10. Sepeda Malam

12 1 0
                                    

Hari itu sejak sore langit mendung, angin semilir kurang bersahabat, dingin. Menusuk. Mencekam. Aku pikir mungkin janji bersepeda hari ini akan dibatalkan. Rutinitas setiap tiga bulan sekali dari komunitas bersepedaku.

Awalnya aku ragu ketika melihat Ray datang ke rumah, menatapku dengan wajah yang tak secerah biasanya, tapi tetap mengajakku untuk berangkat malam itu. Sudah ditunggu katanya.

Aku mengiyakan, lagipula malam ini aku tidak mau sendirian di rumah. Aku berangkat dengan sepeda gunung putihku dan Ray dengan sepeda merahnya.

Sesampainya aku dan Ray di jalan Ranudarwo, ku lihat teman-teman ku sudah siap semua, tanpa basi-basi mereka langsung saja mengayuh sepedanya di jalan itu, jalan Ranudarwo cukup besar dan tergolong sepi karena berisi komplek perumahan-perumahan besar.

Pukul 12 malam. Aku baru menggowes sepedaku sekitar 500 meter. Seketika pandanganku mengabur, dan pikiranku tiba-tiba kosong, jalanan ini kurasa cukup panjang atau bahkan tak berujung, aku tak tahu. Hingga sepedaku oleng tanpa ada apapun yang menghalangi.

Aku terjerembab mencium aspal bersamaan dengan sepedaku yang terpelanting jauh, aku memekik kaget. Benar-benar bingung atas apa yang terjadi.

Ray menoleh lalu mendekat perlahan, ia mengangkat sepedaku, membetulkannya dan menyenderkannya ke pohon terdekat. Tapi tidak denganku. Aku dibiarkannya. sedangkan dia tetap melaju menyisakan kerlap-kerlip lampu dari belakang sepedanya.

Aku masih tersungkur di aspal dingin malam itu, menatap nanar kerlip-kerlip merah sepeda teman-temanku yang juga ikut melaju meninggalkanku.

Ya, mereka meninggalkanku.

Aku berteriak namun tidak ada suara. Aku menggerakkan tubuhku namun ku mati rasa. Diam ditempat.

Sialan.

Aku menggigil. Dingin itu menusuk tulangku, aku menatap sepedaku, namun kutemukan Ray sudah berada dibelakang pohon itu. Dia mematung menatapku, padahal jelas kulihat tadi ia sudah pergi.

Aku memohon, meminta tolong, meraung memanggilnya. Tapi Ray dengan tubuh tinggi besarnya itu tetap diam. Hingga tiba-tiba kepala Ray terlepas.

Kepala Ray menggelinding ke arahku, aku berteriak memanggil nama Ray lebih keras dan meronta hebat seakan ingin pergi dari kungkungan seseorang. Sungguh aku tidak kuat saat kepala itu berhenti tepat di depanku. Menghadapku dengan wajah yang mengeluarkan darah segar.

Hingga suara badan Ray yang terjatuh ke aspal mengaburkan fokusku terhadap kepalanya, aku semakin berteriak kesetanan.

Aku takut, sungguh aku takut Ray mati di depanku. Ray tunanganku.

Bau anyir darah itu menyeruak. Aku menangis, meraung kembali. Dan bodohnya aku tidak membawa ponsel. Lalu tiba-tiba tubuh Ray berdiri tegap.

Tubuh Ray berdiri tanpa kepala.

Ray mengambil sepedaku, lalu mendekatkannya kepadaku. Entah kekuatan dari mana. Aku bisa menggerakan kakiku, dan berdiri mengambil alih sepeda dengan rasa takut.

Aku ingin sekali memeluk Ray yang tanpa kepala itu, tapi tidak kulakukan.

Aku mengayuh sepedaku tanpa menoleh ke belakang, ku berharap segera bertemu dengan orang dan bisa meminta bantuan.

Namun lagi-lagi aku terhuyung kali ini bertabrakan dengan wanita paruh baya. Dia menyeringai dengan mata merah darahnya, membuatku mengepalkan keras tangan di stang sepeda dan menguatkan diri untuk pergi.

Bingung, tidak ada satu orang pun di perjalanan pulangku yang kulewati dengan keringat mengucur.

Ku sampai lalu ku banting pintu kamarku, meraih ponsel dan mencoba menelfon polisi.

Hingga sebuah panggilan masuk.

Ray is calling...

●●●

Story by Ndrfirsza

Creepypasta [Challenge]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang