Teman Biasa

5.1K 542 46
                                    

“Kamu gosok giginya pakai ini Justin.” Laras menyerahkan pasta gigi anak-anak untuk Justin, tentu saja Justin menolaknya ia pria dewasa untuk apa memakai pasta gigi anak-anak. Laras yang sensitif karena kehamilannya, langsung tersinggung dengan penolakan Justin matanya terlihat berkaca-kaca.

“Kamu jahat Justin, aku memintamu memakai pasta gigi anak-anak itu karena permintaan dede bayi kamu tidak sayang denganku.” Ucap Laras dengan marah, meski suaranya lebih terkesan seperti orang merajuk dari pada marah. Tapi itu cukup membuat Justin gelagapan ditambah mata Laras yang nampak berkaca-kaca.

“Eh kamu jangan marah, aku akan pakai pasta giginya.”

“Tidak usah, aku tidak mau bicara denganmu.” Laras menghentakkan kakinya kesal, Justin yang sudah dapat membaca apa yang akan dilakukan Laras langsung menggendong wanita itu Laras yang tak menyangka langsung menjerit.

“Justin turunkan! Aku benar-benar marah denganmu.” Laras membuang muka.

“Yakin akan marah denganku, padahal aku punya sesuatu yang spesial untukmu.” Justin menatap Laras dengan menggoda, ia menunggu reaksi wanita itu.

“Turunkan aku dulu.” Justin menghela nafasnya, ia pikir wanita itu sudah tidak ngambek dengannya, ternyata setelah ia menurunkan Laras wanita itu langsung kabur darinya. Justin menatap pasta gigi rasa jeruk yang ditinggalkan Laras, ia tersenyum kecut waktu kecil ia paling suka gosok gigi pakai pasta gigi rasa jeruk.
Saat Justin keluar dari dalam kamar mandi, ia melihat Laras tengah mengganti bajunya dengan gaun tidur. Rambut panjang wanita itu tergerai indah, payudara Laras yang tidak memakai bra dibalik gaun tidurnya terlihat menantang. Justin menelan ludah, jakunnya naik turun.

Laras berbaring di tempat tidur tanpa menghiraukan keberadaan Justin, ia tahu kalau pria itu menginginkannya. Benar saja, Justin berbaring di samping Laras dengan menyeringai nakal. Justin meraih tangan Laras, dikecupnya punggung tangan wanita mungil itu.

“Sayang aku mau.” Ujar Justin dengan nada membujuk, selama mereka menikah belum pernah Laras menolak untuk melayaninya. Tapi kali ini berbeda, Laras mengubah posisi tidurnya menjadi memunggungi Justin.

Justin tak menyerah ia mencumbu leher Laras membuat tanda kepemilikan di sana, saat ini ia berpikir mungkin saja wanita itu masih merajuk dengan penolakan tadi. Laras menepis tangan Justin ketika pria itu meremas dadanya, Justin mulai merasa tersinggung dengan penolakan Laras.

“Jangan Justin aku tidak mau, perutku keram aku mohon jangan paksa aku.” Justin menghela nafas, wajah istrinya terlihat sendu. Akhirnya Justin mengalah, tangannya kini mengelus perut Laras tempat dimana buah hatinya tumbuh.

“Katanya kamu tadi ingin memberikan sesuatu yang spesial untukku, apa itu?” tanya Laras, Justin baru teringat dengan apa yang hendak diberikannya pada wanita itu tadi.

Justin segera mengambil benda itu dari dalam lemarinya, sebuah kotak kecil berwarna biru langit. Di dalamnya berisikan sepasang anting berlian yang sangat cantik dan berkilau indah saat tertimpa cahaya, Laras menatapnya dengan kagum apakah anting itu untuknya. Tapi apa dirinya cocok memakai benda itu, anting itu harganya pasti sangat mahal.

“Aku lihat kamu tidak pakai anting, jadi aku membelikan anting ini sebagai hadiah untukmu.”, senyum di wajah Laras kembali terbit.

“Dulu aku pakai anting, hanya saat Rafka masih sangat kecil dia sering menarik antingku, sejak saat itu aku putuskan sementara untuk tidak memakai anting. Hingga akhirnya aku menjadi terbiasa tidak memakai anting sampai sekarang.” Ujar Laras.

“Sekarang Rafka sudah besar tidak mungkin dia menarik antingmu lagi, aku mau kamu pakai anting ini.” Laras mengangguk tanda ia setuju dengan permintaan suaminya. Justin memakaikan anting itu ke telinga Laras.

“Cantik.” Ucap Justin ia menatap istrinya dengan penuh cinta, Laras mengecup bibir Justin sebagai ucapan terima kasihnya. Tidak perlu dijelaskan lewat lisan mengenai perasaan Justin pada Laras, lewat tatapan matanya pun sudah tergambar jelas betapa Justin sangat mencintai wanita itu.

