dari tebing. Kakimu tidak menapak. Perasaanmu teraduk-aduk. Kaget, kalut dan putus asa bercampur jadi satu. Sama halnya dengan perasaanku waktu dia berdiri di depan pintu rumahku dan berkata: "Aku hamil." A/n : INI WOOSOO MEAN...