Berhentilah memotong ususnya!" Pria bertubuh tinggi itu menegur kawannya yang sedang memotong-motong usus untuk dimakan nanti.
"Ini bagian yang aku sukai, memotong dan menampung darah mereka. Kau sudah siapkan penggorengannya?" Pria tadi mengangguk.
"Hei, Jake! Siapa yang akan kita jadikan korban berikutnya?" Jake nampak berpikir dan kemudian tersenyum.
"Dalton, aku sudah menemukan korban berikutnya, aku yakin pasti kau akan suka." Dalton tersenyum puas.
"Tapi, siapa itu? Apakah memenuhi kriteria?" tanya Dalton sembari memasukkan beberapa potongan otak.
"Sangat memenuhi! Aku sudah lama ingin mencincangnya dan juga mencongkel matanya," Dalton tertawa atas ujaran Jake.
"Hahaha, aku yakin, dia pasti sangat nikmat untuk dihidangkan dalam piring berhiaskan emas nantinya," Jake hanya mengangguk lalu ikut menggoreng.
"Kau tau? Nampaknya, kau tidak pernah mengambil alih dalam suatu pembunuhan, kau hanya membantu memasaknya saja," Dalton mengangguk.
"Aku tidak ingin ikut untuk membunuh, aku takut menjadi sepertimu." Jake menyerengit bingung atas ucapan Dalton.
"Maksudmu? Aku tak mengerti apa yang katakan," Dalton menghela napas lalu menatap Jake lekat-lekat.
"Saat kau membunuh Paman Alber di ladang kebun, itu adalah pembunuhan tersadis yang pernah aku lihat. Dan mungkin, salah satu pembunuhan paling rapih yang pernah aku ketahui." Jake tertawa lepas.
"Kau memotong lidahnya sangat rapih, jantung dan paru-parunya kau keluarkan dengan sangat hati-hati, ditambah kau menjahit mulut dan matanya dengan benang milik Bibi Eff." lanjut Dalton setelahnya.
"Tapi, kau sangat bodoh." Jake membulatkan matanya, diambilnya gergaji mesin diatas meja makan.
"Hei, tenanglah Jake! Tidak perlu emosi seperti itu!" cegah Dalton, ia sangat takut bila Jake akan meluapkan emosinya.
Jake akan melalukan sesuatu yang membuat kau harus bertemu ajalmu saat itu juga. Sekali kau membuatnya marah, ia tak akan pernah main-main dengan ancaman apalagi dengan perilakunya sekarang ini.
Jake memandang Dalton dengan tatapan yang siap memangsa, tidak, lebih tepatnya memandang Dalton seakan-akan ia adalah rival terberatnya.
"Hei, aku hanya menyebut kau bodoh, apakah itu salah?" Jake bersedih dan menjatuhkan gergaji besi tersebut di lantai.
"Tidak, tidak salah. Sudah lupakan, sekarang lanjutkan acara memasakmu itu, aku akan ke belakang terlebih dahulu," Dalton hanya mengangguk dan lanjut memasak.
"Hati-hati Jake." Jake hanya menyerengi bingung lalu melanjutkan langkahnya yang terhenti.
"Apa maksud ucapan Dalton? Aku bodoh? Bodoh bagaimana maksudnya, aku sudah banyak mengeluarkan tenaga hanya untuk membunuh orang-orang di pedesaan itu." Jake mengusap wajahnya kasar.
"Apakah, Paman Alber dendam? Tapi, itu tak mungkin! Aku selalu berbuat baik kepadanya, jadi, jika aku membunuhnya, ia juga tidak akan menghantuiku 'kan?" Jake tertawa hambar, mengingat-ingat kejadian pembunuhan itu.
"Sudahlah Jake, kau ini terlalu baik untuk disalahnkan, kau ini terlalu sempurna untuk menjadi pembunuh." ia hanya bergumam, lalu tak lama ia memasuki kembali rumah tua itu.
"Aku ingin bertanya padamu, apakah aku bodoh?" Jake menepuk bahu Dalton.
"Iya, kau bodoh. Dan juga dengan pengikutmu itu," Jake makin bingung, dan mulai emosi.
"Mati saja kau!" gergaji mesin itu berbunyi untuk memotong leher dari Dalton.
Jake tersenyum, tak lama tepukan di bahunya berhasil membuat ia menoleh dan terbelalak kaget.
"Ada Paman Alber, Bibi Eff, dan aku disini. Pengikutmu bertambah, Jake."
●●●
Story By NailaCahya_
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta [Challenge]
Horrorkumpulan creepypasta yang dibuat oleh para member WDG. Baca dan rasakan sensasi kengeriaannya.