"Yah, kalau itu merugikan buatku, tentu saja aku tidak mau menurutimu. Lagi pula kenapa sih kau terlihat tidak suka jika aku bersama Sunggyu-hyung? Biasanya kau tidak begini."ㅡ Kim Myungsoo
***
"Aduh! Pelan-pelan dong! Geser sedikit, bukan di sebelah sana!"
Dengkusan kasar lolos melewati bulu-bulu hidungku. Kutarik kembali plester hangat yang terlanjur menempel pada pinggang Myungsoo. Ia merintih sewaktu perekatnya terlepas. Namun, kuabaikan keluhannya yang membuat kupingku berdengung lama. Bahkan ketika aku merekatkannya lagi ke bagian pinggang atas, ia menjerit-jerit saat pinggangnya kutepuk keras.
"Sudah." Kuturunkan kaos Myungsoo yang tergulung sampai batas rusuk.
Pemuda itu berbalik dengan posisi duduk yang menyilang. "Habis dari mana?"
"Bertemu dengan teman," jawabku santai.
"Teman? Siapa?"
"Soojung."
Seketika itu juga Myungsoo mengatupkan bibir. Wajahnya terlihat masam. "Hanya teman?"
"Pacar."
Ekspresinya semakin tak terkendali. Kedua alis kini berkerut, menciptakan garis-garis halus di sekitar kening. "Jadi selama aku mengepel lantai rumah, kau malah enak-enakan berpacaran dengan perempuan itu? Suami macam apa kau ini!"
"Aduh!" Aku mengerut sambil memegangi dada yang terkena pukulan Myungsoo. "Aku belum jadi suamimu. Kalau kau lupa kita belum menikah."
Myungsoo bergeming. Pelan-pelan aku mulai melihat matanya memerah, menatapku dengan penuh kekesalan. "Memang bukan.." lalu air matanya merebak.
"Hei, heiㅡ kenapa menangis?!" Aku melompat mendekatinya untuk kemudian menangkup kedua pipinya. Myungsoo memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya seolah-olah sedang berusaha keras meredam suara tangisnya. "Sudah jangan menangis..."
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan ia menangis. Pikiranku melayang-layang meneliti kembali bagian mana dari kalimatku yang membuat Myungsoo begitu kesal sampai-sampai saat aku memeluknya, ia mendorong kuat dadaku supaya menjauh. Namun, meski ia menolak sekuat tenaga, aku tetap bersikeras merangkumnya.
Isaknya baru reda ketika helaian rambut hitamnya kuusap dengan lembut.
"Aku lelah, ibu menyuruhku ini itu... tapi kau tidak ada untuk membantuku," bisik Myungsoo kendatipun bibirnya terpendam di pundakku.
"Hm, maafkan aku. Lain kali aku akan membantumu. Sudah jangan menangis." Kuhela napas dalam desahan panjang. Apakah orang hamil bisa sesensitif ini?
Ketika kutatap langit-langit kamar Myungsoo, otakku berpikir keras bagaimana cara supaya ibu tidak lagi menyuruh Myungsoo mengerjakan pekerjaan yang tidak biasa ia lakukan. Aku tahu ibu tidak bermaksud buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY'S BREATH
FanfictionRasanya seperti terjun dari tebing. Kakimu tidak menapak. Perasaanmu teraduk-aduk. Kaget, kalut dan putus asa bercampur jadi satu. Sama halnya dengan perasaanku waktu dia berdiri di depan pintu rumahku dan berkata: "Aku hamil." A/n : INI WOOSOO MEAN...