🍃🍃🍃

Semenjak dekat dengan putranya Alan mulai mengurangi kebiasaannya bermain gila dengan banyak perempuan. Bahkan Alan sudah merencanakan kalau ia akan benar-benar berhenti dari kebiasaannya itu dalam waktu dekat, ia tidak mau anaknya menurun sifat dirinya.
Malam ini Rafka menginap di rumahnya, Alan tak membuang kesempatan untuk lebih dekat dengan putranya itu. Ia ingin menebus waktu dimana ia selama tujuh tahun ini tidak bisa mendekati anaknya, dulu yang bisa ia lakukan hanya memantau anaknya dari kejauhan.
Hingga akhirnya Justin menyuruhnya untuk pergi ke Los Angeles untuk mengurus salah satu cabang perusahaannya, membuat Alan tidak bisa lagi memantau anaknya. Bodohnya saat itu ia tidak menyadari rencana Justin, jika saja waktu itu ia tidak pergi dan memilih untuk tetap mengejar Laras pastinya ia sudah kembali bersama dengan wanita itu.

“Papa aku ingin punya kamera.” Alan mengernyit mendengar ucapan putranya, bocah tampan yang merupakan gambaran dirinya dalam versi mini itu menatapnya penuh harap.

“Kamu ingin punya kamera untuk apa?” tanya Alan, ia mengusap kepala Rafka dengan lembut. 

Buah cintanya bersama Laras yang dulu pernah dengan tega ingin ia lenyapkan, sekarang ia sangat menyesali perbuatannya itu jika saja waktu itu Laras keguguran saat ini tidak mungkin ada seorang anak yang memanggilnya Papa dengan wajah tampannya yang menggemaskan. Ia akan sangat kesepian saat berpisah dengan Laras, anak ini satu-satunya kenangan bukti ia dan Laras dulu pernah bersama dan saling mencintai.

“Untuk foto-foto Papa.” Ucap Rafka, dengan gaya merajuknya yang persis seperti Laras. Ia jengkel dengan Alan, masa kegunaan kamera tidak tahu.

“Ya sudah Papa akan belikan, sekarang jagoan Papa tidur. Ini sudah larut malam, besok kamu harus sekolah.” Ucap Alan, Rafka mengangguk ia segera menutup matanya ini memang sudah lewat jam tidur malamnya. 

Alan mengecup pipi anaknya sebagai ucapan selamat malam, wajah yang selalu terlihat ceria itu perlahan terlelap damai. Sudut bibirnya nampak tersenyum, Alan yakin kalau Rafka saat ini sedang bermimpi indah.

🍃🍃🍃

Laras tidak menyangka kalau hari ini ia akan berakhir di rumah Farhan, terjebak dalam obrolan yang canggung. Berawal dari ia yang menemani Rafka pergi ke toko untuk membeli alat-alat sekolah, ia bertemu dengan Farhan dan kedua anaknya. 
Rafka yang memang berteman baik dengan kedua anak Farhan langsung mengiyakan ketika kedua bocah yang lebih tua darinya itu mengajak main bola ke rumah mereka, Laras tak punya pilihan lain selain mengiyakan ucapan anaknya.

Meski dirinya sudah memberi tahu ia berada dimana dan dengan siapa pada Justin melewati pesan singkat, tetap saja Laras merasa khawatir kalau pria itu akan salah paham. Tapi semoga saja itu tidak terjadi, baik Laras maupun Justin pernah berjanji untuk saling mempercayai. Keduanya sama-sama pernah terluka dan dikhianati, dan mereka sepakat tidak akan membiarkan kisah itu terulang kembali.

“Senang rasanya melihat anak-anak bisa akrab seperti itu.” Ujar Farhan, menatap kedua anaknya yang bermain dengan ceria bersama Rafka.

“Iya, aku berharap mereka bisa menjadi teman baik selamanya.” Sahut Laras, atmosfer yang ada di sekitarnya benar-benar tidak nyaman. Laras berharap semoga anaknya bosan bermain, sehingga mengajak cepat pulang.

“Padahal dulunya aku berharap anak-anak kita bisa menjadi saudara, dan kita bisa menjadi sebuah keluarga. Kamu jadi Ibu untuk anak-anakku dan aku jadi Ayah untukmu.” Ucap Farhan.

Wajah Laras berubah kaku. Batinnya bertanya apakah pria ini masih menaruh rasa padanya, tapi dari pertama mengenal Farhan sampai sekarang Laras tidak memiliki rasa apa pun terhadap pria itu. Meski Farhan baik dengannya bahkan sangat baik malah, tapi Farhan bagi Laras tak lebih dari seorang teman biasa.

“Hm, sebentar Mas aku angkat telepon dari suamiku dulu.” Ucap Laras, ia benar-benar terselamatkan dengan telepon dari Justin. Sementara Farhan ia merasa cemburu, pria itu iri dengan keberuntungan Justin yang berhasil memiliki Laras sebagai istrinya. Justin pasti bahagia sekali memiliki istri yang lembut dan perhatian seperti Laras, pikir Farhan.








Mengejar Cinta Sang JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang