5. Rumah Seberang

19 5 1
                                    

Malam ini begitu sunyi, sangat sunyi hingga terdengar suara daun kering yang jatuh. Semua memang terasa biasa, aku menghela napas. Membuka tirai penutup jendela untuk melihat keadaan luar. Rumah yang katanya angker itu. Aku pun kembali menutup tirainya, takut jika sesuatu muncul di sana.

Aku melangkah kembali mendekati ranjang, lalu menjatuhkan tubuhku di sana. Mataku mulai berat, rasa kantuk menghampiri dan seperti bergelantungan di kelopak mata.

Belum lama mataku tertutup, perutku berbunyi. Seharian mengerjakan tugas kuliah sepertinya membuatku lupa memberi nutrisi pada tubuh. Dengan sangat terpaksa aku membuka mata, lalu berjalan keluar kamar menuju meja makan, aku mengingat jika ada roti di sana.

Aku menggeser kursi dan duduk di sana, lantas mengambil sehelai roti yang kuoles selai coklat kesukaanku. Aku memandang keluar kaca bening. Meja makanku tidak bertembok tapi dilapisi kaca lebar sehingga mampu melihat keluar dan malam ini sepertinya ibu lupa menutup tirainya. Aku makan dengan tenang sambil memerhatikan rumah di sebrang. Katanya, rumah itu berhantu dan akan menghantui rumah yang diisi seorang diri.

Tak...  Tak...

Suara ketukan pintu terdengar, aku meneliti. Siapa malam-malam yang bertamu? Aku membiarkan, bisa saja hanya orang iseng.

Tak! Tak!

Aku mendengus, suaranya sangat keras seperti berasal dari sampingku. Akhirnya aku mengalah, melangkah mendekati pintu rumah yang terkunci. Aku memutar kuncinya lantas membuka pintu, tidak ada orang lain di sana, hanya semilir angin dingin yang berhembus terasa menusuk tulang.

Aku membatin, mungkin para pemuda komplek yang sedang begadang dan menakut-nakuti. Kakiku menjauh dari pintu, sebelumnya aku mengunci terlebih dahulu. Perutku masih lapar. Akupun kembali mengambil tempat roti itu dan mengambil sehelai.

Tak! Tak!

"Dasar tak berguna, mereka mengganggu!" gumamku.

Aku kembali melahap roti yang sudah kuberi selai coklat, tanpa peduli suara ketukan tadi. Rasa manis coklat dan lembut padat dari komposisi roti membuatku akhirnya kenyang. Ah, aku tenang sekarang perutku tak lagi mengamuk.

Mungkin karena terlalu kenyang, mataku mulai mengantuk dan tanpa terasa aku tertidur di sini, di meja makan.

Tak! Tak!

Suara itu lagi, aku tak peduli. Tubuhku masih menelungkup di atas meja. Dan dering ponsel disertai getaran itu ikut mengganggu, aku mengambil ponselku yang selalu berada dalam kantong.

Ibu

Ibu?

Aku mengangkat panggilan itu, panggilan dari ibu. Setelah beberapa menit berbincang aku mengambil kesimpulan jika ibuku tidak ada di rumah. Aku sendiri di sini.

Tak! Tak!

Suara itu, aku masih menelungkup. Saat menerima panggilan tadi pun posisiku masih sama. Aku memaksan tubuhku bangun dan memberi pelajaran pada para pemuda yang mengganggu itu. Namun, pandanganku terhenti saat aku menoleh ke samping. Di sana, seorang lelaki tua dengan wajah sangat keriput dan mata bolong yang mengeluarkan darah menyeringai padaku duduk berselang satu kursi dariku sambil memegang tongkat kayanya.

Dan aku sadari, aku sendiri di rumah. Dan suara ketukan itu berasal dari bunyi tongkat kayu yang dihentakan ke lantai marmer rumahku.

Pikiranku menghilang tiba-tiba. Dan sekuat tenaga aku berlari keluar rumah tapi aku tak sadar jika aku masuk ke dalam rumah angker itu, dan lagi katanya siapapun yang masuk ke sana tidak akan bisa keluar selamanya. Mungkin, korban kali ini adalah aku.

●●●

Story by Novlight

Creepypasta [Challenge]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang