Ws||17

120 20 2
                                    

¤¤¤¤¤¤¤

Kalau datang cuma sebentar,jangan bawa hati,bawa saja kopi.

-----

Bunyi alarm dari ponsel Vhanessa selalu membuatku sebal. Nadanya yang terkesan buru-buru dan gawat darurat selalu berhasil membuatku menjadi sakit kepala saat bangun pagi hari.

"Nessa, matiin alarmnya!" Teriakku sambil menutup telingaku dengan bantal.

"iya bawel , tapi aku lapar nih, sarapan dulu yuk" Ajak Vhanessa kepadaku karena cacing-cacing dalam perutnya mulai demo minta di manja.

"Duluan aja, masih ngantok. Sebentar mau jalan-jalan, bosan juga lama-lama ngurung diri."

"Mau jalan-jalan atau masih pengin ketemu sama Azka ?" Tanya Vhanessa menyindir.

Aku melotot padanya." Nessa!"

"Apa?" Sahut Vhanessa sambil ketawa.

"Jangan sebut-sebut nama itu lagi. Oke?" Ujarku tidak main-main.

"Kenapa? Karena dia kembali hadir di kehidupanmu? Karena dia kembali membuatmu terpesona? Ngomong-ngomong, Azka memang ganteng sih, ya. Wajahnya manis, tapi matanya terkesan tegas. Kayaknya, dia ramah, mudah bergaul dengan siapa pun tanpa memandang jabatan. Aku yakin pasti banyak yang nge-fans sama dia."

Aku merengut.

" Cha, kamu belum menjelaskan bagaimana perasaan kamu ke dia sekarang. Masa sih kisah enam tahun lalu itu masih membekas pahit di hatimu sekarang? Memangnya kamu ga bisa ngelupain dia? Apa Alvian tetap nggak bisa menggantikan posisi Azka dalam hati kamu sekarang? Akhirnya, aku baru tahu, kenapa selama ini kamu bersikap dingin terhadap laki-laki. Ternyata, masa lalu dan hatimu yang selalu tertuju pada Azka-lah yang menyebabkan kamu nggak pernah bisa menerima orang lain untuk dekat sama kamu. Aku curiga, jangan-jangan, sebenarnya, Alvian berada dalam posisi yang nggak berarti buat kamu."

Aku menutupi tubuhku hingga bagian kepala dengan selimut. Mendengarkan vonis Vhanessa terhadap perasaanku sangatlah menyakitkan hatiku pagi ini.

Alvian. Apa yang aku rasakan terhadap dirinya selama ini? Apakah aku sungguh-sungguh mencintai dia selama ini? Mengapa aku memutuskan untuk menerima Alvian menjadi pacarku? Apakah hanya karena ada banyak persamaan antara aku dan dia dalam hal musik dan hobi? Atau apakah karena Alvian tidak pernah meminta lebih atas hubungan kami selama ini? Alvian memang tidak pernah menuntut agar aku selalu laporan terhadapnya atas segala aktivitasku. Alvian tidak pernah menuntutku untuk memperhatikan dia, meneleponnya, atau bertemu dengannya. Kadang aku berpikir, apakah benar status kami adalah sepasang kekasih?

Vhanessa mendekatiku, menarik selimutku dengan keras. "Cepat mandi. Kita ke cafe untuk sarapan . Aku udah lapar buangeet , ga pake bantah!" Perintahnya dengan tegas.

Aku terpaksa menyeret diriku dengan berat ke kamar mandi. Mungkin, dengan membasuh kepalaku dengan air dingin, otakku yang sudah panas sejak kemarin bisa lebih dingin.

Semangkuk bubur ayam , satu piring nasi goreng , sepiring buah-buahan, dan satu gelas susu coklat cukup untuk mengembalikan tenagaku pada pagi hari ini. Tapi, apakah aku membutuhkan secangkir kopi susu agar sakit di kepalaku ini mau hilang?

"Itu untuk di makan, Cha, bukan untuk di pelototin aja," ujar Vhanessa sambil duduk di sebelahku. Aku tersenyum masam kepadanya.

"Selamat pagi," seru Azka . Dia tiba-tiba berada di hadapan kami berdua, dengan secangkir kopi di tangannya. "Boleh ikutan?" Tanyanya apakah kami keberatan jika dia duduk satu meja dengan kami.

Waiting SOMEONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang