Sepertinya aku benar-benar sakit. Kepalaku terasa sangat nyeri untuk setiap kali aku bergerak. Sial. Papa juga sedang tidak ada di rumah. Kenapa sial sekali aku?
“Nanny. Can you hear me? Nanny??”
Aku berusaha keras untuk memanggil pengasuhku itu. Apakah dia akan mendengarnya? Kuharap iya, karena dia satu-satunya orang yang akan menolongku.
“Nanny, help me.”
Kenapa lama sekali dia? Aku tidak akan bisa bangun sendiri. Apalagi kalau Michael tahu aku sakit. Dia benar-benar akan mengurungku di kamar tidurnya.
“Ada apa, Athalie?”
Aku melirik pintu kamar tidurku yang masih tertutup. Sial, aku menguncinya tadi malam. “Nanny, gunakanlah kunci cadangannya. Aku tidak bisa membukanya.”
Kudengar langkah kakinya menjauh dari kamarku sebelum terdengar lagi dan pintu kamarku berhasil di buka. Nanny menatapku bingung sebentar sebelum menjadi cemas.
“Apa kau sakit, Atha?”
Aku menatap Nannyku dengan wajah memelas. Dia sudah seperti ibu untukku karena dia memang sudah merawatku sejak umurku lima tahun. Dia tidak punya anak sebelum kemudian suaminya meninggal. Makanya dia bisa ikut bersamaku ke Indonesia.
“Sepertinya aku memang demam.”
Nanny berjalan ke arahku dengan cemas dan duduk di ranjangku. Tangannya terulur ke dahiku dan mengernyit. “Kurasa kita perlu ke rumah sakit, Atha. Tubuhmu sangat panas.”
Aku mengernyit tidak suka. “Nanny tahu aku tidak bisa pergi ke sana. Jangan pernah berniat melakukannya. Aku tidak suka.”
“Baiklah. Ayo Nanny bantu ke kamar mandi.”
Aku mengerang saat mencoba duduk. Nanny membantuku membuka selimutku dan memapahku ke kamar mandi. Aku duduk di atas kloset dengan usaha keras.
“Kalau sudah panggil aku.”
Nanny keluar dan menutup pintu kamar mandi. Aku menyelesaikan urusanku sebelum rasa mual itu datang. Kukeluarkan semua yang ada di perutku sampai kepalaku kembali berkedut-kedut.
“Atha, kau baik-baik saja?”
Aku berkumur dan menyeka mulutku dengan handuk. Aku tidak sanggup lagi untuk berdiri. Semuanya terasa berputar.
“Nanny, tolong aku sekarang. Sepertinya aku akan jatuh.”
Pintu kamar mandi terbuka dengan cepat sebelum Nanny memapahku kembali ke kamar. Dia membantuku memperbaiki posisi bantal dan selimutku.
“Better?”
“Ya.”
“Nanny ambilkan obat demam dulu di dapur. Tunggu sebentar.”
Aku hanya bisa mengangguk kecil dan menunggu Nanny kembali. Dia kembali dengan nampan berisi air di tangannya.
“Lebih baik minum obatmu dulu sebelum Nanny buatkan bubur.”
Aku hanya menurut saat Nanny menyuapiku obat dan air. Aku tidak akan bisa mendebatnya sekarang, karena kepalaku terasa berkedut saat aku mencoba bicara.
“Jangan beritahu Michael aku sakit, ya?”
“Akan kuusahakan.”
Aku kembali menutup mataku dan mencoba untuk tidur. Saat demam seperti ini, yang perlu kulakukan hanya tidur sampai demam itu hilang. Tidak ada yang lain.
“Nanny ke dapur dulu, Atha. Bunyikan loncengnya kalau kau butuh sesuatu.”
Aku memilih tidak menjawabnya dan melanjutkan tidurku. Semoga saat aku bangun nanti demam ini sudah turun.
.
.
.
“Bagaimana kau akan sembuh kalau kau sama sekali tidak mau makan? Energimu tidak akan kembali hanya dengan tidur, Athalie.”
Aku masih saja menggeleng saat Nanny mengulurkan sesendok bubur di depan mulutku. Bagaimana aku bisa makan kalau nafsu makanku bahkan tidak ada? Lidahku terasa sangat pahit.
“Aku tidak mau, Nanny. Mencium baunya saja aku sudah ingin muntah. Jangan memaksaku untuk memakannya. Percuma saja karena aku akan mengeluarkannya lagi.”
“Berhentilah keras kepala, Athalie. Apa perlu aku telpon papamu agar dia pulang dan memarahimu?”
“Papa tidak akan pulang walau aku sakit seperti ini sekalipun. Percuma saja, Nanny.”
Nanny meletakkan mangkok bubur kembali ke nakas dan memperbaiki selimutku. “Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Aku tidak bisa mengekangmu terus-terusan. Istirahat lagi, okay?
Aku tersenyum penuh terima kasih. Hanya Nanny yang paling mengerti diriku. Dia tidak akan mengajakku berdebat karena aku memang tidak suka dikekang. Dia meninggalkanku sendiri tanpa aku harus memintanya.
Walaupun papa tidak selalu bisa berada di sampingku, setidaknya masih ada Nanny yang selalu menemaniku. Dan aku tidak akan merasa kesepian tanpa kehadiran papa.
“Sakit benar-benar menyebalkan.”
Aku tidak bisa melakukan apapun selain mengutak-atik ponselku dengan malas. Lagipula kalau mataku terlalu lama menatap layar ponsel, kepalaku semakin nyeri.
“Athalie?? Kau di rumah??”
Aku tersentak saat mendengar suara Michael. Kenapa dia ada di rumahku? Bukankah aku menyuruh Nanny tidak membiarkan dia masuk? Apa Nanny sedang pergi ke luar? Kenapa dia tidak mengunci pintunya?
“Bagaimana ini?”
Kuletakkan ponsel ke nakas dengan asal dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Apa aku harus berpura-pura tertidur? Atau aku harus bersembunyi di lemari? Kamar mandi? What should I do?
“Bagaimana bisa kau masih tidur, Lie? Ini sudah siang. Cepat buka selimutmu!”
Tuhan, tolong aku! Michael akan membunuhku.
“Athalie?”
“Aku masih mengantuk, Mike. Pergilah, jangan ganggu aku.”
Oh sial. Suaraku mungkin terlalu lemah. Dia tidak akan menyadarinya, kan? Atau dia sudah pergi? Kenapa ranjangku terasa bergerak? Apa dia tidak mau pergi?
“Berhentilah membohongiku. Buka selimutnya sekarang. Atau…”
Dengan perlahan aku membuka selimut tapi hanya sebatas mataku. Aku tidak ingin dia melihat wajah pucatku ini. Dia benar-benar akan marah padaku dan melakukan ancamannya.
“Apa?”
“Buka selimutnya.”
Aku menggeleng pelan. Dia terlihat semakin gemas padaku. Oh Tuhan, kumohon siapapun tolong aku dari singa liar ini.
“Tidak mau. Kau pergilah.”
Dia akhirnya membuka selimutku dengan kasar. Wajahnya mengeras. “Kenapa kau masih saja keras kepala, hah? Lihat akibatnya. Kau sakit sekarang. Stop being stubborn.”
Aku memalingkan wajahku darinya. Kenapa mommy memperbolehkannya pergi di hari libur seperti ini? Biasanya mereka pergi berlibur. Lebih baik mommy mengurung Michael di rumah.
“Jangan mencoba mengabaikanku sekarang. Look at me.”
Aku menolehkan kepalaku dengan malas dan menatapnya datar. Tangannya terulur ke dahiku dan terdiam di sana. Kutatap wajahnya yang datar kemudian marah dan berakhir cemas.
“Kita ke rumahku saja, ya? Biar mommy bisa mengurusmu. Lie?”
Aku tidak suka sakit karena ini. Banyak orang yang akan mencemaskanku. Dan itu sangat membuatku bersedih. Karena memang bisa dilihat. Papa bahkan tidak pernah peduli kalau aku sakit, apalagi wanita yang pernah kupanggil mama itu, dia tidak pernah sekalipun mempedulikanku. Hanya Nanny, Michael dan keluarganya. Aku benar-benar tidak ingin membuat mereka cemas. Aku bahkan bukan keluarga mereka sama sekali.
“Athalie?”
Aku mengerjap dan merasakan air mata mengalir di sudut mataku. Dengan cepat kuhapus air mata itu sebelum Mike menyadarinya. Tapi sepertinya dia sudah menyadarinya karena tangannya bergerak memegang tanganku.
“Apakah kau merasa sangat pusing? Kenapa menangis, hmm?”
Aku menggeleng saat dia mendekat padaku. Tangannya mengusap pipiku yang basah. Aku sudah tidak tahan lagi. Kuangkat kepalaku dengan susah payah dan bersandar di pahanya. Tanganku melingkar di pinggangnya.
“Athalie?”
Kutenggelamkan wajahku pada perutnya dan menangis pelan. Dia mengusap kepalaku perlahan. Biarkanlah seperti ini dulu. Aku butuh seseorang sekarang.
“Berhentilah menangis, kau selalu bisa cerita padaku, Lie.”
“Aku tidak suka sakit.”
“Itulah kenapa kau harusnya mendengarkan ucapanku. Kau selalu keras kepala. Itulah kenapa kau sakit sekarang.”
Aku menangis semakin keras. Biarlah Michael kelabakan sendiri. Siapa suruh menceramahiku di saat aku sakit seperti ini. Aku butuh perhatian, bukan ceramah.
“Hei, hei… Kau membuatku seperti orang jahat. Berhenti menangis.”
Aku mengusapkan wajahku ke pakaiannya. Tidak peduli kalau bajunya itu akan kotor.
“Berhenti mengusapkan wajahmu ke perutku, kau ingin membunuhku?”
Kulepas pelukanku dan kembali bersandar di atas bantal. Tanganku bergerak mengambil helaian tissue di nakas dan mengusap wajahku.
“Kau tidak akan mati hanya dengan usapan di perutmu, bodoh. Teori dari mana itu? Aku baru saja dengar hal sekonyol itu.”
Dia melotot padaku tapi tidak mengatakan apapun. Aku berbaring miring membelakanginya dan merapatkan selimut hitamku. Aku mulai mengantuk karena terlalu banyak menangis. Biarlah Michael melakukan apa yang dia mau, aku ingin tidur dan mendapatkan kembali energiku.
“Kau belum makan apapun, kan? Jangan tidur dulu.”
Blablabla. Dia sangat cerewet, bahkan melebihi mommynya. Sebenarnya dari mana sifat cerewetnya itu? Apa mungkin daddynya pernah secerewet ini didepanku? Sepertinya tidak pernah sekalipun.
“Aku tidak mau makan, Mikey. Pulanglah.”
“Makanlah, kusuapi ya?”
Tidak akan mempan walau kau ingin menyuapiku, Michael. Rayuanmu sudah tidak akan lagi mempan padaku. Percuma saja.
“Tidak mau.”
“Cepat makan atau kubawa ke mommy??!”
Ancamlah sesukamu, aku sudah kebal dengan semua ancamanmu itu. Semua orang hanya bisa mengancamku, mereka tidak memikirkan perasaanku yang tertekan ini.
“Pulanglah, Mike.”
“Tidak akan sampai aku melihatmu makan. Kasihan Nanny yang sudah memasakkanmu bubur kalau tidak kau makan sama sekali.”
“Nanny saja tidak masalah.”
“Athalie.”
Sial. Perutku kembali mual.
Aku membuka selimut dengan cepat dan turun dari ranjang. Melangkah secepat mungkin ke kamar mandi. Aku mengeluarkan cairan dari mulutku. Oh Tuhan, rasanya benar-benar mengerikan. Kepalaku serasa ingin pecah dan tubuhku bergetar. Kutekan flush dan bangkit berdiri. Tapi setelah kakiku menginjak lantai kamar, semuanya menjadi gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi tubuhku seperti melayang.
“Athalie! Shit.”
.
.
.
“Athalie?”
Kenapa semua terasa melayang? Apa mungkin aku sudah mati? Tapi tidak mungkin. Aku hanya demam, mana mungkin aku akan mati karena itu. Lagipula tadi sepertinya aku hanya pingsan.
“Athalie? Bangunlah.”
Apa itu Michael? Kenapa dia masih di sini? Bukankah aku sudah menyuruhnya pulang? Atau aku hanya berhalusinasi saja?
“Sepertinya Athalie terlalu lelah, Mikey. Biarkan dia istirahat dulu. Panggil mommy kalau ada sesuatu, ya?”
Kenapa ada suara mommy di sini? Dan tunggu, kenapa tanganku seperti ditusuk-tusuk? Apa Michael melakukan sesuatu pada tanganku saat aku pingsan?
“Kau benar-benar membuatku cemas, Lie. Cepatlah bangun.”
Dengan perlahan, aku mencoba membuka mataku. Sial, kenapa pusing sekali? Padahal biasanya aku hanya butuh sehari tidur dan demamku akan hilang. Kenapa sekarang justru semakin parah?
“Lie?”
Tunggu. Apa aku tidak berada di kamarku? Bukankah ini kamar Michael? Kenapa dia membawaku ke rumahnya?
“Lie? Can you hear me? Lie?”
“Silent, Mike. Kau membuatku pusing.”
Kenapa suaraku jadi sepelan itu? Ini tidak seperti biasanya. Aku hanya demam, bukan? Seharusnya tidak seperti ini.
“Maaf aku membawamu ke rumahku. Aku panik saat kau pingsan di depanku. Kau tidak bisa kubawa ke rumah sakit, papamu juga tidak ada di rumah. Akhirnya aku membawamu ke rumahku karena ada mommy yang bisa membantuku. Mommy menelpon Dr.Smith untuk memeriksamu. Ternyata kau tidak hanya demam, tapi juga dehidrasi. Dr.Smith memberimu infus karena kau tidak mau makan sama sekali. Berhentilah bertindak bodoh, Athalie.”
Aku memijat pelipisku dengan tangan kananku, aku butuh penghilang sakit. Tidak akan ada yang bisa kulakukan kalau seperti ini. Kepalaku terus-terusan berdenyut.
“Kau baik-baik saja? Biar aku yang pijat.”
Aku membiarkan Michael memijat kepalaku. Aku sangat jarang sakit, jadi hanya beberapa waktu saja Michael bisa bersikap semanis ini. Beruntungnya aku bisa mendapatkan sahabat sebaik dirinya.
“Better?”
“Hmm, a bit.”
“Makanlah sesuatu, ya? Please.”
“Tidak mau, Mike. Setelah aku sembuh, aku akan makan. I promise.”
Dia melotot padaku tanpa menghentikan pijatannya dikepalaku. Memang benar kalau aku tidak makan, aku tidak mungkin sembuh secepat itu. Tapi aku benar-benar tidak bisa makan kalau sakit seperti ini.
“Tidak ada teori kau sembuh tanpa makan apapun, shorty.”
Terserah kau ingin bicara apa, Mike. Aku lelah mendengar ceramahanmu. “Dimana ponselku? Aku ingin menelpon papa.”
Michael menghembuskan napasnya lelah dan mengambil ponselku dari nakasnya. Aku menerimanya dan segera menelpon papa. Beberapa kali kutelpon tapi sibuk, sebelum panggilanku yang kesekian akhirnya tersambung.
“Papa?”
-Hei, sweetheart. Ada apa?-
“Papa sedang sibuk?”
-Seperti itulah. Kau tahu sendiri, sweetheart.-
“Ya sudah, kembalilah bekerja. See you later.”
-I’ll call you later, okay?-
“Hmm, bye, Pa.”
Aku melempar ponselku ke ranjang dengan asal dan memejamkan mataku. Papa memang tidak pernah punya waktu untukku. Dia selalu menolak permintaanku, melarangku melakukan ini dan itu. Tapi dia bahkan tidak pernah punya waktu untukku. Dia pikir aku cukup dengan semua uangnya itu? Aku bahkan bisa menghasilkan uang sendiri tanpa perlu uang dari papa.
“Lie? You okay?”
Aku menggeleng. Tentu saja aku tidak sedang baik-baik saja. Aku butuh perhatian papa. Aku tidak ingin papa sibuk dengan pekerjaannya dan tidak pernah ada waktu untukku. Aku ingin papa ada di sampingku saat ini. Merawatku yang sedang sakit ini. Tapi aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk memberitahunya kalau aku sakit.
Kepalaku terasa diangkat dan berbaring di atas sesuatu yang keras tapi nyaman. Kubuka mataku dan melihat Michael. Aku berbaring di atas pahanya. Tangannya bergerak mengusap kepalaku.
“Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih baik. Ada aku di sini, Lie. Jangan lupakan itu.”
“Maaf kalau aku jadi sensitif, ya? Aku benar-benar benci sakit.”
“Aku sudah terbiasa, Lie. Kau memang seperti ini dari dulu.”
Dengan usaha keras aku berhasil mencubit perutnya. Dia meringis dan mengusap-usap perutnya itu. “Kenapa kau menyebalkan sekali, hah? Bukannya menghibur, justru mengejekku. Sialan.”
“Aku kan membicarakan fakta. Kau memang seperti itu.”
“Diamlah.”
Setidaknya Michael berhasil membuatku merasa lebih baik dan teralihkan dari papa. Aku tidak perlu bersedih lagi karena masih ada Michael di sisiku. Tapi bagaimana jika Michael akan menghilang dari hidupku setelah dia menemukan wanita yang dicintainya? Apa aku masih akan memiliki seseorang yang bisa menghiburku seperti ini?
Kenapa aku jadi memikirkan semua hal seperti ini? Lebih baik aku menghilangkan semua pikiran buruk itu kalau ingin segera sembuh.
“Wah, anak mommy yang ini sudah bangun ternyata.”
Aku mengalihkan pandanganku pada mommy yang masuk ke kamar dengan membawa nampan yang aku tidak tahu apa isinya. Kami memang terbiasa memanggil orangtua yang lain dengan panggilan itu. Aku memanggil Aunty dengan mommy, Uncle dengan daddy. Michael juga memanggil papaku dengan sebutan papa. Mungkin karena kami sudah sangat dekat dari kecil.
“Hai, mom.”
“Minum ini dulu, sayang. Kau akan merasa lebih baik.”
Michael membantuku setengah berbaring dengan tumpukan bantal di punggungku. Aku tersenyum berterima kasih padanya. Mommy bergantian duduk di sebelahku, mengusir Michael sampai ke sofa.
“Mandilah dulu, Mikey. Ini sudah sore, sayang.”
“Mommy, aku sudah bilang berhenti memanggilku Mikey. Aku bukan anak kecil lagi.”
Aku terkekeh pelan melihat Michael yang terlihat kesal dengan panggilan mommy. Padahal dia tidak marah saat aku memanggilnya Mikey, kenapa dia kesal dengan mommy?
“Kau tidak lihat tingkahmu itu masih seperti anak kecil? Athalie saja sampai terkagum-kagum.”
Michael memandangku tidak suka dan melangkah ke kamar mandi. Dia menutup pintunya dengan keras. Dia benar-benar masih kekanakan tapi tidak ingin dipanggil Mikey. Yang benar saja.
“Mommy bantu minum, ya.”
Aku mengangguk dan menerima sodoran sedotan di depan mulutku. Aku meminum jus jeruk itu dengan perlahan. Rasa asamnya membuat lidahku terasa lebih baik. Setidaknya rasa pahit itu mulai hilang.
“Lebih baik, bukan?”
“Ya.”
“Kau ini kalau sedang sakit memang sama persis dengan Keenan. Tidak mau makan apapun. Akhirnya bukannya sembuh, justru semakin parah. Apalagi dengan sifat keras kepala kalian itu. Benar-benar membuat semua orang cemas dan kesal.”
Aku tersenyum malu dan menarik selimut ke dadaku. Kenapa di sini dingin sekali? Apakah pendingin ruangannya masih menyala?
“Kau kedinginan, ya? Padahal pendinginnya sudah dimatikan Michael tadi.”
“It’s okay, mom. Selimutnya cukup.”
“Tidak perlu berbohong, Lie. Bilang saja kau masih kedinginan. Kau pikir mommy tidak menyadari tubuhmu yang gemetar itu?”
Aku melirik Michael dengan kesal. Dia ini selalu saja mengacaukan segalanya. Lihat saja kalau aku sudah sembuh nanti, akan kuhajar habis-habisan dia.
“Kalian ini suka sekali bertengkar. Athalie sedang sakit, Mikey. Biarkan dia istirahat. Jangan mengomelinya terus.”
Mommy memang yang paling mengerti diriku. Aku menyayangimu, mom.
“Mommy keluar dulu, ya. Daddymu pasti sudah pulang.”
Michael membuka lemarinya dan mengeluarkan selimut tebal lain. Dia berjalan ke arahku dan merapatkan selimutnya padaku. Astaga, hangatnya.
“Hangat, kan? Kenapa tidak bilang dari tadi kalau dingin, hah? Kau mengenalku bukan hanya satu dua tahun. Kita ini sudah 13 tahun bersama. Tidak perlu sungkan.”
“Thanks, Mikey.”
“Hmm.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Hug Me, please! ✔
ЧиклитProlog Kami adalah sahabat. Aku mengenal keluarganya. Dan dia mengenal keluargaku. Kami sudah saling mengenal satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Pertemuan pertama kami adalah saat keluargaku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dan rumah...