8. Hembusan Malam

18 3 0
                                    

“Assalamu’alaikum” ucap Hanif saat baru saja memasuki rumah, setelah hari ini ia berkelana kembali dalam dunia kerjanya.

“Wa’alaikumsalam” jawab sang ibu dan Ulfa serempak yang tengah berada di tengah ruang keluarga sedang duduk santai bercengkrama.

“Kamu udah pulang Nak?” sapa ibunya yang sudah menuju ke dapur untuk membuatkan segelas air seperti biasanya.

“I..ya Bu udah, Hanif terlalu malem ga Bu?” tanya Hanif saat ia mengikuti ibunya untuk melihat ibunya ketika sedang membuat teh.

Hanif hanya tersenyum kepada Ulfa.

“Engga baru jam tujuh loh, biasanya kan kamu jam delapan paling cepet ya jam sepuluh seringnya, iya kan?” tanya ibu seperti menyinyir.

“Hehehe i..ya ya Bu, ko Hanif bisa lupa ya?” ucapnya menggaruk kepala yang tak gatal.

Sang ibu pun memberikan minuman hangat itu kepada Hanif.

“Ibu tau kamu rindu sama istri kamu, iya kan? Karena sekarang anak Ibu sudah menjadi seorang suami dari istri yang sangat dicintainya, ibu bangga sama kamu Han” ucap sang ibu memandang putranya tersenyum.

Hanif hanya mengulum senyum karena apa yang diucapkan ibunya itu benar dan sangat benar.

Keheningan terjadi saat Hanif menghabiskan air hangatnya dan sang ibu menyiapkan makan malam untuknya, persis seperti hari-hari sebelumnya.

“Mbak Ulfa ga diajak makan Bu?” tanya Hanif karena Ulfa masih berada di ruang keluarga dan sibuk menonton acara tv yang disukainya sesekali ia tertawa terbahak-bahak mengisi  kesunyian yang sudah menjadi kebiasan antara Hanif dan sang ibu.

“Tadi Ibu udah makan sama Ulfa, barusan banget habis sholat Maghrib. Kamu makan sendiri ga papa kan? Ibu mau nemenin Ulfa ga enak sama dia” izin sang ibu yang hanya dibalas anggukan oleh sang anak.

Hanif hanya menatap seonggok nasi beserta beberapa helai sayur yang dicampur sambal, hatinya sedikit teriris bagaimana ia bisa menikahi seorang perempuan yang bahkan ibunyapun belum mampu ia bahagiakan.

Apakah ia bisa membahagiakan perempuan yang dicintainya itu atau tidak?

Itulah hal yang paling Hanif takutkan dan sangat ia khawatirkan, tapi apalah daya sebagai manusia yang hanya bisa berdo’a dan berusaha serta bertawakkal di jalan-Nya selalu.

Suap demi suap pun berhasil ia habiskan, dan kini ia menuju kamarnya untuk segera bergegas membersihkan dirinya sendiri.

Lain lagi dengan Ulfa yang tak terganggu dengan kehadiran Hanif sedikitpun, Ulfa memanglah orang yang sangat supel apalagi sifat adaptasinya yang salut untuk dibanggakan.

“Tan, Hanif kenapa pengen nikahin Awa Tan?” tanya Ulfa penasaran saat acara televisinya mulai membosankan.

“Emm... harus ya Tante yang ngejawab?” tanya balik Bu Zahra menatap Ulfa bingung.

“Ulfa penasaran aja Tan, kenapa Hanif mau menikahi Salwa, kan jadi tanda tanya besar Tan. Apalagi Hanif gantengnya ga ketulungan Tante..” goda Ulfa mendekatkan posisi duduknya dengan Zahra.

Zahra hanya tersenyum mendengar penuturan kakak ipar anaknya itu.

“Istilah kasarnya Tan, emm.. (jedanya menggigit bibir bawahnya) mau-maunya gituuh “ ucap Ulfa sarkas dengan nada pelan.

“Astagfirullah ga boleh bilang begitu Ulfa, “ ucap Zahra sambil tersenyum mengelus punggung Ulfa yang menampakkan wajah bersalahnya itu.

“Sebelum kita berucap alangkah lebih baiknya kita memikirkan apa resiko bagi diri kita sendiri dengan kata lain egois akan dosa yang akan kita tanggung, kemudian lebih baiknya lagi kita pikirkan bagaimana perasaan orang lain, bagaimana kalau ia tersinggung atau sampai sakit hati Ulfa, “ nasihat Zahra yang sudah menampakkan senyum lebarnya.

Sehangat Senja Malaikat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang