IX

11 4 3
                                    

Valerie mimpi aneh sekali. Ia bermimpi kalau Allard dan Allistor menjadi pawang sebuah kebun binatang yang semuanya bisa bicara. Gadis itu terbangun mendengar suara ketukan di pintu. Walau begitu kepalanya sedikit pusing dan ia tidak bisa ingat apa yang terjadi kemarin malam setelah pesta. Itu aneh.

"Psst, Vale. Ini Allard. Buka dong."

Valerie mengucek matanya dan melirik jam porselen di atas perapian, pukul 03.00 pagi. Astaga apa yang dia inginkan? Valerie berusaha berdiri dan menuju pintu.

"Apa sih? Ya ampun, Allard aku masih ngantuk," Valerie bahkan tidak peduli penampilannya saat ini. Allard sendiri seperti habis bangun tidur. "Ayolah, kau tahu kan selain malam para hantu muncul pukul 3 pagi. Ada yang bilang pukul 12 malam tapi kita sepakat pukul 3."

"Ya, dan?"

Allard cemberut, "Allistor? Kau akan menyihir boneka itu?"

Penglihatan Valerie pun menjernih, "Oh iya. Aku diajari Merlin beberapa trik sihir yang cukup keren. Omong-omong gimana caranya kamu menyelundupkan boneka-boneka itu?"

"Aku boleh menjaga kamarnya tadi malam ketika dia ke sini untuk menemanimu. Nah aku mengambil kesempatan emas itu," jawab Allard blak-blakan. Valerie melongo, "Apa?"

"Oh sudahlah, ayo."

Mereka berdua pun mengendap-endap menuju kamar Allistor. Allard mencoba membukanya tapi gagal. "Ah tidak keren. Dia mengunci pintunya."

"Ya, dia tidak seperti dirimu, Allard. Minggir sini." Valerie menujuk lubang kuncinya dan berbisik, "Recludo." Percikan listrik berwarna emas melejit ke lubang kunci dan terdengar bunyi klik memuaskan. "Satu poin untuk, Cathwright. Ha ha," Allard menepuk pundak Valerie dan membuka pintunya pelan-pelan. 

Ruangannya gelap, hanya ada cahaya remang bulan dari jendela. Mereka masuk dan menutup pintunya dengan pelan. "Sssh, tunggu di sini." Sementara Allard mengambil boneka yang ia sembunyikan di kolong tempat tidur, Valerie beringsut dan duduk di sofa sebelah tempat tidur. Ia merona ketika melihat Allistor yang tertidur pulas. Di samping pemuda itu ada sebuah novel yang terbuka dan karena Valerie penasaran, ia mengambilnya dan melihat judulnya.

"Hmm, The Phantom of The Opera? Wow."

Di pojok kamar, Allard menyuruhnya mendekat. "Mereka sudah siap." Valerie bahkan terkesan. Kedua boneka itu tampak mengerikan. "Kau yang merombak boneka ini? Wow, poin untukmu, Jenius."

"Yeah. Aku sengaja meretakkan sedikit pipinya, memberinya cat merah, debu. Merobek bajunya sedikit. Membuatnya mengerikan."

"Ya, mereka sudah tampak seperti iblis kecil."

"Nah, silakan giliranmu," Allard memekik girang. Valerie mencoba fokus, "Posseduto." Kali ini cahaya ungu berpendar lambat memasuki kedua boneka itu. Mereka menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dan kedua mata boneka itu mulai berkedip. Allard hampir saja berteriak girang jika Valerie tidak memberhentikannya. "Wow ini betulan terjadi. Keren dan menakutkan." Valerie menggaruk belakang kepalanya, "Yah, aku benar-benar penasaran bagaimana reaksi Allistor tentang hal ini. Nah, Allard, sekarang kau bisa membisikkan perintah untuk mereka."

"Apakah mereka bisa bicara?"

Valerie berpikir sejenak dan mengangguk. Beberapa menit kemudian mereka menaruhnya di pojok ruangan dan tepat di samping Allistor. Allard menaruh sebuah kotak musik yang ia sengaja beli di meja dan memutar kuncinya 3 kali dan segera keluar. Mereka menunggu dengan tenang di luar kamar sang Jack Spade seperti orang aneh. Valerie dan Allard mulai mendengar suara Allistor yang terbangun dengan bingung. Valerie menahan tawa ketika ia mulai mendengar boneka itu bicara.

"Allistor, bangun. Kalau tidak kami akan menghabisi teman-temanmu, terutama Valerie Cathwright, hi hi."

Valerie merengut kepada Allard, "Kau ini teman yang buruk." Allard hanya terkikik. Selanjutnya ia bisa mendengar Allistor yang panik. "Apa-apaan?! Jangan dekati aku dasar iblis!" Valerie bahkan merasa sedikit ngeri dengan suara alunan musik, suara tawa anak-anak yang bergema, dan bunyi mereka berjalan. 

Allard mundur dan tertawa terbahak-bahak tanpa suara di lorong. Valerie kemudian mendengar suara pedang yang dihunuskan dan segera saja ia tahu situasinya bakalan buruk. Cepat-cepat ia segera membuka pintu dan mendapati Allistor memenggal salah satu kepala boneka itu di depan perapian. Boneka satunya memanjat punggung Allistor yang langsung secara refleks menyambarnya dan menusuknya tepat di dada. Valerie segera mengembalikan mantranya dan menjentikkan jarinya. Semua sudah berakhir.

"Allistor!"

Pemuda itu menoleh kepadanya dengan muka yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ketakutan. Keringat dingin mengucur di wajah dan lehernya. "Valerie! Lebih baik kau jangan ke sini, Ruangan ini dikutuk!" Di luar Allard tertawa sambil memukul-mukul lantai lorong.

"Allistor! Tidak apa-apa ini cuma—"

Allistor dengan pedang yang masih terhunus segera memutar-mutar Valerie dan memeluknya. "Apa kau terluka? Ya ampun mereka bilang akan menyakitimu!" Valerie yang masih tergencet pelukan Allistor segera berkata, "Ini u . . lah A . . Allard." Allistor langsung menoleh ke sepupunya di lorong yang segera terdiam. Beberapa saat Valerie menggigit bibirnya karena bisa merasakan atmosfernya berubah dengan cepat. Dengan itu, Allistor hampir akan menyerang Allard jika Valerie tidak menahannya.

Allard mendapat pukulan keras di atas kepalanya. Mereka berdua sedang di sidang di kamar Allistor sekarang. "Hei. Kenapa Valerie tidak dapat pukulan juga? Padahal dia yang menyihir!" Allard cemberut sambil mengelus-elus kepalanya. Allistor bersandar di tiang tempat tidur dan mendecakkan lidahnya, "Aku tidak menyerang perempuan. Haloo? Tapi jelas dia dapat hukuman."

"Kenapa?" tanya Valerie di sofa sambil cemberut. Allisor mendekatinya dan berkacak pinggang, "Karena pertama kau ikut-ikutan dalam hal ini dan kedua kemarin kau minum melebihi batas dan kau muntah hampir mengenaiku." Valerie akhirnya ingat apa yang terjadi dan merona.

"Hei, itu tidak buruk. Kemarin aku berdansa dengan seorang wanita yang tidak bisa berhenti bicara dan hampir membuatku tersandung crinoline nya dan menjadi gila. Dan di pesta kemarin ada beberapa orang yang hampir memakan rambutku!" Allard menjelaskan panjang lebar dengan ekspresi yang dibuat. Allistor mendengus, "Keputusan bijak aku membawa Valerie pergi dari pesta itu. Nah, karena ini masih pagi dan kalian pasti tidak akan mau membangunkan yang lain lebih baik kalian kembali tidur. Oh dan Vale, nanti sore, di ruang bawah tanah."

"Apa katamu?"

"Tidurlah sekarang. Sana." Valerie pun menurutinya dan segera kembali ke kamarnya.

-O-

Kali ini Valerie mimpi sungguhan. Ia berada di tepi tebing itu lagi, dengan batu mulia berbentuk spade di tengah. Namun tebing itu runtuh dan jatuh ke laut. Valerie berteriak tapi tak ada satu pun suara yang keluar. Tubuhnya menghantam laut dengan keras. Selanjutnya ia melihat keempat pilar itu mulai membangun dirinya sendiri menjadi sebuah kuil tinggi dengan banyak pintu. Di sekelilingnya mulai terbentuk air terjun di dalam laut. Batu itu ada tepat di atas kuil itu. Valerie bangun dan mendapati sinar matahari menyinari kamarnya. Ia pun merenung sejenak dan segera membersihkan diri.

The Cards Chronicles - The Magical StonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang