Aku berjalan bersama dengan Kakakku ke taman. Tadi, aku merengek minta ditemani ke taman. Alhasil, Kakakku kalah akan rengekanku, ia pun menuruti keinginanku.
Dan di sinilah akhirnya kami sekarang, di taman dekat rumah lelaki itu. Aku pun meminta Kakakku untuk membelikanku es krim. Setelah Kakakku pergi, aku segera mengedarkan pandanganku, dan melihatnya sedang tersenyum ke arahku dari teras rumahnya.
Aku pun tersenyum balik melihat laki-laki itu. Aku segera berlari ke arah rumahnya, dan meninggalkan Kakakku yang sedang mengantri membeli es krim.
"Paman, nanti malam kita bermain lagi kan??" tanyaku pada laki-laki itu, namanya Ferdi, dan aku terbiasa memanggilnya Paman Di.
"Heumm, tapi nanti kita cari teman lagi, yah...," jawab Paman Di, aku pun hanya mengangguk tanda setuju. "Paman, apa kita tak akan tertangkap? Kata Papa, orang-orang yang bermain dengan pisau akan dimasukkan ke penjara," cicitku polos.
"Ssstt, itu tak akan terjadi, Vio... selama kau menutup mulutmu," kata Paman Di. Aku pun segera menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Seperti ini menutup mulutnya, Paman?" tanyaku, kulihat Paman Di tertawa.
"Yahh, terserah dirimu saja, Vio... tapi ingat! Jangan pernah Vio menceritakan permainan kita di sini semalam, kepada siapa pun itu... termasuk anggota keluargamu apa lagi orang tuamu... mengerti Vio?" ujar Paman Di yang tampaknya memperingatiku. Kulihat dari ujung matanya, menampilkan ekspresi yang serius.
"Siap Paman Di! Vio ngerti, dan Vio janji... Vio gak akan menceritakan permainan kita semalam, termasuk kepada keluarga Vio, juga orang tua Vio. Tapi, Paman Di janji juga, akan selalu mengajak Vio, jika ingin bermain seperti semalam," pintaku. "Iya, Paman Di janji, Vio...," jawab Paman Di meyakinkanku.
"Paman Di, entah mengapa ada perasaan menggelitik di perutku, juga ada perasaan menyenangkan saat aku ikut membuat ukiran dan lukisan indah di tangan Henri. Apalagi saat Henri menjerit keras. Rasanya sangat menyenangkan, Paman Di... Lebih dari rasa senang saat Vio makan es krim."
"Heumm.. Vio senang kan?"
"Tentu saja, Paman Di!" jawabku.
"Oh, aku tahu sekarang...," ujar suara seseorang di belakangku. Kulihat, ada guratan ekspresi terkejut di wajah Paman Di, aku bingung melihatnya. Aku pun membalikkan tubuhku. Dan melihat, ternyata yang berbicara tadi adalah Kak Sam--Kakakku.
"Jadi, semalam kau bermain pisau bersama Paman ini, ya Vio? Kau bukan menginap ke rumah temanmu itu kan?" tanya Kak Sam. Aku yang lupa dengan janjiku beberapa menit yang lalu pun, langsung menganggukkan kepalaku tanpa dosa.
"Kakakmu ini terbiasa menguping pembicaraan orang ya, Vio?" tanya Paman Di. Aku yang tak mengerti pun hanya bungkam, dan memperhatikan wajah Paman Di dan juga Kak Sam. Kulihat, mereka sama-sama tersenyum miring.
"Kalau begitu, mengapa kau tak mengajak Kak Sam, Vio?" tanya Kakakku yang mungkin lebih tepatnya ditujukan pada Paman Di.
Melihat mereka yang masih saja tersenyum miring bersama, aku pun ikut tersenyum. Namun, senyumanku harus pudar karena tiba-tiba di sekelilingku menjadi gelap. Kulihat Kak Sam dan Paman Di tersenyum penuh arti bersama, dan ya, ada pisau juga di tangan mereka.
Perlahan, kesadaranku hilang, dan akhirnya kegelapan ini terganti dengan secercah cahaya yang amat terang.
'Kau melupakan janjimu, Paman Di...,' batinku sesaat sebelum kesadaranku hilang.
●●●
Story by DindaJiornmia
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta [Challenge]
Horrorkumpulan creepypasta yang dibuat oleh para member WDG. Baca dan rasakan sensasi kengeriaannya.