Prolog
Kami adalah sahabat. Aku mengenal keluarganya. Dan dia mengenal keluargaku. Kami sudah saling mengenal satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Pertemuan pertama kami adalah saat keluargaku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dan rumah...
Dua hari berlalu dengan sangat tidak menyenangkan. Bagaimana bisa mereka semua memaksaku tetap berbaring selama dua hari? Mereka pikir aku ini selemah itu? Tentu saja tidak. Aku bahkan sudah merasa lebih baik setelah infus pertamaku habis. Tapi semua itu menjadi bencana saat papa akhirnya pulang dan melihatku berbaring dengan infus di lenganku.
“Papa masih berharap kau bisa istirahat, Atha. Tubuhmu terlalu lelah. Kau memaksakan dirimu untuk hal yang menurut papa tidak terlalu penting.”
Aku menghentikan kegiatanku memasukkan peralatan lukisku ke ransel dan menatap papa dengan lelah. Kita sudah membicarakan ini berulang kali, tapi papa masih saja ingin aku tetap berada di dalam rumah tanpa melakukan apapun. Tentu saja aku menolaknya. Aku akan mati bosan kalau menuruti semua keinginan papa.
“Pa, aku sudah sehat. Dr.Smith sudah memastikannya sendiri. Dan papa sendiri tahu itu, bukan? Aku hanya ingin melakukan apa yang membuatku merasa tenang, Pa. Aku tidak bisa hanya berdiam diri di rumah. Itu membuatku semakin stress.”
“Tapi kau masih bisa melukis di rumah, sweetheart. Papa tidak ingin kau sakit dan papa tidak berada di dekatmu.”
“Papa juga tidak akan ada disisiku walau papa berada tidak jauh dariku. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak bisa papa lakukan, Pa. Itu hanya membuatmu semakin terlihat buruk.”
Aku menyelesaikan kegiatanku dengan cepat dan berjalan melewati papa. Perdebatan kami tidak akan selesai kalau aku tidak menyerah dan pergi dari hadapannya.
“Papa belum selesai bicara denganmu, Athalie.”
“Kita bicarakan lain kali, Pa. Aku ada janji dengan klien. Sampai nanti.”
Aku tidak mempedulikan papa lagi dan segera masuk ke dalam mobilku. Bukan ini yang aku inginkan. Hidup dalam penuh kekangan. Kupikir setelah papa memutuskan membawaku ke Indonesia, dia akan sedikit berubah dan akan memberiku sedikit kelonggaran. Tapi nyatanya tidak. Papa masih saja sama.
Aku butuh kebebasan tapi papa memberiku banyak larangan. Aku membutuhkan waktu bersama papa, tapi dia bahkan tidak pernah meluangkan waktunya untukku. Kapan papa akan berubah?
“Shit.”
Aku melajukan mobilku dengan cepat ke galeri lukisku yang berada di pinggiran kota. Galeri ini kubuat dengan tabunganku sendiri, walaupun tidak terlalu besar tapi setidaknya layak untuk disebut galeri lukis. Dan aku bisa menyalurkan semua emosiku di sana.
“Sepertinya hari ini akan terasa berat.”
Aku harus terbiasa hidup seperti ini, tapi tidak kunjung rasa itu datang. Aku tidak pernah terbiasa. Kupikir aku akan menjalani kehidupan normalku di Indonesia, tapi sepertinya hari itu belum datang juga. Apa mungkin aku harus bersabar lebih lama lagi? Dan tetap mengubur perasaanku?
Tentu saja aku harus melakukannya. Tidak mungkin aku merusak persahabatan yang sudah dibangun lebih dari 10 tahun. Apalagi dengan resiko Michael akan membenciku seumur hidup. Aku memilih tetap mengubur perasaanku daripada semua itu terjadi. Karena hal pertama yang ingin kulakukan kalau itu sampai terjadi adalah mati.
Kalian mungkin sudah berpikir kalau, ‘tidak ada persahabatan sejati antara pria dan wanita karena salah satu dari mereka akan berubah’. Itu memang benar dan aku tidak dapat memungkirinya. Tapi sebenarnya ada persahabatan sejati kalau mereka mau menyingkirkan perasaannya dan berpaling pada yang lain. Karena semua itu membutuhkan komitmen diantara mereka.
Tapi aku tidak bisa melakukannya. Berulang kali aku mencoba menghilangkan perasaan itu pada pria lain, tapi lagi-lagi Michael menjadi pembandingnya. Aku selalu membandingkan mereka dengan Michael dan berakhir dengan Michael sebagai pemenangnya. Karena entah bagaimana, dia berhasil menguasai seluruh pikiranku. Dan aku tidak tahu pasti sejak kapan perasaanku padanya berubah sejauh ini. Yang aku tahu hanyalah, I fall for him again and again, but he doesn’t need to know.
Sepertinya aku terlalu fokus pada pikiranku dan tidak melihat mobil lain di depanku. Jalan memang masih sepi, dan aku belum beranjak terlalu jauh dari komplek rumah. Dan karena kecepatan mobilku yang bisa dibilang cukup cepat, aku tidak bisa mengendalikannya. Tepat di tikungan, aku menabrak mobil hitam di depanku dengan keras. Kepalaku sempat terbentur keras sebelum aku dengan cepat turun dari mobil. Aku harus melihat keadaan orang yang mengendarai mobil yang kutabrak itu.
“Oh Jesus.”
Aku mengetuk kaca mobil itu dengan keras. “Apa kau baik-baik saja?” Aku tidak bisa melihat orang di dalam karena kaca mobilnya. Kucoba membuka pintunya dan berhasil.
“Michael? Bagaimana…?”
Aku membantunya keluar dari mobil. Dia terlihat baik-baik saja, syukurlah. Bagaimana kalau sampai aku membuat Michael terluka karena kecelakaanini? Bodohsekaliaku.
“Lie, are you okay? Kepalamu berdarah.”
“Apa?”
Aku meraba pelipisku pelan, kenapa terasa basah? Darah? Aku tidak merasakan apapun sepertinya.
“Kita perlu ke rumah sakit, Lie.”
“Tidak…”
Kenapa semuanya jadi gelap?
.
.
.
“Apa yang terjadi padanya, Dok?”
“Setelah melakukan beberapa pemeriksaan tadi, bisa dikatakan Athalie mengalami gegar otak ringan. Dia mungkin akan merasa kebingungan beberapa hari nanti. Tapi tenang saja, dia akan kembali normal.”
“Kau yakin ini tidak berbahaya?”
“Ya, ini bukan cedera yang parah. Masih bisa disembuhkan dengan obat-obatan. Tapi tolong jangan memancing emosinya sampai dia benar-benar sembuh.”
“Baiklah. Terima kasih, Dokter.”
“Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Aku membuka mataku dengan paksa dan mengerjap pelan. Apa yang aku dengar tadi? Gegar otak? Siapa? Aku? Apa Michael baik-baik saja?
Pandanganku mengarah pada dinding putih yang terlihat sangat kosong. Udara di sini bahkan cukup dingin. Segera kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan menemukan Michael sedang menutup pintu kamar. Dia kemudian berbalik dan melihatku yang sudah sadar.
“Lie? Kau sudah bangun?”
Aku tersenyum kecil untuk menjawabnya. Michael dengan cepat beranjak ke sisiku dan duduk di pinggir ranjang.
“Kau ini benar-benar. Siapa yang menabrak siapa yang pingsan? Aku bahkan baik-baik saja. Bagaimana bisa kau sampai seperti ini?”
Aku mengingat kembali kejadian tadi pagi. Dari rumah sampai kecelakaan itu terjadi. Setelah berusaha keras, ternyata tidak banyak yang bisa kuingat.
“Aku tidak mengingat apapun, tapi sepertinya I don’t wear my seatbelt. Why don’t I remember anything?”
Michael tersenyum lembut dan mengusap kepalaku. “Kau pasti sedikit bingung. Jangan memaksa untuk mengingat apapun. Kau akan mengingatnya sendiri nanti. Don’t worry.”
“Baiklah. Apa kau tidak bekerja?”
Michael terkekeh dan menatapku tidak percaya. “Tentu saja aku tidak bekerja. Kau pikir jam berapa sekarang? Ini sudah malam, Lie. Kau tidur seperti kerbau.”
Aku melotot padanya. Dia mengataiku apa? Kerbau? Astaga, yang benar saja.
“Beraninya kau…”
“Tidak perlu marah-marah. Kepalamu bisa sakit nanti.”
Aku mengerucutkan bibirku jengkel. Dia selalu saja mengejekku semaunya sendiri. Lihat saja nanti apa yang akan kulakukan setelah aku pulang dari rumah sakit. Tapi, bukankah Michael tadi yang kutabrak?
“Bukankah aku menabrakmu tadi? Apa kau terluka? Kepalamu baik-baik saja? Kau tidak pusing atau mual? Apa dokter sudah memeriksamu? Tidak ada masalah dengan lukamu dulu, kan? Kenapa kau diam saja, Mikey? Kau sakit atau…?”
Michael tersenyum lebar. “Kau benar-benar cerewet, ya. Bertanyalah satu persatu. Kalau kau bertanya sebanyak itu, bagaimana aku bisa menjawabnya?”
Kalian perlu tahu kalau Michael pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia koma. Aku hanya takut kalau kecelakaan tadi membuat luka lamanya kembali lagi. Aku tidak ingin kembali melihatnya terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit.
“Kau baik-baik saja, kan?”
“Aku baik-baik saja, Lie. Kau bisa melihatnya sendiri.”
“Kau yakin? Apa dokter sudah memeriksamu juga? Lebih baik kau memeriksakan dirimu, Mikey. Aku khawatir ada yang salah.”
“Dokter mengatakan aku baik-baik saja, Lie. Aku sudah memeriksakannya tadi. Mommy akan mengkhawatirkanku kalau sampai dia tahu aku mengalami kecelakaan dan tidak melakukan apapun. Kau tidak perlu khawatir.”
Aku menghembuskan napas lega dan mengalihkan pandanganku darinya. Michael memang bisa membuatku khawatir dengan caranya sendiri. Entah apakah dia bahkan peduli dengan kekhawatiranku. Yang penting dia tidak tahu perasaanku dan aku tidak berharap dia membalas perasaanku ini. Karena berada di dekatnya saja sudah membuatku merasa bahagia. Tanpa perlu memaksa perasaanku ini. Kehancuran persahabatan kami adalah hal terakhir yang aku inginkan.
“Lie? Kau baik-baik saja? Apa kau merasa pusing? Kenapa kau diam saja?”
Aku melirik Michael dari sudut mataku. “I’m fine, Mike. Aku hanya tidak tahu apa yang ingin kukatakan.”
“Kalau begitu istirahatlah. Aku akan membangunkanmu kalau kau sudah bisa pulang nanti.”
Aku hanya bisa mengangguk dan memejamkan mataku. Biarkan aku tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini.
.
.
.
“Hubungi aku saja kalau kau butuh sesuatu. Papamu tidak tahu kalau kita mengalami kecelakaan. Dan kau tidak berniat untuk memberitahunya, kan? Jadi hubungi aku.”
“Aku mengerti. Kenapa kau cerewet sekali? Aku bukan anak kecil lagi.”
Michael mengacak rambutku dan tersenyum kecil. “Aku melakukannya sebagai sahabatmu, Lie. Jadi jangan merasa sungkan untuk meminta bantuanku, okay?”
Sahabat ya? Memang apa yang kuharapkan selain bisa menjadi sahabat baiknya? Aku memang benar-benar menyedihkan.
“Whatever. Lebih baik kau pulang. Thanks for today. Aku yang akan membayar tagihan mobilnya. Kau tidak bisa menolak karena memang aku yang salah di sini. Dan jangan coba-coba untuk membayarnya sebelum aku melakukannya.”
“Biayanya pasti akan sangat besar, Lie. Lebih baik kau gunakan uangnya untuk kebutuhan galerimu. It’s okay, Lie. Really.”
Aku berdecak dengan kesal dan memukul dahinya. “Aku bisa membayar tagihannya kalau kau tahu. Uangku lebih dari cukup kalau hanya untuk memperbaiki mobilmu. Tidak perlu mendebatku. Pulanglah.”
Michael mendengus lelah dan mengangguk ragu. “Baiklah. Do whatever you want to do. Aku pulang dulu. Jangan lupa hubungi aku nanti.”
Aku mengangguk dan memperhatikan Michael berjalan ke arah rumahnya sebelum aku berbalik dan masuk ke rumahku. Aku tidak melihat mobil papa atau Mang Joko di depan. Apakah papa belum pulang? Atau mobilnya sudah di garasi?
Kututup pintu depan dengan perlahan dan melihat sekeliling ruang tamu dan dapur. Tidak ada siapapun. Mungkin mereka semua sudah tidur berhubung ini sudah jam sepuluh malam.
Aku memutuskan masuk ke kamarku dan mengunci pintunya. Aku tidak ingin seseorang masuk ke kamarku dan melihat perban di pelipisku ini. Siapapun itu pasti akan mengadukannya ke papa dan aku akan menerima amarah papa. Karena semua ini tidak akan terjadi kalau aku mendengarkan papa untuk tetap berada di rumah hari ini.
“Aku lelah dengan semua ini.”
Kuhempaskan tubuhku di ranjang setelah melepas sepatu dan jaketku. Sepertinya aku akan menerima banyak komplain karena melewatkan janji dengan para klienku. Tapi lebih baik aku memikirkannya besok karena aku butuh mengistirahatkan kepalaku sejenak. Aku akan menghadapi mereka besok.
Ponselku berdering dan aku tidak ingin menghabiskan tenagaku hanya untuk bangkit dan mengambil ponselku yang berada di sofa pojok. Siapapun yang menelponku itu bisa aku hubungi besok. Sekarang aku ingin tidur dan menghilangkan kedutan nyeri dikepalaku ini.
.
.
.
“Athalie. Buka pintunya, sweetheart.”
Aku mengerang setelah mendengar suara papa di luar kamar. Kenapa semua orang selalu saja mengganggu waktu istirahatku?
“I’m sleepy, Pa. Biarkan aku tidur lagi.”
Aku kembali bergelung di bawah selimut tanpa membuka mataku sedikitpun.
“Kau melewatkan sarapanmu, Atha. Cepat bangun.”
“Aku lelah. Biarkan aku tidur lebih lama lagi.”
Aku menulikan pendengaranku dan kembali tertidur entah untuk berapa lama. Karena entah kenapa tubuhku benar-benar terasa sangat sakit. Mungkin karena benturan kemarin yang baru bisa kurasakan efeknya sekarang.
“Argh.”
Aku bangkit duduk dengan perlahan. Mataku mengerjap dengan lelah. Kenapa aku jadi seperti pengangguran seperti ini? Banyak pekerjaan di galeri dan aku belum menginjakkan kakiku di sana selama dua hari. Bayangkan saja berapa banyak pekerjaanku yang menumpuk.
“Semangat, Athalie. You love your job. That’s your passion.”
Aku menggeliatkan badanku perlahan sebelum memekik sakit. Sialan. Tubuhku benar-benar remuk. Tapi aku tidak bisa bermalas-malasan.
Aku bangkit dan segera masuk ke kamar mandiku. Melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhku sebelum masuk ke dalam bath up yang penuh dengan air hangat dan menuang sabun beraroma mawar. Semoga bisa mengurangi rasa lelahku ini.
Sambil menikmati aroma terapi ini, aku menyalakan music player yang berada di atas wastafel dengan remote. Musik klasik mengalun dengan lembut ditelingaku, membuatku semakin merasa relaks.
Mungkin sudah setengah jam aku berendam karena airnya mulai terasa dingin. Dengan terpaksa kusudahi kegiatanku ini dan menyelesaikan mandiku. Sesekali kulirik jam digital di wastafel yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Kupakai dengan cepat pakaianku. Celana jeans pendek dengan kaos hitam dan kemeja kotak. Dan karena aku tidak terlalu suka saat rambutku menyentuh tengkuk, aku memutuskan menggulung rambutku ke atas.
Aku keluar dari walk in closet dengan membawa sepatu kets ditangan kananku. Aku memakainya dengan cepat dan meraih ransel di sofa sebelum keluar dari kamar.
“Nanny..?”
Kulangkahkan kakiku menuju dapur dan meletakkan ranselku ke meja dapur. Nanny tidak ada di dapur atau dimanapun, mungkin sedang berbelanja. Kuputuskan untuk membuat salad sayur dan bacon untuk kubawa ke galeri. Walaupun ada Nanny atau pembantu yang bertugas memasak, aku biasanya lebih suka memasak sendiri untuk bekal.
Setelah selesai membungkusnya dalam kotak makan dan mengambil dua kaleng kopi dari kulkas, aku bergegas memanggil Jonathan, bisa dibilang pengawalku, untuk mengantarku ke galeri. Aku biasanya tidak meminta Jo untuk mengantarku, tapi berhubung mobilku sedang diperbaiki, aku terpaksa meminta bantuannya.
“Tidak biasanya Nona memanggilku. Di mana mobil Nona?”
Aku memasang seatbelt dan menghembuskan napas panjang. “Mobilku mogok, aku membawanya ke bengkel kemarin. Maaf mengganggu waktu istirahatmu, Jo.”
“Ini tugasku, Nona. Tidak perlu meminta maaf.”
Aku mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasku. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan pesan yang belum kubaca. Beberapa dari klienku yang menanyakan janji mereka, asistenku Gabriel yang mencariku kemana-mana, papa, dan Michael.
My Papa : Atha, papa harus mengurus sesuatu di Jerman. Mungkin pulang lusa. Jangan terlambat makan. Papa tahu kalau kau sampai melakukannya. Take care.
Athalie : Baiklah. Take care, Pa.
Aku menghembuskan napas lelah. Bagaimana bisa papa tidak memberiku waktu untuk sekedar bermanja-manja dengannya? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya. Mungkin setahun yang lalu? Atau tiga tahun yang lalu? Papa benar-benar semakin sibuk atau sengaja menyibukkan dirinya.
Mikey :
Kau tidak menghubungiku. Kau bahkan tidak mengangkat telponku. Are you okay?
Hubungi aku, Lie.
Aku tidak bisa menemuimu hari ini. Natasha meminta bantuanku. Call me, ASAP. Aku menunggu, kau tahu?
Lie?
Athalie?
Shorty.
Kaumengabaikanku.
Athalie :
I’m fine, Mike. Forget my phone.
Natasha?
Mikey :
Don’t lie to me, Lie. Kau tidak pernah melupakan ponselmu.
Ya, Natasha, temanmu. Aku bersamanya sekarang.
Apalagi sebenarnya yang diinginkan wanita itu? Bukankah aku sudah pernah memberitahunya untuk berhenti bermain-main dengan Michael? Kenapa dia kembali lagi? Aku tidak suka dia mengganggu Michael dan mencari perhatiannya. Sudah cukup apa yang telah dia lakukan pada pria yang lain, tidak perlu Michael menjadi korban lainnya.
Athalie :
Kenapa kau menemui Natasha lagi? Aku sudah memberitahumu untuk jangan dekat-dekat dengannya.
Apa dia melakukan sesuatu padamu?
Mikey :
Dia yang menemuiku, Lie. Aku tidak bisa menolak permintaannya. Kenapa kau seperti tidak suka padanya? Bukankah kalian dulu berteman?
Dia bersikap baik padaku. Berhenti bersikap aneh seperti ini.
Aku memilih tidak membalasnya dan memasukkan ponselku kembali ke tas dan menyadari kalau aku sudah sampai di galeri. Dengan segera kulepas seatbelt dan meraih ranselku di kursi belakang.
“Terima kasih sudah mengantarku, Jo. Aku akan menelponmu kalau aku butuh sesuatu. Sampai nanti.”
“Baik, Nona.”
Aku turun dan membuka pintu galeri yang tidak terkunci. Sepertinya Gabriel ada di sini. Tentu saja dia di sini. Aku bangun sangat terlambat. Bersiaplah dengan ocehannya.
“Gab? Gabriel?”
Kuletakkan ranselku di meja kerjaku dan menatap sekeliling. Dimana dia?
Aku melangkah ke ruang kerja lain yang merupakan tempat Gabriel bekerja. Dan dia memang di sana dengan earphone dikedua telinganya. Pantas saja dia tidak mendengar panggilanku. Aku berdecak dan mendekatinya yang sedang mengarsir dengan pensilnya.
Kulipat tanganku didada dan menunggunya menyadari kehadiranku. Cukup lama memang, karena biasanya kalau kami sudah melukis kami bisa tidak menyadari sekeliling.
“Athalie. Sejak kapan kau di situ?”
Aku mengangkat bahuku dan melihatnya melepas earphone dan meletakkan pensil di rak. “Kupikir kau tidak akan datang.”
“I’m here. Bagaimana dengan klien-klien kemarin? Apa mereka komplain padamu?”
“Mereka datang tapi saat tahu kau tidak ada, mereka minta ganti tanggal. Lagipula mereka tidak mungkin komplain padamu. Mereka yang ingin dilukis olehmu, jadi mereka harus bisa menyesuaikan waktu denganmu.”
Aku mengangguk paham dan melirik hasil lukisan Gabriel. “Sepertinya ini tugasmu beberapa minggu kemarin. Kenapa kau belum menyelesaikannya? Apa kliennya tidak komplain atau apapun?”
“Dia memberiku waktu lebih lama.”
Aku meliriknya sebentar dan menyadari raut wajahnya yang sedikit berubah. Mungkin dia sedang memiliki masalah dengan tunangannya. Tapi aku tidak ingin ikut campur dengan masalahnya, lebih baik dia yang menyelesaikannya sendiri.
“Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu. Lanjutkan lukisanmu, aku akan kembali ke tempatku.”
“Okay.”
Aku meninggalkannya dan mengambil ransel di meja depan sebelum masuk ke ruang kerjaku sendiri. Kukeluarkan bekalku dari tas dan memakannya perlahan. Sesekali menyesap kopi kaleng yang tidak lagi terasa dingin.
Ponselku di meja kembali berkedip. Dengan malas aku meraihnya dan melihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Semuanya dari Michael. Aku mendesah kasar. Kenapa dia bersikap seperti ini padaku? Seolah-olah dia memberiku harapan.
Mikey :
Kaumengabaikankulagi.
Ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau melarangku bertemu dengan Natasha? Dia wanita baik-baik, Lie.
Athalie Jovita Moore. Kau tidak membalas pesanku.
Aku akan ke tempatmu kalau sampai ku tidak juga membalasku.
Aku tidak main-main, Lie.
Athalie.
Aku akan ke galerimu. Kau tidak ada di rumah.
Aku memilih mengabaikannya dan meletakkan kembali ponselku ke meja. Lagipula aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk menjawabnya. Terserah apa yang ingin dilakukannya, aku tidak peduli.
Makanan dihadapanku menjadi tidak menarik lagi. Aku hanya melihatnya dengan malas. Ck. Kenapa akhir-akhir ini aku tidak nafsu makan? Biasanya aku memakan semua yang ada dihadapanku.
“Jangan berniat untuk tidak menghabiskan makanmu, Lie. Kau bahkan belum memakan setengahnya.”
Aku melirik ke pintu dengan malas dan menemukan Michael bersandar di ambang pintu dengan tangan di saku celananya. Aku tidak berpikir dia akan sampai secepat ini. Hilang sudah suasana tenang ini.
“Kau tidak bekerja?”
“You don’t even remember what day is today. Kupikir kau benar-benar tidak ingat apapun.”
Aku melirik ponselku dan meringis. Bagaimana bisa aku bahkan tidak melihat kalender hari ini. Memalukan sekali.
“Kau sudah makan? Kemarilah.”
Michael menggeleng dan menarik kursi di dekat pintu sehingga dia bisa duduk di sampingku. Dia melepas jaketnya dan meletakkannya di meja. Tangannya menopang kepala menghadapku.
“Kenapa belum makan? Sudah waktunya makan siang, kan?”
“You avoiding me.”
Aku menusuk bacon dengan garpu dan mengarahkannya pada mulut Michael. Dia membuka mulutnya dan menguyah apa yang masuk ke mulutnya. Aku sesekali memasukkan salad ke mulutku saat menyuapinya bekalku. Bahkan selama makan, Michael tidak hentinya berbicara tentang aku yang bertambah kurus atau makanku yang sedikit dan masih banyak lagi. Dan yang aneh adalah dia tetap membuka mulutnya untuk kusuapi. Benar-benar Michael.
“Apa yang akan kau lakukan hari ini?”
Aku meletakkan kaleng kopiku setelah menyesapnya. Aku melirik kanvas sebagai jawaban. “Aku masih harus menyelesaikan beberapa lukisanku. Ada apa?”
Michael mengangkat bahunya dan berdiri. “Kalau begitu aku akan menemanimu hari ini. Karena tidak ada yang bisa kulakukan.”
“Mommy tidak melarangmu pergi? Ini kan akhir pekan.”
“Daddy membawa mommy pergi sendiri. Apa yang bisa kulakukan selain mengalah padanya?”
Aku tersenyum mengingat betapa romantis dan protektifnya daddy pada mommy. Mereka bahkan masih terlihat sangat romantis walau umur yang tidak lagi muda. Benar-benar pasangan idaman.
“Daddy memang sangat romantis.”
Aku merapikan meja dan mempersiapkan kuas-kuas dan cat minyak ke dalam rak beroda sebelum mendorong kursiku ke arah kanvas yang masih bertengger dieasel. Kulepas kemejaku agar tidak mengganggu proses melukisku.
“Apa kau selalu memakai pakaian seperti itu untuk bekerja?”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dengan teratur aku mulai menuang cat minyak ke atas palet. Memisahkan beberapa jenis kuas yang akan kupakai. “Ya. Pakaian ini mempermudahku melakukan pekerjaanku. Berhenti menggangguku, Mike. Aku harus menyelesaikan lukisanku secepatnya.”
Michael mengangkat kedua tangannya menyerah dan berjalan ke arah pintu. “Aku akan mengambil barangku di mobil. Jangan berani mengunci pintu ini.”
“Like I care.”
Aku menghembuskan napas panjang dan mulai menyapukan kuas ke atas kanvas. Membuat sapuan-sapuan kasar yang membentuk pola abstrak.
Setelah hampir menyelesaikan setengah lukisanku, telingaku menangkap alunan lembut musik klasik. Mungkin Michael yang menyalakannya karena kami biasanya mendengarkan musik klasik saat menyelesaikan gambar kami. Itu membantu pikiran kami menjadi tenang dan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat.
Satu jam kemudian aku menyelesaikan lukisan dengan pemandangan alam yang hijau. Dengan latar belakang hutan belantara. Aku memandangnya dengan puas sebelum menggeser easel ke ruangan lain dimana aku menyimpan semua hasil lukisanku. Biasanya tidak ada yang masuk ke sana selain aku, karena aku memang tidak memperbolehkan siapapun masuk. Banyak rahasia yang kusembunyikan disana, dan aku tidak ingin siapapun melihatnya.
Aku mengunci ruangan itu lagi dan menyimpan kunci ke dalam saku celanaku. Saat mencuci semua peralatan lukisku diwastafel, aku melihat Michael sibuk dengan mouse di tangannya. Sepertinya dia sedang menyelesaikan gambarnya.
Aku memutuskan keluar dari ruanganku dan masuk ke dapur untuk memasak sesuatu. Entah bagaimana, tapi setelah melukis, aku selalu merasa sangat lapar. Setelah melihat-lihat isi kulkas, aku memutuskan memasak grilled potato dan lasagna.
Butuh waktu sekitar satu jam untuk aku menyelesaikan masakanku. Setelah meletakkan makanan ke nampan, aku masuk ke ruangan Gabriel untuk memberitahunya kalau makanan sudah matang. Aku kemudian kembali lagi ke dapur untuk membawa nampan penuh makanan dan jus jeruk.
Michael masih sibuk dengan laptopnya. Dengan perlahan kuletakkan nampan di meja dan menarik kursiku mendengar ke arah Michael. Aku menatap layar laptopnya dengan penasaran. Hanya garis-garis kaku yang bisa kulihat. Membosankan sekali.
“Kau sudah selesai?”
Michael menghentikan gerakan tangannya di mouse dan menoleh menatapku. “Ada apa? Kau sudah selesai?”
“Aku memasak sesuatu. Makanlah sebelum melanjutkan pekerjaanmu, kau belum makan banyak tadi.”
Michael mengangguk dan menjauhkan laptopnya. Aku mendorong sepiring penuh lasagna dan grilled potato ke arahnya. Michael meraih sendok dan garpu dinampan sebelum menikmati makanannya. Aku tersenyum dan meraih piringku sendiri. Hanya ada grilled potato untukku, karena aku yakin tidak bisa memakan lasagna itu. Bukan karena aku tidak suka atau apa, tapi lebih pada aku tidak yakin bisa menghabiskannya.
“Buka mulutmu.”
Aku menatap Michael dengan bingung sebelum dia mengarahkan sesuap lasagna ke mulutku. “Beberapa suap lasagna tidak akan membuatmu kekenyangan.”
Aku menguyah pelan walau dalam hati merasa terharu karena Michael memperhatikanku. Dia peduli padaku, walau hanya sebatas sahabat. Tapi itu sudah membuatku merasa senang.
“Terima kasih.”
“Kau yang memasaknya, Lie. Don’t thank me like that.”
Ya, maksudku adalah terima kasih untuk kepeduliannya. Tapi kalau dia menganggapnya lain, mau bagaimana lagi. Ya sudahlah.