PM | Chapter 14

10.1K 1.2K 91
                                    

So sowwy semalem ngantuk banget :(

Enjoy!

Padahal ini belum benar-benar menjadi rumahnya, tapi Brianne sangat merindukan bangunan megah yang terlihat dari jendela pesawat. Sebentar lagi pesawat yang ia tumpangi akan segera mendarat, dan—ah... apakah itu Nord?

Seorang pria mengenakan kaus Polo hitam dipadukan dengan celana abu-abu muda, tampak sedang menunggu dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke saku celana, di gerbang istana yang menyambungkan landasan pesawat terbang dengan halaman dalam istana. Jaraknya cukup jauh, tapi Brianne mengenali jelas pria itu adalah Nord—tunangannya. Agatha tidak ikut pulang ke istana, dan memilih untuk menetap di vila selama beberapa hari. Jadi, Brianne hanya ditemani dua orang pelayan yang merangkap sebagai pramugrari di pesawat, dan dua orang penjaga keamanan. Keempatnya ikut mengawal Brianne turun dari pesawat.

Nord memperhatikan tampilan Brianne dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Baguslah kau kembali tanpa kurang satu apa pun."

Brianne melengos melewati Nord, sementara empat orang lain yang sebelumnya mengawal dirinya diperintahkan Nord untuk melalui jalan lain. Akhirnya, Brianne melalui lorong pendek menuju halaman istana hanya berdua saja dengan Nord. Pria itu mengekori Brianne dalam diam.

Ketika mereka berdua mencapai halaman dalam istana, Brianne berbalik menghadap Nord, membuat pria itu sontak memelankan langkahnya sebelum akhirnya berhenti ketika hanya tersisa dua-tiga langkah saja sebelum mencapai posisi Brianne.

"Apa kau tidak ada kegiatan lain selain menjemput dan mengikutiku seperti ini?" Brianne melipat kedua lengannya, menaikkan dagu seolah angkuh.

"Tidak ada yang mengikutimu. Aku hanya sedang berjalan di belakangmu," jawab Nord.

Brianne meluruskan kedua lengannya. "Oh, dan sampai kapan kau akan berjalan di belakangku?"

Nord tersenyum sambil mengangkat sebelah alisnya. "Sampai kau berhenti?"

"Berarti kau benar-benar sedang mengikutiku. E-nyah-lah."

Sebelum Brianne kembali berbalik dan melangkahkan kakinya, Nord menarik tangan perempuan itu, membuatnya hampir limbung lalu menangkap tunangannya itu dengan sempurna dalam sebuah pelukan.

Brianne terkesiap. Saat ini wajahnya menempel intim pada dada Nord. Ia bisa mendengar detak jantung teratur pria itu. "Apa kau tidak suka aku mengikutimu?"

Brianne berusaha menjauhkan diri, tapi Nord mengeratkan pelukannya. "Kenapa kau jadi begini?" Ia mengangkat wajahnya hingga bertukar pandang dengan Nord.

"Kenapa ya? Menurutmu?"

Brianne tahu dia akan tergagap jika membalas ucapan Nord. Hal pertama yang terlintas dari pikirannya adalah melarikan diri, lagi. Ia pun mengangkat kakinya, mengambil ancang-ancang untuk menyerang Nord. Entah apakah itu kakinya, atau selangkangannya. Yang mana saja tidak masalah.

Sayangnya, Nord berpikir satu langkah lebih cepat untuk bisa menangkap rencana Brianne. Pria itu melepaskan pelukannya, membiarkan tunangannya itu mendarat dengan sedikit menyakitkan di atas rerumputan.

"Aw!" Brianne mengusap-usap bokongnya yang terasa ngilu. "Bagaimana kalau yang barusan menyakiti tulang ekorku?"

Nord mengerling. "Aku yakin bokongmu memiliki kapasitas yang cukup untuk melindungi tulang ekormu, My dear," kekehnya, sambil berlalu meninggalkan Brianne yang melemparinya dengan sumpah serapah.

***

"Informan terpercayaku mengatakan bahwa kau dan Nenek Agatha sudah berbaikan." Josephine menyambut kedatangan Brianne di kamar dengan sebuah pernyataan yang terdengar seperti pertanyaan yang menuntut untuk segera ditanggapi.

Di sisi lain, Stephanie yang juga tiba di waktu yang sama bersama Josephine—lima belas menit sebelum Brianne memasuki kamar—juga tengah memandangi Brianne dengan sorot mata penasarannya. Brianne membalas tatapan calon adik iparnya yang kini tengah bersantai di atas kasurnya itu dengan tatapan datar. "Burung yang mengabarkan kalian berdua berita itu, layak kalian berikan hadiah. Apakah jawabanku sudah memuaskan kalian?"

Josephine yang semula duduk di kursi meja rias, beralih mengikuti Brianne yang hendak menyusul Stephanie menuju kasur. Keduanya mendaratkan bokong mereka di waktu yang nyaris bersamaan. "Itu berarti dalam waktu kurang dari tujuh hari, lonceng besar gereja akan berbunyi."

Brianne mengernyit, menatap Josephine yang duduk di sebelah kanannya dengan tatapan bingung. "Memangnya selama ini tidak? Bukankah setiap pagi—"

"Suara yang biasa kita dengarkan di pagi hari itu berasal dari lonceng kecil, Bri. Lonceng besar hanya berbunyi setiap ada anggota kerajaan yang melangsungkan pernikahan," jelas Stephanie panjang lebar, disambut tawa cekikikan Josephine.

"Oh...." Brianne membaringkan tubuhnya, sementara Josephine dan Stephanie menunggu reaksi perempuan itu selanjutnya dengan berhitung satu sampai tiga.

Satu...

Dua...

"APA?!?"

Prince and Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang