PM | Chapter 4

12.3K 2.1K 92
                                    

Instagram: zeeyazeee

“Berani menciumku, sama dengan berani untuk tidak merasakan kakimu sendiri selama satu bulan ke depan, wahai Yang Mulia.” Brianne bergeser menjauh, memberi jarak antara dirinya dan Nord.

“Baiklah, aku mulai tertarik dengan pembicaraan kalian.” Seorang pria yang terlihat seumuran dengan Annelise mengambil tempat di antara Brianne dan Nord. Tangan kanannya memegang gelas sampanye yang sepertinya hanya dijadikan hiasan karena tidak ada tanda-tanda minuman itu sudah berkurang.

Brianne memberi membungkukkan sedikit punggungnya, seraya menunduk. Ia telah mempelajari cara memberi penghormatan yang benar dari Josephine dan Stephanie. “Yang Mulia.”

“Cukup panggil aku dengan sebutan itu di sini, tapi ketika semua penjilat ini pergi… kau cukup memanggilku 'ayah’.”

Mungkin hanya orang-orang yang bernasib sama dengan Brianne, yang bisa memahami betapa bahagianya ia saat ini ketika ada seseorang yang secara tidak langsung menawarkan diri untuk mengisi figur seorang ayah.

Ibu baru, ayah baru, dua adik perempuan yang menyenangkan. Bagaimana dengan dua adik laki-lakinya?

Hiruk-pikuk para wanita yang berkumpul di dekat pintu, menyebar ke segala penjuru aula. Brianne tertarik untuk mencari tahu, siapa yang menyebabkan sebagian besar wanita-wanita terhormat yang hadir di sini sibuk berkasak-kusuk sambil tersipu malu.

Dua pria tampan dengan figur wajah yang tidak berbeda jauh dari Nord, berjalan berdampingan melewati deretan wanita yang tampak terpesona dengan kehadiran mereka.

Brianne tidak kesulitan untuk menebak bahwa mereka berdua adalah dua adik Nord yang lain, yang belum berkenalan dengannya.

“Jadi ini kakak kami yang baru?” Oliver, adik pertama Nord, mencium lembut punggung tangan Brianne. Senyumnya hanya tersungging tipis, namun sorot matanya benar-benar memabukkan. Brianne menebak, adik Nord yang satu ini lebih lihai dalam menangani hati wanita.

 Brianne menebak, adik Nord yang satu ini lebih lihai dalam menangani hati wanita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Calon.” Brianne bergantian tersenyum kepada Oliver dan Edson, yang terlihat sedang menunggu giliran untuk menjadi juru bicara.

“Aku Ed. Ed dari Edson, adik ke-dua setelah si tukang penyebar pesona ini, Oliver.” Edson mengambil tangan Brianne yang sama, yang baru saja dibubuhi kecupan oleh Oliver. Pria itu mengeluarkan saputangannya, lalu menggosok-gosokkan kain lembut itu ke punggung tangan Brianne. “Aku harus memastikan ini bersih.”

Oliver memutar bola matanya, lalu melayangkan tatapan kesal kepada Edson

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oliver memutar bola matanya, lalu melayangkan tatapan kesal kepada Edson. “Kau ingin mengajakku berkelahi? Tenis? Balap motor?”

Nord berbicara tanpa melihat ke kedua adiknya. “Jaga sikap kalian. Jangan membuatku malu.”

Oliver dan Edson sama-sama melengos, lalu menatap satu sama lain. Kemudian, mereka menghampiri Josephine dan Stephanie yang melambaikan tangan menyuruh mereka menjauh dari Nord dan Brianne.

“Upacara akan dimulai sebentar lagi.” Nord berdeham, membenarkan letak lencana yang terpasang di dadanya.

Brianne menegakkan punggung dan mengangkat dagunya. Wanita itu berusaha menunjukkan senyum terbaiknya.

Dan ketika musik kerajaan dimainkan, Brianne tahu ketika pesta ini usai, hidupnya tak akan lagi sama.

***

Brianne berulang kali menarik dan mengembuskan napas. Tatapannya mengisyaratkan kebosanan yang sudah melewati batas yang bisa ia tampung.

Berdiri sambil berbincang tanpa mengerti apa yang dibicarakan lawan bicaranya, benar-benar membuat Brianne ingin angkat kaki dan tidur saja di dalam kamarnya. Sayangnya, kegiatan mengobrol ala kalangan elit ini tidak akan berhenti sampai pesta berakhir. Dan bagi Brianne, ini seperti tidak akan ada habisnya meski dunia kiamat sekalipun.

“Jadi, kudengar Nona Marlowe sebelumnya bekerja sebagai pelayan?” Shalome, anak terakhir dari salah satu bangsawan tinggi di Rusia, memulai topik yang sepertinya ditujukan untuk merendahkan Brianne di hadapan sekelompok Puteri yang entah dari kerajaan atau keluarga bangsawan yang mana saja.

Tapi Brianne tidak akan terpengaruh dengan sentilan kecil seperti itu. “Aku harus menghidupi diriku sendiri. Jadi, itu yang aku lakukan.”

“Ah… aku mengerti. Pasti susah berada di posisimu saat itu.” Shalome merapikan anak-anak rambut yang sedikit keluar dari sanggulnya. “Setidaknya kau harus melatih mentalmu jika suatu saat nanti foto-fotomu ketika melakukan pekerjaan itu bermunculan di media.”

“Itu bukan masalah. Menurutku, masa laluku bukan sesuatu yang memalukan.” Brianne tersenyum lebar, dengan mata yang sedikit menyipit saat memandang Shalome yang sedang melihat ke arah lain: Nord.

“Jangan tersinggung, Nona Marlowe--tapi banyak hal yang harus kau pelajari untuk menjadi bagian dari keluarga terhormat.” Shalome menyunggingkan senyum miring. “Lain dengan kami yang sejak kecil sudah menerima banyak pelajaran tentang itu, kau, Nona Marlowe, mungkin membutuhkan waktu yang agak lama. Pada dasarnya, jarang sekali ada kejadian seperti ini. Perjodohan yang tidak berdasarkan garis keturunan.”

Brianne tertawa di dalam hati. Baiklah, dia sudah bisa membaca apa yang sebenarnya ingin Shalome itu katakan: Tidak ada yang lebih pantas selain dirinya sendiri, untuk bersanding dengan Nord. Maafkan aku, Shalome manis. Takdir memang senang berlaku kejam di waktu tertentu.

“Aku suka belajar. Untungnya aku terlahir dengan otak yang sehat, dan termasuk ke dalam deretan murid yang tidak pernah mencontek saat ujian.” Brianne menggoyangkan gelas sampanye yang baru sedikit ia minum isinya. “Aku yakin itu akan berguna.”

Seolah kehilangan kata-kata, Shalome menutupinya dengan menghabiskan sampanye di gelasnya dalam sekali teguk.

Brianne menundukkan kepala, memberi tanda bahwa ia akan meninggalkan pembicaraan.

“Sudah mendapat teman baru?” Nord menyambut kedatangan Brianne yang menghampirinya. Saat ia bersitatap dengan Shalome yang tersenyum dengan sangat manis ke arahnya, pria itu terkekeh. “Kau baru saja berbicara dengan salah satu yang pernah melamarku.”

“Melamarmu?” Brianne sama sekali tidak berpura-pura terkejut. “Bukankah seharusnya pria yang melakukannya?”

“Ada beberapa keadaan dimana pihak perempuan yang mengajukan diri. Dan dia, bukan orang pertama yang menerima penolakanku lebih dari tiga kali.”

“Dan kenapa kau menolaknya? Karena kau sudah memiliki aku sebagai tunanganmu?”

Nord merangkulkan lengannya di pinggang Brianne. Tangannya yang bebas, turun mengenggam tangan Brianne. Jemarinya bertaut dengan jemari Brianne, dengan gerakan yang setiap hitungannya seolah mengikuti ketukan lagu.

This is our first dance.” Nord menatap intens kedua manik cokelat Brianne yang tampak berkilau ditimpa cahaya lampu-lampu.

“Aku tidak bisa berdansa.” Brianne berusaha menghindari kontak mata dengan Nord. Tatapan pria itu, jarak mereka yang mendekati nol, dan ajakan berdansa, membuat Brianne seperti kesulitan bernapas dengan benar.

“Kau hanya perlu mengikuti langkahku.” Nord perlahan bergerak, membawa Brianne mengikuti irama.

“Bagaimana dengan pertanyaanku?” Brianne mencoba mengembalikan topik pembicaraan, sebelum kegugupan benar-benar menelannya.

“I think I don't need to answer your question, when you are already know what the answer is.”

Jangan lupa vommentnya ya :3
Next, mau adeknya Nord yang mana yang muncul lagi? Oliver? Josephine? Edson? Stephanie?


Prince and Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang