Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, semua orang tahu itu. Apalagi kalau membina rumah tangga. Bahkan untukku dan Michael yang sudah hampir mengenal seumur hidup, tetap tidak bisa menghindari perbedaan pendapat dan salah paham. Karena bagaimanapun, kami tetaplah manusia yang masih memiliki rasa egois.
Tapi semua masalah yang ada, semua kesalahpahaman yang ada, membuat hubungan kami semakin kuat setiap waktunya. Membuat kami belajar bahwa ego dan harga diri tidak akan membuat masalah terselesaikan. Karena kunci semua masalah adalah menurunkan ego dan membuang jauh harga diri kita.
Apalagi kalau sudah berumah tangga dan memiliki anak-anak. Tidak ada namanya marah berkepanjangan ataupun saling berteriak karena marah. Itu semua tidak baik untuk kesehatan mental anak-anak mereka.
“Honey. Apa yang kau lamunkan?”
Aku menoleh dan mendapati Michael menatapku penasaran. Saat ini kami sedang menghabiskan waktu liburan kami di Jerman, di rumah papa dan mama. Sudah lama sejak terakhir kali aku datang ke sini. Mungkin saat aku kabur dari Michael waktu itu, karena sepertinya memang aku tidak pernah ke luar negeri lagi setelah menikah. Dan berhubung sekarang anak-anak sudah mulai besar, aku meminta Michael dan papa untuk berlibur di Jerman, yang mana disambut dengan antusias oleh mereka.
“Tidak ada.”
“Kau masih sering menutupi apa yang kau pikirkan dariku.”
“Aku tidak sedang memikirkan apapun, Mike. Melamun tidak selalu sedang terpaku pada sesuatu, kan?”
Michael menghembuskan napasnya mengalah dan mengalihkan pandangannya pada halaman belakang dimana anak-anak sedang bermain salju. Aku tersenyum kecil dan merangkul lengannya dengan manja.
“Aku sungguh tidak sedang memikirkan apapun, honey. Seperti itu saja marah?”
Michael meluruskan kakinya di tangga dan mencium pelipisku lembut. “Terkadang, aku sama sekali tidak tahu dengan apa yang sedang kau pikirkan.”
“Aku tidak pernah menutupi apapun darimu.”
“Aku tahu, hon. Hanya saja, aku sering merasa kau memendam sesuatu. Dan tidak ingin memberitahu siapapun.”
Setelah memperhatikan wajahnya dari samping untuk beberapa lama, aku mengalihkan pandanganku pada anak-anak. Mereka saling melempar bola salju yang mereka buat sendiri. Well, kurasa aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu dulu.
“Baiklah, aku mengaku kalah.”
“Apanya?”
Kusandarkan kepalaku ke bahunya dan bergerak mencari kehangatan dari tubuhnya. “Aku hanya mengingat kenangan kita selama sepuluh tahun ini.”
“Kenapa? Apa ada hal yang tidak membuatmu bahagia?”
“Tidak mungkin. Aku sangat beruntung karena mempunyai suami sepertimu.”
Aku tahu kalau Michael sedang tersenyum lebar saat ini, tapi aku memilih tetap memperhatikan anak-anak daripada mencoba memandang wajah Michael yang kuyakini masih akan tetap sama saja.
“I am the luckiest man, honey. Because you chose me.”
“Hmm.”
Saat ekor mataku menangkap Matthew yang mulai bersin, Michael melepas rangkulan tanganku dan berlari ke arah Matt. Dia meraih tubuh kecil itu dan membawanya ke arahku. “Alerginya sudah kambuh. Lebih baik kita masuk saja. Sebelum alergimu juga kambuh.”
Aku mengangguk dan bangkit berdiri. Michael meninggalkanku dan masuk ke dalam dengan Matthew yang masih berada dalam gendongannya. “Let’s get in, babies. It’s getting colder.”
“Okay, Ma.”
Setelah mereka masuk ke dalam, aku menyusulnya dan menutup pintu depan dibelakangku. Sebenarnya hari ini adalah hari terakhir kami liburan di sini, tapi karena cuaca yang semakin dingin, sepertinya kami terpaksa menghabiskan waktu di dalam rumah yang hangat.
“Where’s grandpa, Ma? Apa dia tidak ikut kita pulang nanti?”
Aku menyusup ke sofa dan meraih Mikael sehingga berada dalam pelukanku. “He’s here in a minute.”
Papa. Aku tahu dan sadar betul kalau dia masih sangat mencintai mendiang mama. Bahkan hampir setiap bulan papa pulang ke Jerman untuk berkunjung ke makam mama. Walau beberapa kali aku mencoba untuk memberinya teman untuk berkencan, papa terus saja menghindarinya. Dan seberapa keras aku mencoba membujuknya, akan semakin keras kepala papa, just like me.
Aku merasa bahagia karena mengetahui kalau papa begitu mencintai mama sampai tidak bisa menempatkan siapapun sebagai pengganti atau sekedar seseorang untuk bersandar. Tapi melihat papa sedih setiap kembali dari Jerman membuat hatiku teriris. Walau aku tahu kalau bukan aku penyebab kematian mama, tapi rasa bersalah itu tidak bisa kusangkal.
“Mama!”
Aku mengerjap kecil dan tersenyum saat melihat raut kesal yang diberikan Anatta padaku. Tanpa ditanyapun aku tahu kalau dia berusaha memanggilku sejak tadi tapi aku tidak meresponnya.
“What is it, baby?”
“Mama menyebalkan. Aku tadi bercerita bagaimana kelakuan Matthew pada beberapa gadis didekat sini.”
Aku tersenyum bersalah dan memberikan perhatianku sepenuhnya pada Anatta. “Maaf, baby. Jadi apa yang Matthew lakukan?”
Raut wajah Anatta kembali antusias dengan cepat dan menceritakan pengalaman berlibur mereka di sini. Aku memang mengajarkan anak-anak bahasa Jerman sejak kecil, walau aku juga masih pemula, tapi aku semakin lancar karena mengajarkannya pada mereka. Entah kenapa sejak tahu kalau mama adalah orang Jerman, aku tertarik untuk mempelajarinya.
“Kalian membuat papa iri. Bahasa Jerman papa tidak berkembang sama sekali.”
Ucapan tiba-tiba Michael membuat kami tergelak dalam tawa. Dia memang gencar mempelajarinya saat tahu aku ingin bisa berbahasa Jerman. Tapi sampai sekarang, dia hanya bisa beberapa percakapan dasar dan beberapa ekspresi lainnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya masih terhenti di sana.
“Siapa suruh papa tidak mendengarkan kami setiap kali kami mulai berbicara dalam bahasa Jerman.”
“Karena papa tidak tahu, sayang. Kalau papa paham, pasti akan papa dengarkan.”
“Karena itu biasakan mendengarkan kami.”
Michael terkejut dengan jawaban menggurui yang keluar dari mulut Mikael. Aku terkekeh pelan mendengar kecerdasannya sebelum menyadari tatapan tajam dari Michael padaku. Dia menatapku dengan kesal dan mendengus kecil.
“Baiklah. Papa memang kalah.”
“But we love you, Papa.”
Seruan kami keluar secara bersamaan. Kami sungguh tidak merencanakannya, tapi sepertinya kami sudah saling tahu dengan apa yang ingin kami ucapkan dalam beberapa detik. Dan seruan kami itu membuat Michael terkejut. Dia menatapku dengan tidak percaya sebelum akhirnya tersenyum, sangat lebar sampai aku berpikir bisa saja bibirnya robek.
“Baiklah. Papa juga mencintai kalian.”
Aku tersenyum kecil dan melirik jam di televisi yang masih menyala. Dua jam sebelum jam keberangkatan pesawat.
“Okay, kids. Sekarang waktunya bersiap-siap. Girls, kalian bisa mandi sendiri. Dan boys, you go with papa. Mama akan membereskan pakaian kalian.”
Anatta dan Anetta bergegas naik ke kamar atas, yang selama liburan ini mereka tempati. Aku menatap Michael memberinya kode untuk segera membawa Matt dan Kael mandi.
“Come on, boys.”
Michael membiarkan anak-anak masuk ke kamar tanpa beranjak dari duduknya. Aku mengernyit bingung. Sepertinya sangat jelas kalau aku menyuruhnya untuk memandikan mereka, tapi kenapa dia tidak juga beranjak dari tempatnya?
“Honey, aku menyuruhmu memandikan mereka.”
“Aku tahu.”
“Then, what are you doing here?”
“I’m waiting.”
“For what!”
Dia menyeringai dan menondongkan tubuhnya ke arahku. Kernyitan didahiku semakin dalam melihat tingkah anehnya. Tapi saat bibir lembut Michael menyapu bibirku, aku hanya bisa tersenyum dan membalas ciumannya.
“Manja sekali. Sana mandi.”
Aku mendorong dada Michael dan beranjak ke kamar atas. Suara shower dikamar mandi menandakan Anatta dan Anetta sedang membersihkan mereka. Aku segera menyiapkan pakaian yang akan mereka pakai dan membereskan semua barang yang mereka bawa kemarin. Tidak banyak memang, karena aku hanya menyediakan satu koper besar untuk keperluan mereka, sama seperti untuk Matt dan Kael. Semua itu agar barang yang dibawa tidak terlalu banyak.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku turun ke bawah dan masuk ke dalam kamar para laki-laki. Pakaian mereka berserakan diatas meja dan sofa, persis seperti kebiasaan papa mereka. Aku hanya mendesah kecil dan segera membersihkannya.
Tepat saat suara pintu kamar mandi dibuka, aku berhasil menyelesaikan pekerjaanku. Matt dan Kael keluar hanya dengan celana dalam mereka. Aku meminta mereka naik ke ranjang dan segera memakaikan kaus panjang berwarna biru dan celana kain. Mereka tidak terlalu suka memakai jeans, jadi aku lebih sering membelikan celana berbahan lembut dan beberapa celana training.
“Jangan lupa sweater dan mantelnya. Diluar sangat dingin. Mengerti, Matt?”
“Iya, Ma.”
Mereka memakai kaus kaki mereka sendiri setelah aku selesai dengan rambut mereka. Sepertinya sekarang giliranku untuk bersiap-siap sebelum terlambat.
“Kau mandi denganku, honey.”
Aku terlonjak kecil saat tangan telanjang Michael melingkar dipinggangku. Dia masih bertelanjang dada dengan handuk melingkari pinggangnya. Sepertinya dia juga belum mandi, sama sepertiku. Atau memang dia sengaja hanya memandikan anak-anak, jadi dia bisa menggangguku.
“Mama dan papa mandi dulu. Kalian bisa memakai sepatu sendiri, bukan?”
“Ya, Pa.”
“Good boy.”
Michael menarik lenganku dan masuk ke kamar utama. Dia mendorong tubuhku dengan lembut ke dalam kamar mandi. Tapi aku bahkan belum melepaskan pakaianku saat Michael menyerang bibirku dengan tiba-tiba. Aku melenguh kecil dan berpegang pada lengannya.
“Tidak ada banyak waktu, Mikey. Just make it quick.”
“I know.”
.
.
.
“Grandpa dari mana saja? Kenapa pergi lama sekali?”
Matt meraih tangan papa yang terulur untuk menggandengnya. Kami baru saja sampai di bandara setelah papa akhirnya muncul. Dia hanya mengganti pakaiannya sebelum akhirnya kami memutuskan untuk segera berangkat ke bandara.
Entah ini kebetulan atau bukan, tapi bertepatan dengan kedatangan papa tadi, pilot papa menghubungiku. Dia hanya bilang kalau penerbangan diundur selama 1 jam karena ada badai. Beruntung olahragaku dan Michael tadi tidak membuat kami terlambat.
“Grandpa mengunjungi makam grandma, boy. Ada apa? Kau sudah merindukan grandpa?”
“Kita pergi berlibur, tapi grandpa asyik sendiri. Lain kali ajak kami, grandpa.”
Suara tawa papa membuatku tersenyum, setidaknya papa tidak terlalu murung seperti biasanya. Semoga saja liburan kali ini bisa membuat papa merasa lebih baik dan bisa membuat perasaan serta pikirannya menjadi tenang.
“Baiklah, baiklah. Lain kali grandpa ajak. Puas?”
“So sehr.”
.
.
.
Beberapa jam setelah kepulangan kami ke rumah. Papa memilih beristirahat di kamarnya begitu kami sampai, sepertinya memang itu yang selalu dilakukannya setelah kembali dari Jerman, walau kupikir tadi suasana hatinya sudah lebih baik. Dan aku tidak ingin mengganggu papa dan waktu sendirinya.
Jadi setelah mengantar Natta dan Netta ke kamar mereka untuk tidur siang, aku memilih menemani para pria di halaman belakang. Mereka seperti tidak merasa lelah setelah penerbangan yang lama tadi.
Tadinya aku berpikir untuk ke tempat mom dan dad untuk bermain, tapi mereka ternyata sedang ke Inggris, seperti biasa mengunjungi Kak Marcell dan keluarganya. Terakhir yang kudengar adalah Kak Ilana harus dirawat di rumah sakit karena kesehatannya yang tiba-tiba menurun.
“Hon.”
“Ya?”
“Matt dan Kael ingin berenang. Boleh?”
Belum terlalu sore, jadi kurasa mereka akan baik-baik saja selama tidak terlalu asyik di dalam air. Aku tersenyum kecil dan mengangguk. “Jangan lama-lama.”
“Thank you.”
Michael mencium bibirku cepat sebelum berlari ke arah kolam renang di mana Matt dan Kael sudah menunggu. Aku tertawa kecil dan kembali masuk ke dalam untuk mengambil handuk untuk mereka dan sebotol besar jus jeruk.
“Mama tidak ikut berenang?”
“Tidak, sayang. Mama lelah.”
Michael menghentikan gerakannya dan menatapku penuh selidik. “Kau lelah? Kenapa tidak istirahat saja?”
Memang selama penerbangan dari Jerman ke Indonesia aku tidak tidur sama sekali. Tidak hanya Matt dan Kael yang terus bersandar padaku selama perjalanan, tapi juga karena mataku tidak ingin terpejam sama sekali.
“Aku ingin menemani kalian berenang. Setelah itu aku istirahat.” Michael jelas terlihat tidak suka mendengar jawabanku. Tapi aku belum ingin tidur, hanya tubuhku yang lelah, tapi mataku benar-benar tidak ingin terpejam. Sepertinya insomnia akan menghantuiku lagi. “Honey.”
“Sebentar saja, okay?”
Decakannya menandakan dia terpaksa menyetujui keinginanku ini. Aku berterima kasih padanya dan memasukkan kaki telanjangku ke kolam. Air dinginnya membangunkan setiap pori-pori tubuhku dan membuatku merinding dingin.
Dan setengah jam kemudian, Michael membantu anak-anak keluar dari kolam. Aku dengan sigap menyampirkan handuk ke tubuh Kael, karena Matt sudah berada dalam gendongan Michael lengkap dengan handuk besarnya.
Keinginan untuk menggendong Kael selalu muncul, tapi mengingat peringatan Michael yang selalu terngiang membuatku urung untuk mengikuti keinginanku. Dia selalu memperingatiku untuk tidak lagi menggendong anak-anak kecuali keadaan darurat, dan aku tidak ingin membantah Michael, yang jelas memperhatikan kesehatanku.
Jadi akhirnya aku mendorong bahu Kael yang sudah terselimuti handuk untuk masuk ke kamarnya. Michael sudah mendahului dan membuka shower untuk memandikan Matt. Aku dengan sigap membantu Kael melepas celana basahnya dan membiarkan Michael mengambil alih Kael untuk dimandikan.
“Mama siapkan pakaiannya di ranjang, ya?”
“Okay, Ma.”
Setelah menyiapkan pakaian mereka di ranjang, aku beranjak ke kamarku dan mengeluarkan baju ganti untuk suamiku. Dan sebelum memutuskan untuk istirahat, aku memilih untuk memasak makan malam untuk mereka. Makan malam tidak akan lama lagi, dan aku tidak ingin membuat mereka terlambat makan kalau harus istirahat dulu.
“Mama.”
Aku mematikan kompor setelah mendengar suara halus Netta. Mataku bergerak menyusuri dapur dan menemukan anak keduaku itu sudah segar setelah mandi. Aku tersenyum kecil dan menuang sup ke mangkuk.
“Netta sudah mandi? Dimana kakakmu?”
Gadis kecil itu mendekat padaku dan duduk dikursi bar. Aku menyodorkan semangkuk kecil yogurt rasa blueberry favoritnya.
“Danke, Mama. Dan Kak Natta sedang memakai baju.”
Aku mengangguk kecil dan mulai menata makanan di meja makan. Suara langkah-langkah kaki itu mendekat tak lama kemudian. Segera kumatikan keran dan meraih jus jeruk di kulkas. Mereka mulai duduk di kursinya masing-masing.
“Papa sudah mandi?”
“Sudah, sweetheart. Kau baik-baik saja?”
“Ya.” Aku menjawab dengan tidak yakin setelah mendudukkan pantatku di sebelah papa. Aku jelas tahu kalau tubuhku butuh istirahat, tapi rasa mengantuk itu tidak kunjung datang, dan itu sangat membuatku kesal.
“Kau pucat, honey. Kita istirahat saja di kamar, ya?”
“Setelah makan, Michael.”
Kernyitan didahinya tidak menghilang, dan aku bergerak untuk mengusap kerutan itu. “Aku ingin makan, honey.”
“Okay, fine.”
Setelah memastikan Michael tidak akan marah dan menyantap makan malamnya, aku meraih makanku sendiri dan mulai melahapnya. Pandanganku sesekali jatuh pada anak-anak yang makan dengan lahap tanpa banyak bicara.
Kami memang jarang sekali mengobrol saat sedang makan. Karena kadang terasa tidak sopan saja kalau kami bicara di saat mulut penuh dengan makanan, dan itu juga bisa membuat tersedak.
“Setelah makan, kalian nonton dulu dengan grandpa, ya. Papa akan mengantar mama istirahat.”
“Baik, Pa.”
Aku meminum air mineralku dan meraih tangan Michael yang terulur padaku. Dia menarikku dengan pelan ke kamar kami. Setelah menutup pintu dibelakangnya, Michael menggiringku ke ranjang dan menata bantal untukku.
“Kau perlu istirahat. Aku tidak melihatmu tidur sama sekali sejak dari Jerman.”
“Hmm.”
Aku naik ke ranjang tanpa bicara lagi dan menyandarkan punggungku dengan nyaman. Michael mengusap kepalaku dan tidak bisa membuatku mengalihkan mataku darinya.
“Temani aku tidur. Aku tidak ingin sendirian.”
Senyumannya membuatku merasa tenang, dan dia memposisikan tububnya dengan bersandar dikepala ranjang. Aku dengan cepat bersandar didadanya dan memeluk perutnya. Usapan Michael kembali berlanjut dirambutku.
“Kenapa tidak tidur sejak semalam? Kau sedang memikirkan sesuatu?”
“Hmm? Aku tidak bisa tidur. Anak-anak selalu menempel padaku, sedangkan aku membutuhkanmu untuk bisa tidur.”
Dia terkekeh pelan dan menarik tubuhku semakin dekat ke dadanya. Kepalaku bersandar dengan nyaman dilehernya. “Kau mulai ketergantungan padaku, kan?”
Aku mendengus kecil. “Kau bahkan tidak bisa tidur tanpaku. Jangan mengejek.”
“Benarkah? Jadi siapa yang mulai ketergantungan?”
Dia membuatku jengkel saja. Dengan sedikit geram, aku mendudukkan tubuhku dan mendorong Michael menjauh. “Keluar saja sana. Aku ingin sendiri.”
Dia menyeringai dan menarik pinggangku untuk kembali bersandar padanya. Aku berdecak kesal tapi tetap memeluk pinggangnya erat.
“Now, sleep. Aku masih harus menunggu anak-anak tertidur.”
“Hmm.”
Dengan gerakan perlahan, aku menarik Michael sehingga dia bersandar di atas bantal. Dia menatapku dengan alis terangkatnya sebelum aku menyambar bibirnya dengan bibirku. Michael tidak membalas ciumanku selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia menukar posisi sehingga aku berada di bawahnya.
“Kau harus istirahat, honey.”
“Aku tahu.” Napasku tersengal dan kembali meraih tengkuk Michael untuk mempertemukan bibir kami. Ciumanku semakin dalam dan menuntut.
“Ngh. Honey.”
Bibir suamiku itu menyesap bibir bawahku dan menurunkan ciumannya. Pelukanku di lehernya melemah dan aku tahu kalau rasa kantuk itu tiba-tiba menyerbuku. Mataku tertutup dengan enggan dan mengabaikan ciuman Michael yang semakin turun ke leherku.
“Kau pasti kelelahan.”
Ciuman di kening mengantarkanku pada tidur yang sudah lama kutunggu. “Sleep well, Athalie.”
.
.
.
Michael’s POV
Aku terus memperhatikan istriku yang sedang terlelap dengan damai itu. Dia sudah tidur sejak makan malam kemarin, dan bahkan ini sudah lewat jam sarapan tapi wajahnya masih damai. Dengkuran halus juga menandakan kalau dia masih tenggelam dalam tidurnya sendiri.
“Kau pasti lelah sekali. Tenang saja, anak-anak sudah sarapan dan mereka sedang bermain bersama mom dan dad.”
Aku merasa seperti orang tidak waras karena berbicara pada orang yang sedang tidur. Tapi terserah saja, ini sama dengan berbicara dengannya secara langsung, yang bahkan istriku kadang sungguh mendengar ucapanku dalam tidurnya.
“Aku akan mengecek mereka dulu, okay? I love you, Lie.”
Mengucapkan namanya saat tertidur selalu membuatku kembali mengingat kalau satu-satunya wanita dan ibu dari anak-anakku yang akan kucintai adalah Athalie, gadisku. Dan dia akan selalu menjadi gadisku sampai rambutnya bahkan sudah tidak pirang lagi.
Setelah memastikan dia tidak kedinginan dengan suhu kamar, aku turun dengan perlahan, tidak ingin mengganggu waktu istirahat yang belakangan ini jarang didapatkan karena anak-anak sedang rewel dan manja.
Membayangkan waktu yang kuhabiskan dengan empat malaikat kecilku selalu membuat hatiku terasa hangat. Mereka adalah titipan Tuhan yang melengkapi kehidupan rumah tanggaku dengan Athalie. Dan melihat perkembangan mereka dari bayi sampai sekarang, membuatku sadar kalau ini adalah apa yang selalu kuimpikan sejak bertemu dengan Athalie 28 tahun yang lalu.
Aku tidak akan pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena memberikan kebahagiaan yang tiada tara ini. Membuat Athalie kembali ke sisiku, dan memiliki malaikat-malaikat kecil yang menduplikasi wajahku ataupun wajah Athalie yang selalu mengagumkan. Senyum lebar ini tidak akan pernah surut selama mereka berada di sisiku.
Dan mengingat istriku lagi, dia memang yang terbaik dari yang terbaik setelah mommy. Setiap kali kami berdebat atau bahkan sampai bertengkar, dia tidak pernah mempertahankan egonya lama-lama. Dan kami berdua akan terus berada di kamar dengan pintu terkunci sampai kemarahan kami itu reda, selalu seperti itu.
Bukan hanya karena tidak ingin anak-anak melihat interaksi kami yang dingin, tapi juga supaya pertengkaran kami itu tidak bertahan lama. Kami akan duduk berhadapan tanpa mengatakan apapun, sampai salah satu dari kami mengalah.
Tentu saja itu bagian paling kutunggu. Biasanya Athalie selalu agresif dan menggodaku dengan membuka pakaiannya sendiri, dan aku tidak pernah menolaknya sama sekali. Karena hanya dengan melihatnya melepas pakaiannya sendiri sudah berhasil meredamkan semua amarahku. Dan akhirnya kami keluar dari kamar dengan keadaan segar setelah mandi bersama.
Bukankah itu yang diinginkan semua pria?
Well, tentu saja tidak akan ada yang bisa mengalahkan istri seksiku itu. Walau beratus-ratus wanita disodorkan padaku setiap harinya, aku yakin seratus persen kalau milikku tidak akan bereaksi pada mereka. Aku sudah pernah mencobanya, jadi aku tidak akan membual tentang itu. Tapi itu bukan berarti aku ingin selingkuh atau apapun itu. Karena aku mencobanya saat kuliah dulu, seolah gairahku hanya berpusat pada Athalie saja, yang mana waktu itu masih memiliki status sebagai ‘sahabatku’.
Tapi masa lalu biarkanlah tetap berada di masanya. Aku tidak ingin kembali menyesali yang sudah terjadi, dan tidak ingin mengingatnya lagi, kecuali kenangan indah yang sudah ada. Karena aku tahu ada beberapa kisah yang harus tetap berada di masa lalu, untuk membuat apa yang ada di masa kini terasa lebih berharga dan tidak meninggalkan rasa luka mendalam.
Sepertinya aku menjadi melankolis kalau menceritakan kisah hidupku. Baiklah, lebih baik aku memeriksa anak-anak yang sedang bermain bersama dengan sepupu mereka.
Kututup pintu balkon dengan perlahan, menghindari timbulnya suara yang mungkin akan mengganggu tidur Athalie. Aku bisa melihat anak-anak yang asyik bermain di taman bersama mom dan dad yang pulang semalam. Mereka membawa Marcell dan keluarganya pulang, dan aku belum menanyakan detailnya.
“Papa! Look, aku menangkap kupu-kupu.”
Kael berlari ke arahku dengan sebuah toples kaca digenggamannya. Aku mengulurkan tanganku dan membawa tubuh anak bungsuku itu kedalam gendonganku. Dia menunjukkan hasil tangkapannya dengan antusias.
“Aku menangkapnya untuk mama. It’s beautiful like mama, isn’t it, Pa?”
Aku mencium pipi gemuknya yang kemerahan dengan gemas. Dia masih 4 tahun, jadi aku selalu suka mencium pipinya yang masih gemuk. Lagipula, siapa yang bisa mengabaikan keinginan untuk mencium pipi yang sangat kissable ini?
“Tapi kita harus melepasnya nanti, okay? Setelah mama melihatnya.”
Kael menatapku polos dengan mata bulatnya yang berwarna hijau itu. “Kenapa? Bukankah mama akan menyukainya?”
Aku tersenyum penuh pengertian dan mengusap kepalanya. “Mama pasti menyukainya. Tapi mama selalu mengatakan untuk tidak bermain dengan binatang, kan? Kita tidak boleh menyakiti mereka. Karena mereka juga ingin bebas, sayang.”
“Really?”
“Of course, son. Tapi sekarang kita berkumpul dengan yang lain dulu, Mama sedang istirahat dan papa tidak ingin ada yang mengganggu mama. Paham?”
“Aye, Sir.”
Aku terkekeh pelan dan melangkahkan kakiku ke taman dengan Kael tetap berada digendonganku. Matthew yang melihatku dari kejauhan langsung tersenyum lebar dan bangkit dari kubangan pasir dibawahnya.
“Papa!”
“Hey, boy. Give me kiss.”
Setelah menurunkan Kael dari gendonganku, aku berjongkok dan menyodorkan pipiku ke arah Matthew. Dia terkikik pelan sebelum mencium pipiku dengan suara keras. Kuusap kepalanya sebelum dia kembali pada bak pasir itu.
“Di mana Athalie, Mikey?”
Aku duduk dikursi kosong dan menyandarkan punggungku mengawasi anak-anak. “Dia masih tidur, mommy. Belakangan ini dia mengalami insomnia.”
Papa mengernyitkan dahinya sebelum meletakkan cangkir kopi ke meja. “Papa tidak tahu. Apa dia kelelahan lagi?”
“Matt dan Kael rewel sekali sejak di Jerman dan hanya ingin tidur dengan Athalie. Aku sudah memaksanya untuk istirahat, tapi kalian tahu Athalie, dia keras kepala.”
“Sama sepertimu, Michael.”
Aku meringis dengan tanggapan daddy. Aku sangat sadar kalau aku dan Athalie sama-sama keras kepala. Tapi memang istriku itu sulit sekali untuk dipisahkan dengan Matt dan Kael, walau hanya untuk istirahat. Apalagi kalau mereka berdua sedang sedikit tidak enak badan atau rewel, Athalie tidak ingin beranjak dari kamar mereka sama sekali, dan terkadang sampai membuatku cemburu.
“By the way, di mana istrimu, Marcell?”
Marcell menghentikan timangannya pada putri kecilnya dan menatap mataku. “Ilana sedang mandi. Ada apa?”
Aku menggeleng kecil. “Tidak. Aku belum melihatnya sejak kau pulang.”
Mengabaikan tatapan bingung Marcell, aku mengeluarkan handphone dari saku celana dan memeriksa email dari sekretarisku. Hanya beberapa laporan harian dan janji temu dengan klien. Setelah membalas beberapa email penting, aku kembali menyimpan handphone dan menuang kopi ke cangkir.
“Apa mommy bertemu dengan Michelle di London?”
“Tidak. Tapi mommy sempat menelponnya, dan Varo bilang mereka sedang ke Berlin untuk mengunjungi neneknya. Tapi mereka akan pulang minggu ini.”
Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan adik kecilku itu. Mungkin terakhir kali adalah saat mereka ke Indonesia untuk mengurus kepindahan mereka nantinya. Bahkan dengan memikirkannya lagi, aku merasa berterima kasih pada Athalie karena memaksaku untuk tinggal bersama papa sejak menikah.
Karena kalau aku juga memilih untuk membeli rumah sendiri, mom dan dad pasti akan kesepian karena Marcell dan Michelle memilih menetap di Inggris. Tapi sepertinya Varo berhasil luluh dengan keinginan Michelle kembali ke sini.
“Rumah mereka tidak akan jauh dari sini, kan?”
Daddy menanggapiku kali ini. “Daddy yang mencarikan kemarin. Tidak begitu jauh, mungkin 15 menit.”
“Baguslah.”
“Kak Michael seperti tidak pernah bertemu dengan Michelle saja. Dia sehat saat aku mengunjunginya terakhir kali.”
Aku mendengus kecil dan menyesap kopiku. “Dia semakin jarang mengunjungiku, padahal dia bisa menelponku.”
“Kau masih kesal karena dia ikut dengan Varo? Kan sudah mommy bilang, adikmu akan bahagia dengan Varo, Mikey. Kau itu terlalu protektif pada Michelle.”
“It’s not like that, mommy. Aku hanya kesal karena Varo selalu membuat princess sedih dulu. Daddy saja yang terlalu cepat luluh.”
Daddy mengetuk dahiku dengan gemas. Ck, aku merasa seperti remaja lagi kalau mereka sudah bertingkah seperti ini. Demi Tuhan, aku bahkan sudah memiliki empat anak. Dan daddy masih saja menganggapku seperti anak kecil.
“Daddy!”
Dia melotot padaku. “Apa? Memang kalau sudah punya anak berarti kau bukan anak daddy lagi?”
Sial, lagi-lagi daddy selalu bisa membaca pikiranku. Entah bagaimana dia melakukannya, tapi biasanya hanya mommy dan aku yang bisa dibacanya dengan mudah. Bahkan terkadang Marcell dan Michelle harus mengutarakan keinginannya dengan begitu jelas sebelum daddy paham, berbanding terbalik. Dan aku tidak tahu apakah itu keuntungan atau bukan.
“Daddy membuatku malu saja.”
Daddy tertawa dengan puas dan menjauhkan tangannya yang mengacak-acak rambutku. Aku berdecak jengkel dan menggeser kursiku lebih dekat ke mommy. Selalu saja, kalau Michelle tidak ada, berarti aku menjadi bahan godaan daddy.
“Ada apa ini? Hai, Kak Michael.”
Aku menoleh dan menemukan istri Marcell, Ilana, mendekat. Dia berjalan ke arahku dan memeluk punggungku sebentar sebelum mencium pipiku. Ya, alasan kenapa aku mencari Ilana adalah dia seperti pengganti Michelle untukku. Selama Michelle tidak di sini, Ilana selalu menjadi adik kecilku, yang terkadang membuat Marcell cemburu habis-habisan, padahal sudah jelas kalau aku hanya mencintai istriku seorang.
“Bagaimana kabarmu, Ilana? Kau tidak kelelahan?”
“Nope, I’m good.” Dia tersenyum lebar dan mengambil alih putri kecilnya dari tangan Marcell. Aku jadi semakin merindukan Michelle. Seharusnya sejak Michelle dan Varo menikah, aku memaksa mereka tetap tinggal di sini. Bukannya ikut dengan Varo ke Inggris.
“Papa! Mama sudah bangun.”
Aku teralihkan dengan suara Matt dan segera menoleh ke arah balkon kamar. Athalie tampak segar dengan kaus putih dan celana pendeknya. Sepertinya dia langsung mandi setelah bangun tidur.
Dia berjalan ke arahku dan aku langsung menyunggingkan senyum lembutku. Athalie masih saja seperti gadis yang baru beranjak dewasa, masih terlihat muda dan cantik, mengingat dia sudah memiliki empat anak. Dan selalu saja, hanya dengan melihat matanya, aku kembali jatuh.
“Morning, everyone.”
Suaranya selalu lembut, membuatku kembali teringat bagaimana dia bisa terlihat begitu menakutkan kalau sedang marah.
Dia mulai mencium pipi anak-anak, dan berlanjut ke papa, sebelum bergilir ke keluargaku. Ini adalah pemandangan paling indah sepanjang hidupku. Kami terlihat begitu dan saling menyayangi lebih dari apapun. Bahkan tanpa ikatan darah sekalipun.
“Morgen, my man.” Athalie tersenyum padaku sebelum tangannya bergerak mengusap tengkukku dan mencium bibirku. Ini adalah ritual kami setiap pagi, morning kiss, dan aku selalu menunggunya. Dan tatapan orang lain tidak lagi membuat Athalie malu melakukannya.
“Morning, honey. Tidurmu nyenyak, kan?” Aku bisa mencium bau harum dari sabun yang dipakainya mandi.
Dia bergerak duduk di sebelahku dan menyandarkan dagunya ke bahuku. “Hmm, aku benar-benar merasa segar. Kau sengaja tidak membangunkanku, kan? Danke.”
Aku tersenyum lembut dan mengusap hidungnya. Dia terkekeh dan menepis tanganku menjauh. Walau dia terlihat begitu serius mendengarkan obrolan papa dan daddy tentang masa muda mereka, aku yakin kalau dia masih memperhatikanku secara tidak langsung.
“Apa menurutmu kita harus memeriksakan insomniamu belakangan ini pada dokter?”
Istriku menoleh dengan reflek dan mengangkat sebelah alisnya. Dia menatapku dalam sebelum merangkul lengan kananku. “Tidak perlu. Kurasa aku hanya memerlukan pelukanmu sejak kemarin, kau tahu kalau anak-anak membuat kita kekurangan waktu untuk berdua sejak seminggu ini. Tapi sepertinya mereka hanya tidak begitu menyukai suasana di Jerman, itulah kenapa mereka rewel di sana.”
Aku mengangguk menyetujui perkataannya. Tanpa sadar aku kembali teringat dengan Matt dan Kael yang benar-benar rewel sejak kami berlibur. Entah itu karena perbedaan cuaca yang mencolok atau karena ini pertama kalinya mereka bepergian jauh, tapi mereka tiba-tiba saja demam malam harinya dan mereka tidak ingin Athalie jauh dari mereka.
Bukan berarti aku tidak bisa melakukan apapun tentang itu, tapi mereka berdua cenderung sangat manja pada Athalie saat sakit, dan cenderung mengabaikanku. Aku sudah membujuk mereka agar tidur bersamaku, tapi mereka membantah dan memaksa Athalie menemani mereka semalam suntuk. Dan dari hari itu Athalie mengalami insomnia.
“Tapi kalau tidurmu tidak nyenyak lagi, kita langsung ke dokter, and no arguing.”
“Baiklah. Tapi aku yakin kalau kita tidak perlu menemui dokter manapun, karena aku tidak sedang sakit.”
Aku menghela napas melihat kekeraskepalaannya lagi. Dia sering kali membantah perkataanku di saat aku tidak ingin didebat. Bukan berarti aku akan marah setiap kali dia melakukannya, hanya saja dia seolah tidak memikirkan kesehatannya sendiri, dan aku selalu khawatir karenanya.
“Baiklah. Aku mengalah. Istriku ini memang tidak bisa dibantah."
Dia menyunggingkan senyum manisnya dan kembali bergabung dengan obrolan keluargaku besar kami. Aku hanya memperhatikan dan sesekali menimpali apa yang mereka bicarakan.
Dengan melihat semua pemandangan ini, aku tahu kalau kebahagiaan hanya bisa kurasakan bersama keluargaku. Selama mereka ada, aku tahu tidak ada masalah yang tidak bisa kulewati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Hug Me, please! ✔
Chick-LitProlog Kami adalah sahabat. Aku mengenal keluarganya. Dan dia mengenal keluargaku. Kami sudah saling mengenal satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Pertemuan pertama kami adalah saat keluargaku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dan rumah...