"Hinata..."
Suara Kageyama—yang tak seperti biasa—berbisik lembut ditelinganya. Dekapan lengan kekar milik sang partner itu begitu erat namun juga hangat, membuat Hinata tak ingin melepaskan diri meski hatinya yang berdebar tak karuan menyuruh dia berlari. Hinata kehilangan kendali akan tubuh—yang biasanya—memiliki reflek luar biasa itu.
"...Aku mencintaimu."
Kageyama mendekatkan wajahnya. Tatapannya mengunci mata senja Hinata hingga dia tak mampu berpaling. Menutup jarak, pelan, sedikit demi sedikit.
Hinata ingin mendorongnya, ingin melepaskan diri, namun tubuh itu tak mau menuruti kemauan tuannya. Tubuh itu masih terdiam dalam pelukan erat setter berambut hitam itu. Hinata berharap bisa mengeluarkan suaranya meski hanya sekedar kata 'tidak' yang terucap.
Jarak diantara wajah—bibir—mereka semakin terhapus. Hinata harus menghentikannya. Harus.
Kageyama.. jangan...
Penolakan itu hanya menggema dikepalanya, dan mulut itu masihlah terkunci dalam diam. Wajah sang partner semakin mendekat, dan detik itu juga Hinata tau kalau bibir mereka akan bersentuhan.
Dan—suara dering yang memekakkan telinga itu terdengar.
"HOGYAAAA!!"
Hinata sontak berteriak. Bukan karena terkejut oleh suara itu tapi karena sesuatu yang cukup berat baru saja menghantam wajahnya dengan keras.
Hinata menjulurkan tangannya dan meraba benda keras dan dingin yang mendarat diwajahnya—menyingkirkan benda itu—lalu bangun dengan ringisan kesakitan."Ungh.. Kau menyelamatkanku.. weker-san.."
Katanya setelah dia menekan tombol yang membuat jam weker itu terdiam. Dia menutup matanya, kedua tangan menekan dadanya yang seolah akan meledak karena debaran jantung yang terus menggebu. Nafasnya terengah dan wajah putih itu kini merona merah. Penyebabnya sudah tak perlu ditanyakan—mimpi itulah penyebabnya.
"Nii-chan.. Cepat bangun, nanti kesiangan loh!"
Suara adik semata wayangnya, Natsu, terdengar dari balik pintu. Tidak keras, namun tidak juga pelan. Volume yang pas di pagi hari saat orang-orang masih berada dialam mimpi, suara yang hanya akan teredam oleh dinding rumah dan tak akan mengganggu tetangga.
"Y-ya.. Aku sudah bangun kok."
Jawab Hinata gugup.
Debarannya masih belum mereda, namun Hinata memaksa kakinya turun dari ranjang dan melesat kekamar mandi—berharap bisa menenggelamkan kegelisahannya dalam air hangat yang menyegarkan.
Kemarin dia telah melarikan diri dan bahkan mengatakan hal kejam pada Kageyama, teman serta partner pentingnya dalam bermain voli. Ditambah dia juga membolos latihan, meski itu baru pertama kali, tapi melewatkan latihan disaat seperti sekarang—saat mereka baru saja mulai bangkit dari kekalahan—adalah sebuah kesalahan besar karena setiap detik yang terlewat dari sedikitnya waktu latihan itu akan membuatnya tertinggal, dari Kageyama dan juga dari anggota lain.
Hinata menutup mata rapat-rapat, mengambil udara dengan berat, menenggelamkan seluruh tubuh hingga kepalanya kedalam bak yang terisi penuh air hangat.
Pertama, dia tak boleh merikan diri lagi. Dia harus mengahadapi Kageyama, sebagai teman setim, sebagai partner, sebagai pelayan, dan−sebagai orang yang disukai Kageyama. Meski Hinata masih ragu dengan rasa suka itu, dia harus mempersiapkan diri, memikirkan masalah ini sebaik mungkin−dengan kapasitas daya pikir dan kepekaannya yang sangat kritis−sehingga kejadian seperti kemarin tak akan terulang lagi.
Hinata membuka matanya, membiarkan gelombang air menyapu lembut iris mata jingga itu.
"Apa aku juga merasakan hal yang sama dengan Kageyama? Apa aku juga menyukainya−dalam artian romantis?"
Romantis. Kata itu muncul dikepalanya diiringi kebersamaannya dengan Kageyama bagai pemutaran sebuah film pendek. Satu persatu, sekilas, namun setiap pergantiannya membekas. Adegan pertama−pertandingannya dengan Kageyama saat SMP−membuat Hinata tersenyum getir. Adegan kedua−pertemuannya dengan Kageyama saat pertama kali memasuki klub voli Karasuno−rasa rindunya mulai membuncah. Perjuangan kerasnya berlatih receive supaya Kageyama mau memberi umpan padanya, pertandingan tiga lawan tiga supaya di izinkan bergabung dengan klub, menemukan quick attack, pertandingan latihan, pertandingan melawan tim Asahi-san, pertandingan di interhigh−dari penyisihan hingga kekalahan mereka−disetiap saat itu Kageyama selalu ada bersamanya.
Momen yang dilaluinya bersama Kageyama−sebagai teman setim dan partner−sangat berharga. Sangat menyenangkan.
Lalu bagaimana dengan sekarang? Bagaimana perasaannya setelah semua momen tuan dan pelayan yang dialaminya? Apakah itu juga bagian kenangann yang berharga dan menyenangkan? Apakah semuanya akan menyenangkan kalau Kageyama menyukainya?
Hinata menutup matanya erat-erat. Rasa sesak yang aneh kembali meluap didada hingga seolah akan meledak.Sungguh menyakitkan. Tidak−rasa sesak itu bukan karena pemikirannya. Hinata mengeluarkan kepalanya dari air dengan cepat. Dengan nafas memburu dan sedikit terbatuk Hinata menekan dadanya.
"Bagaimana bisa aku sampai lupa mengambil nafas..Ugh.. mungkin aku baru saja memecahkan rekorku sendiri.." Katanya getir. Dengan lemas ditaruhnya kepala orange itu dpinggiran bak mandi. "Kupikir aku hampir menemukan jawabannya."
Dada kembali ditekan. Terasa sesak, tak menyakitkan, namun membuatnya ingin menangis.
"Kenapa aku harus merasa seperti ini gara-gara kamu, Bakageyama..?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Chibi Servant and Cruel Master [KageHina]
FanfictionHinata yang kalah saat bertanding melawan partnernya, Kageyama, terpaksa harus menerima kekalahannya dan sesuai kesepakatan mereka sebelum bertanding "yang kalah harus menuruti apapun perintah yang menang." Saat Hinata tengah memikirkan perintah mac...