Chapter 9

11 1 0
                                    

Hubunganku dengan Irsyad semakin jauh sekali, bahkan kami seperti orang yang tidak saling mengenal. Setiap bertemu denganku Irsyad selalu terlihat seperti orang malu. Apalagi jika dia dan pacarnya bertemu denganku mukanya pucat sekali. Aku tidak mengerti kenapa aku dengannya bisa sejauh ini, padahal dulu begitu dekat. Tetapi di balik kesedihanku itu, aku bahagia karena sekarang abangku sudah menikahi seorang wanita cantik. Sebenarnya abangku menikah sekitar 3 bulan yang lalu, namun baru kuceritakan sekarang. Lebih tepatnya abang menikah setelah tiga bulan papa keluar dari rumah sakit.

Keadaan papaku semakin membaik, dia sudah kembali sibuk bekerja. Dan hari ini katanya dia akan pergi ke kantor LPTQ untuk mengurus urusan MTQ, lebih tepatnya sore dia pergi. Namun, ketika pukul 5 sore tetanggaku mengabarkan kalau papa sekarang berada di rumah sakit, saat itu betapa paniknya mamah mendengar berita tersebt. Sampai tetanggaku berkumpul di rumahku karena panik sekali, saat itu abang berada dirumahnya yang jauh dari rumah orangtuaku sehingga aku disuruh untuk memberitahu om surya yang rumahnya dekat. Rumah om Surya itu ada dua, dan salah satu rumahnya satu desa denganku sehingga lebih mudah untukku memberitahunya. Namun sayangnya om Surya dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantornya, sehingga aku memutuskan untuk meminta tetanggaku mengantar aku dan mamah ke rumah sakit.

Setelah sampai di rumah sakit disana sudah terdapat abang, papa masih berada di ruangan unit gawat darurat. Aku melihat keadaannya, begitu menyedihkan karena papa sudah tidak bisa berbicara, abang menceritakan katanya papa sedang dalam perjalanan dan dia memarkirkan motornya dipinggir jalan, lalu dia muntah-muntah dari sanalah tukang ojek menolongnya dan membawanya ke puskesmas terdekat. Namun, puskesmas tidak sanggup sehingga papa dibawa ke rumah sakit umum yang berada di Subang. Setelah sampai disini abang diberitahu kalau pembuluh darah di otak papa pecah, jadi kemungkinan untuk hidup itu sangat kecil. Apabila sadar pun papa akan mengalami stroke, dokter menyarankan agar papa dibawa ke IGD namun IGD disana penuh, kalau mau papa harus dibawa ke Bandung. Namun, mamah memutuskan agar papa berada disini saja, lagipula kemungkinan papa untuk bertahan hidup pun sangat kecil. Bukannya kami sekeluarga pesimis, tapi melihat keadaannya sekarang seperti ini ya mau gimana lagi selain berdoa ke Allah. Aku bercerita kepada Revan dan Imam, ku ceritakan keadaan papaku sekarang. Revan terus menerus mengirimkan pesan untuk menanyakan keadaan papaku.

Esoknya keadaan papa masih sama seperti kemarin, aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah karena entah kenapa firasatku buruk mengenai papa, jujur saja saat itu aku sudah berpikiran bahwa papa akan meninggalkanku hari ini, maka dari itu aku tidak sekolah karena takut nanti menjadi ribet abang harus menjemputku. Aku sudah memasrahkan semuanya kepada Allah, aku berdo’a apabila papa diberikan kesempatan untuk hidup kembali maka tolong segera sadarkanlah, tapi jika waktu papa sudah cukup sampai disini lebih baik dari sekarang saja, karena melihat keadaan papa seperti ini membuatku semakin sedih. Aku tidak tega, papa seperti kesakitan sekali. Setelah melaksanakan shalat maghrib aku kembali ke ruangan UGD, dari malam kemarin teman-teman papa datang menjenguk mereka semua mengaji untuk mendoakan papa. Bahkan temannya yang dari Bandung pun datang kesini, keluarga papa pun sudah datang dari pagi tadi. Setelah semua berkumpul keadaan papa semakin menurun, detak jantungnya pun sudah menurun drastis, mamah berbisik kepadaku untuk segera mengucapkan kalimat tahlil dan syahadat di telingan papa. Saat itu aku benar-benar sedih sekali karena harus kehilangan papa, aku mendekati dan mengucapkan kalimat tahlil juga syahadat di telinga papa, lalu setelah itu papa benar-benar pergi meninggalkan kita semua. Hatiku hancur, tubuhku rasanya lemah sekali, aku ditarik abang lalu dipeluknya tubuhku, mataku panas sekali aku menangis di pelukan abang. Sakit rasanya aku kehilangan sosok papa, tidak ada lagi tempatku untuk bercerita mengenai permasalahan agama. Dia adalah panutanku, aku selalu belajar kesabaran darinya, aku selalu belajar dari papa bahwa tidak semua apa yang kita rasakan harus kita tunjukan kepada orang lain. Biarkan kita yang merasakan, lagipula mereka tidak akan merasakan apa yang kita rasakan. Selama hidupnya papa tidak pernah mengeluh apalagi ketika papa sakit dia tidak pernah sekalipun mengeluh kesakitan, walaupun aku tahu itu sakit sekali. Aku benar-benar kehilangan pahlawanku, cinta pertamaku, papa aku sangat mencintaimu.

Papa segera dibawa pulang ke rumah, setelah sampai disana sudah terdapat banyak sekali orang. Tangisanku kembali terisak, aku terbawa suasana oleh orang-orang yang ada di rumahku mereka semua menangis. Terakhir kali aku melihat wajahnya ketika dia sedang dimandikan, karena setelah itu aku tidak melihat lagi, tubuhku sudah lemah energiku juga sudah terkuras, aku ingin sekali melupakan hari ini, berharap esok tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, sayangnya kenyataan tetaplah kenyataan, takdir akan selalu berjalan apapun keadaannya. Malam itu aku menutupkan mata dan tidak ingat kejadian hari ini, aku tertidur lelap.

Keesokan harinya papaku dibawa ke mesjid untuk di shalatkan, betapa banyaknya jamaah yang mengikuti shalat tersebut, mungkin kurang lebih sekitar 300 orang. Betapa bahagianya menjadi papa banyak sekali yang ikut menshalati dan mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Mereka mendoakan papa aku ikut senang sekali, papa semoga papa diterima iman islamnya oleh Allah SWT, semoga penuh oleh rahmat Allah SWT.

Siangnya teman-temanku datang untuk melayat ke rumahku, mereka heran mengapa aku tidak menangis seperti tidak terjadi apapun. Ya begitulah aku tidak ingin menunjukan rasa sedihku kepada oranglain, biar aku dan Allah saja yang tahu. Senang sekali rasanya teman-teman juga kakak kelas datang untuk melayat, aku sedikit terhibur oleh mereka, apalagi oleh kaka kelas dari eskul ku mereka membuatku sejenak melupakan kesedihan ini, terimakasih kalian yang saat itu sudah datang aku bahagia sekali.

Irsyad dia sama sekali tidak mengirim pesan kepadaku, sebegitu lupanya dia hingga mengucapkan belasungkawa pun tidak, sebenarnya dia sudah mengucapkan turut berduka cita di grup kelas 10 yang dulu. Namun, entah kenapa saat itu aku berharap dia mengucapkan langsung kepadaku atau mungkin datang ke rumahku, haha jangankan untuk datang melayat mengucapkan belasungkawa secara langsung saja pun tidak kan. Ah sudahlah Aysya mengapa harus terus-terusan memikirkan dia yang sama sekali tidak pernah peduli kepadamu, hanya akan membuang-buang waktu saja. Berbeda dengan Revan dan Imam dia langsung mengucapkan belasungkawa kepadaku bahkan mereka datang untuk melayat ke rumahku.


Setelah sekian lama inilah akhir dari cerita intuisi abu, terimakasih yg sudah membaca. Aku harap kalian mengambil pesan dari cerita ini.

Intuisi AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang