구 ● Sembilan

227 44 16
                                    

Seoul, lima tahun yang lalu.

Sungjae memberhentikan sepedanya dan turun di tepi lapangan. Ia melangkah menaiki balok-balok besar dan duduk di atasnya, menghadap ke lapangan yang ramai oleh pemuda-pemuda keren sedang menghabiskan sore bersama. Sungjae suka ini: memperhatikan mereka berlatih skateboard setiap sore sepulang sekolah. Melihat atraksi mereka dengan papan luncur di bidang yang melengkung, naik turun anak tangga, atau melayang bebas di udara sambil memutar-mutar papan itu dengan kaki.

Sungjae menyukai skateboard sejak itu. Ia ingin menjadi seperti pemuda-pemuda yang ia tonton kini. Mereka mungkin masih SMA, tapi mereka sudah sangat mahir memainkan papan luncur. Tak jarang Sungjae terkadang kehilangan mereka sekitar dua hari dan keesokannya mereka bermain dengan penuh suka cita karena baru saja memenangkan pertandingan. Walaupun hanya menonton, Sungjae bisa merasakan betapa hangatnya persahabatan para lelaki ini.

"Subie, apa kau akan ikut kompetisi itu?" tanya seorang pemuda bertopi pada pemuda lain yang sedang beristirahat di tepi lapangan.

"Yang mana, Hyung?"

"Korea Skateboard Competition."

Pria yang ditanya meneguk air mineralnya sebentar. "Itu kompetisi yang hebat dan bergengsi. Pasti akan sulit, kan?"

Yook Sungjae tiba-tiba turun dari tempat duduknya dan mendekat pada kumpulan remaja itu. "Hyung, ikut saja. Aku akan mendukungmu."

Para pemuda kaget melihat anak ini tiba-tiba bergabung dengan mereka. "Hei, kau tahu juga soal skateboard, ya?"

Sungjae mengangguk kuat. "Aku suka skateboard setelah melihat hyungdeul memainkannya. Tapi aku tidak bisa. Nenekku juga melarang karena takut aku terluka. Namun aku sering melihat kalian di pertandingan. Aku pendukung hyungdeul."

"Wah, wah. Tapi, itu pertandingan yang sangat hebat. Bisa mengikuti sampai lolos babak penyisihannya saja sudah kebanggan. Apa kau tahu sulitnya itu, anak muda?"

"Tapi aku yakin Hyung pasti bisa. Hyung kan sering ikut perlombaan semacam itu, jadi Hyung pasti bisa melakukannya dengan baik."

Yook Sungjae memang begitu. Dia bukan tipe anak pemalu dan pendiam. Lagipula, dia memang sering melihat mereka bertanding. Dia bahkan bersorak paling keras di bangku penonton.

Alhasil, dia jadi primadona di sore itu. Para pemuda tampak senang melihat calon penerus mereka kelak. Sungjae pun dimanja. Ia yang tak pernah menyentuh papan luncur kini dipersilahkan mencobanya. Bahkan, salah satu hyung yang sangat ia kagumi turun tangan langsung mengajarinya teknik dasar bermain skateboard. Pria itu yang sering ia dukung di pertandingan dan selalu menang. Dia adalah panutannya.

"Wah, kau hebat. Baru belajar sebentar sudah pandai," puji pemuda yang dipanggil Subie oleh yang teman-temannya itu. Sungjae tersanjung bukan main. Ia semakin menyukai pemuda ini.

"Terima kasih sudah mengajariku Hyung."

"Tidak masalah. Oh iya, kau kelas berapa sekarang?" tanya Subie melihat Sungjae masih memakai baju bebas sementara mereka semua disini memakai seragam sekolah.

"Tahun ini aku akan naik kelas enam, Hyung."

"Cepatlah tumbuh besar. Kau masih pendek, kalau mau main skateboard harus punya kaki yang panjang, seperti aku," candanya. Mereka semua tertawa.

Yook Sungjae merespon cepat. "Nanti aku akan lebih tinggi daripada Hyung."

Sore hari itu berlalu dengan cepat. Cahaya matahari masih tampak tipis di ujung barat. Latihan sudah selesai dan semuanya bersiap untuk pulang. Tak terkecuali Sungjae yang diajak pulang bersama pemuda-pemuda tampan penuh keringat itu.

Melihat Sungjae mengambil sepedanya, Subie jadi tertarik. "Hei, sudah lama aku tidak main sepeda."

"Jangan coba merusak sepedanya, Subie-a. Itu kecil untukmu."

"Sekali kau mengayuh rantainya bisa lepas."

"Aih, jangan begitu, Minhyuk Hyung. Coba sebentar saja tidak apa-apa, kan?" ia melirik Sungjae. Tentu saja tidak masalah baginya. Jangankan meminjamkannya, mungkin ia akan memberikannya saja pada Hyung favoritnya ini jika ia punya yang lain di rumah.

Tapi ternyata pria ini malah keasyikan main sepeda dan belum juga berangkat. Sepertinya ia terlalu lama main papan luncur hingga lupa kesenangan menaiki sepeda yang cukup kecil untuk tubuhnya yang tinggi. Maklum, sepeda ini untuk anak kelas lima SD.

"Hei, kau pulang ke arah mana?"

"Ke sana." Sungjae menunjuk jalanan.

"Kalau begitu kita searah. Bagaimana jika aku mengayuh sepedamu sampai di ujung jalan itu, lalu kau berdiri saja di skateboardnya sambil berpegangan padaku?"

Deal.

Sungjae dan Subie pulang bersama, sementara pemuda-pemuda lain berjalan menuju arah yang berbeda.

Subie, dengan ransel dan jas seragamnya yang dipakaikan pada Sungjae mengayuh sepeda itu sementara Sungjae memegangi kemejanya di bagian pinggang. Karena belum mahir, Sungjae hanya berusaha diam dan menyeimbangkan tubuh. Subie bertugas mendorong pedal dan menarik Sungjae perlahan. Mereka berjalan di atas trotoar lebar yang separuhnya adalah jalur sepeda.

"Hyung, kau akan ikut kompetisi itu, kan?" tanya Sungjae yang berada di sisi kanan Subie. Pria itu tampak mulai lelah mengayuh.

"Sebenarnya itu adalah impianku sejak lama. Aku selalu ragu, tapi sepertinya tahun ini aku tak boleh melewatkannya lagi."

"Wah bagus sekali! Aku pasti akan datang mendukungmu! Aku ini penggemarmu."

"Hahaha," Subie tertawa diantara napasnya yang tersengal-sengal. "Kau ini bisa saja. Oh ya, siapa namamu tadi?"

"Yook Sungjae. Kalau Hyung?"

"Aku Changsub. Lee Changsub."

Tepat setelah pria itu menyebut namanya, terdengar bunyi nyaring di bagian bawah sepeda. Seperti prediksi Minhyuk, satu dari anggota geng skateboard tadi, rantai sepeda itu terlepas. Mungkin karena Changsub mengayuh terlalu bertenaga dengan kaki besar dan kekuatan anak SMA-nya. Changsub kehilangan kendali dan ia tidak sempat menarik rem di tangannya, hingga ia terjatuh dan tubuhnya meniduri trotoar.

Sayangnya, bukan hanya dia yang jatuh. Sungjae yang tadinya berpegangan padanya juga ikut hilang kendali.

"HYUNG!" pekiknya takut. Ia meluncur bebas tanpa arah, dan ia juga tak sempat meloncat dari skateboard­-nya. Sungjae beserta papannya terlanjur meluncur sampai ke tepian trotoar hingga terjatuh karena perbedaan ketinggian antara trotoar dan jalan.

Bruk!

Ia mendarat di aspal, tapi skateboard-nya masih bergerak ke tengah jalan dan mengejutkan pengendara motor yang melintas.

Semuanya terjadi begitu cepat. Changsub yang bahkan belum sempat berdiri melihat sang pengendara membanting stir hingga ia bannya slip dan ia terjatuh dari motornya dan menimpa Sungjae yang masih mencium aspal.

"AKH!"

Suara tubuh yang terjatuh, ciutan ban yang meninggalkan jejak di aspal, benturan motor dengan jalanan, dan pekikan Sungjae saat beban berat menimpa tubuhnya, terekam bersamaan di otak Changsub. Ia kaget setengah mati. Tangannya dingin, keringatnya bercucuran. Ia langsung bangkit dan berusaha menyelamatkan anak itu.

Tapi dia tampak tak berdaya. Pipinya lecet karena aspal, dan nafasnya sangat pendek. Matanya menutup menahan rasa sakit. Seluruh tulangnya terasa remuk, dan organ-organ dalamnya seakan terjepit rusuk-rusuknya. Ia bahkan tidak punya kekuatan untuk mengambil oksigen.

Changsub langsung mengangkat tubuh yang dibalut seragam sekolah miliknya menepi ke trotoar. Tubuh yang lemas itu terasa sangat rapuh. Anak ini, jiwa dan tubuhnya seakan berada di ambang perpisahan. Changsub takut, sangat takut hingga ia bergetar hebat dan kehilangan seluruh sisa energinya.

Ya Tuhan, tolong selamatkan anak ini.

  ●○●○●○●○●  

11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang