Part 7

3.1K 185 1
                                    

Setelah menyelesaikan mandiku dan berpamitan pada papa, aku mengambil handphone dan iPadku sebelum pergi ke rumah Michael. Aku masuk ke rumahnya dari pintu depan, bukan dari teras kamar Michael karena mommy dan daddy tidak ada. Biasanya aku akan masuk lewat sana, lebih cepat.

“Dimana Michael, Kak?”

Aku menatap Kak Michelle dengan bingung. Kupikir Michael akan menunggu di ruang tamu. Ternyata dia tidak ada di sini. Hanya ada Kak Michelle dan Marcell yang sedang menonton tv.

“Di kamar. Dia bilang ingin mandi. Tapi sepertinya sudah selesai. Masuk saja.”

Aku hanya mengangguk dan melangkahkan kakiku ke kamar Michael yang berada di dekat ruang tamu. Sebenarnya bukan tanpa alasan aku harus menemani Michael di rumah. Dia harus ditemani siapa saja kalau sudah malam. Biasanya ada mommy atau daddy yang menemaninya sampai dia tidur. Tapi berhubung mommy dan daddy sedang tidak ada di rumah, aku memutuskan untuk menemaninya. Karena dia takut pada gelap, itulah alasannya. Entah bagaimana dia bisa mendapat phobia itu. Padahal seingatku mommy memiliki phobia itu karena trauma tersendiri, berbeda dengan Michael yang terlahir dengan phobia itu.

Aku menekan kenop pintu dan mendorong pintunya terbuka. “Mike, …”

Belum sempat aku melangkah masuk ke dalam kamarnya, aku langsung membanting pintunya hingga tertutup seperti semula. Bagaimana tidak? Aku melihat Michael yang hanya berbalut boxer briefsnya dengan handuk di kepalanya. Sial. Kenapa aku tidak mengetuk pintunya dulu tadi?

“Kau bisa masuk, Lie.”

Aku menarik napas panjang sebelum kembali menekan kenop dan masuk ke dalam. Michael sudah memakai celana pendeknya tapi masih bertelanjang dada. Kurasa itu lebih baik untuk jantungku daripada yang tadi.

“Kenapa kau tidak bilang kalau belum berpakaian?”

“Kau tidak bertanya.”

Shit, memang. Kenapa aku bisa begitu bodoh tadi? Bagaimana jika lain kali aku akan melihatnya telanjang bulat? Mau diletakkan dimana mukaku ini?

“Tetap saja. Kenapa kau tidak berpakaian sebelum keluar dari kamar mandi?”

“Lemariku di luar, kalau kau lupa.”

Terus saja berkilah dari ucapanku. Membuatku lelah saja berdebat dengannya. Dia pikir aku akan terus meladeni semua ucapannya itu? Kalau dia lupa, aku masih marah padanya.

“Whatever.”

Aku memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhku di ranjangnya. Setelah meletakkan bawaanku di meja kerjanya, aku melempar tubuhku di atas ranjang besarnya dan memejamkan mata.

“Aku akan langsung tidur. Bangunkan aku besok kalau sudah pagi. Aku ada beberapa janji dengan klienku. Kau dengar tidak?”

Mengabaikan Michael, aku meraih guling di sampingku dan memeluknya. Bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman sebelum mencoba untuk tidur.

“Tidak masalah kalau aku tidur disebelahmu?”

Aku membuka mataku dan menatap Michael dengan alis terangkat. “Sepertinya sudah ribuan kali kita tidur di atas ranjang yang sama. Dan baru kali ini kau meminta izinku untuk itu. Aneh.”

“Bukan begitu. Tapi kan kau masih marah padaku. Mungkin kau tidak ingin aku tidur di sini.”

Aku menarik napasku panjang sebelum menatapnya tajam. “Kalau kau memang tidak berniat tidur di sini, kenapa kau memintaku menemanimu? Aku akan pulang saja kalau begitu.”

Aku bersiap-siap akan bangkit saat tangannya menahan kakiku. “No, you can’t. Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?”

“You’re like an idiot. Silent, I need to sleep.”

Aku kembali memejamkan mataku dan merasakan sisi lain ranjang menerima beban yang kuyakini adalah Michael. Biarlah hubungan kami seperti ini dulu untuk beberapa saat. Aku masih bingung bagaimana harus bersikap di depannya. Bertingkah seperti sahabat baik di depannya tidak menyelesaikan apapun.

“Kau ingin memakai selimutnya atau tidak?”

“No.”

“Baiklah. Aku akan memakainya. Tapi kau bisa mengambilnya kalau kau kedinginan nanti. Okay?”

“Hmm.”

Kenapa dia membuat suasana menjadi canggung seperti ini? Biasanya kami melakukan semuanya tanpa saling meminta izin seperti ini. Ini sangat bukan kami.

“Lie?”

“Hmm?”

“Kau sudah tidur?”

“Hmm.”

“Kau tidak ingin menungguku tidur lebih dulu?”

“Hmm.”

Yang benar saja. Sebenarnya apa yang kami berdua lakukan sekarang? Kenapa kami malah bertingkah seperti dua remaja yang baru saja puber? Kekanakan sekali.

“Kau masih marah padaku?”

“Hmm.”

“Athalie. Berhenti menjawabku seperti itu. Open your eyes and look at me.”

Apa kami harus menyelesaikan masalah kami sekarang? Di saat seperti ini? Benarkah? Baiklah.

Aku membuka mataku dan membalik tubuhku menghadapnya. Dia menyingkirkan guling yang kupeluk. Aku mengangkat alisku melihat tingkahnya.

“Kita bukan hanya setahun dua tahun saling kenal, Lie. Kita sudah 13 tahun bersama dan saling mengenal semua kebiasaan kita. Kenapa kau tetap marah padaku selama ini?”

Karena perasaanku berubah, Michael. Aku bukan lagi menyanyangimu sebagai seorang sahabat. Karena sekarang aku mencintaimu sebagai seorang wanita.

“Kenapa kau marah padaku? Katakan padaku dan aku akan memperbaiki apa yang membuatmu marah, Lie.”

Cintailah aku dan kau bisa memperbaiki semuanya, Michael. Itulah satu-satunya jalan. Karena mencintai secara sepihak terasa sangat menyakitkan.

“Tell me, please.”

“Jauhi Natasha.”

“Kau mulai lagi, Lie. Natasha itu …”

“That’s the only way.”

“But, Lie, …”

“Kalau tidak mau ya sudah. Jangan pernah berharap aku berhenti marah padamu.”

Aku bersiap-siap turun dari ranjang saat tangannya menahan lenganku. Apa dia akan menyetujui permintaanku semudah itu?

“Beritahu aku alasanmu. Setelah itu aku akan melakukannya.”

“Natasha adalah psikopat.”

“Apa?”

Aku tahu kalau Michael tidak akan percaya padaku semudah itu. Dia pasti akan mengira aku gila karena mengatakan hal seperti itu.

“Are you kidding me? Dia gadis baik …”

“Kau tertipu dengan wajah cantiknya, Mike. Kau pikir psikopat akan memperlihatkan sisi aslinya pada korbannya? Aku tahu kau tidak setolol itu. Sekarang lepaskan aku. Lebih baik aku tidur di rumah daripada di sini.”

Michael menatapku dengan raut wajah tidak percaya. Dia melepaskan tanganku dan membiarkanku turun dari ranjang. Sepertinya dia tidak percaya padaku lagi sekarang.

“Aku tidak akan mempercayaimu sampai aku mencaritahu sendiri.”

Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat setelah dia mengatakannya. Dia memang tidak akan pernah percaya padaku lagi. Dia mulai meragukanku. Dan itu membuat hatiku sangat sakit.

“Baiklah kalau begitu. Lebih baik jangan hubungi aku atau menemuiku mulai sekarang. Kau pikir aku akan berbohong padamu agar kau menjauh dari rubah itu? Kau memang sudah bukan Michael yang dulu lagi. Mungkin kau terlalu mencintai Natasha sampai tidak mempercayaiku lagi.”

“Jangan hubungi aku kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi padamu karena Natasha. Aku tidak ingin mendengar kebodohan keluar dari mulutmu itu. Hadapi semuanya sendiri nanti. Kau sudah tidak membutuhkanku lagi. Kita selesai sampai di sini.”

Aku mengambil barangku dan melangkah ke arah pintu. Semua sudah selesai. Tidak ada lagi persahabatan di antara kami.

“Apa kau harus melakukan semua itu hanya karena Natasha?”

Aku mendengus dan berbalik menatapnya. “Hanya karena Natasha? Kau terlalu egois untuk mengatakan kalau semua itu karena Natasha, Mike. Kaulah yang tidak ingin mempertahankan persahabatan kita lagi. Jangan salahkan aku kalau sampai aku melakukan semua ini padamu. Kau yang sudah tidak percaya lagi padaku. Kau yang sudah merusak persahabatan kita.”

“Maafkan aku, Lie.”

Aku tidak akan luruh hanya dengan melihat matanya yang berkaca-kaca dan terlihat menyesal. Dia sudah terlambat untuk itu.

“It's too late, Michael. Selamat tinggal.”

“Tolong jangan lakukan ini padaku, Lie. Jangan pergi dari hadapanku. I need you.”

“Kau bisa mengatakan itu beberapa saat yang lalu daripada mengatakan kau tidak mempercayaiku.”

Aku keluar dengan cepat dari kamarnya dan menutup pintu di belakangku. Semenit lagi aku masih ada di rumah itu, aku tahu kalau aku akan memperlihatkan sisi lemahku pada semua orang. Aku tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun.

“Maafkan aku, Mikey.”

.
.
.

Michael’s POV

-You only know you love her when you let her go.-

Apa kalian tahu bagaimana rasanya saat hati kalian terluka? Saat seseorang yang sangat berarti untuk kalian memutuskan hubungannya denganmu? Aku tidak tahu kalau rasanya sesakit ini. Rasanya seperti separuh nyawaku hilang dibawanya pergi. Aku tidak bisa berpikir dengan benar ataupun melakukan sesuatu dengan baik.

Yang kulakukan hanya duduk diam di atas ranjang dan menangis seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Tidak bisa melakukan apapun karena tersesat dalam kejamnya dunia. Hanya ada penyesalan yang selalu datang terlambat. Aku memang bodoh karena tidak mempercayainya.

“Maafkan aku.”

Aku menyakitinya dengan semua ucapanku. Entah kenapa masalah seperti ini terjadi setelah 13 tahun kebersamaan kami. Sebelumnya kami tidak pernah bertengkar sehebat ini. Kami hanya akan merajuk sebentar dan masalah selesai. Sekarang tidak. Aku merusak kepercayaannya padaku dengan tidak mempercayainya.

“Maafkan aku.”

Aku tidak pernah menyadari kalau kehadiran Athalie sangat berarti dalam hidupku. Aku merindukannya saat dia tidak muncul di hadapanku. Aku merindukan suaranya yang terdengar lembut ditelingaku. Aku ingin melihat wajahnya disaat lelahku.

“Jangan pergi. Kumohon.”

Dia pergi tepat dihadapanku. Dan aku tidak melakukan apapun untuk mencegahnya pergi dariku. Aku membiarkannya pergi dan tidak berbalik lagi. Akulah yang menyakitinya dan membuatnya pergi. Akulah  penyebab semuanya terjadi.

“Please, come back.”

Aku membutuhkanmu, Athalie. Aku membutuhkanmu lebih dari yang kau tahu. You are mean everything to me. Dan mungkin tanpa sadar aku bersikap posesif padamu tapi kau salah mengartikannya dengan aku hanya melarangmu. Aku bersikap posesif seakan kau adalah milikku. Tidak ada yang boleh melihat tubuhmu selain aku. Karena aku menganggap kau adalah milikku.

Awalnya kupikir itu semua karena aku hanya ingin melakukan yang terbaik sebagai sahabatmu. Tapi semuanya semakin aneh untukku. Aku mulai tidak suka melihatmu berpakaian minim bahan. Atau melihatmu dekat dengan asistenmu itu. Atau saat kau mulai menghindariku.

Semuanya kupikir hanya karena kita terbiasa bersama selama 13 tahun ini. Tapi ternyata tidak. Perasaanku berubah padamu. Aku bukan lagi menyayangimu sebagai sahabat. Aku mulai mencintaimu tanpa sadar.

Dan aku semakin menyadari kalau aku mencintaimu sekarang, setelah aku membiarkanmu pergi dari hadapanku. Aku mencintaimu sampai hatiku terasa ingin meledak karena sudah menyakitimu tadi. Dengan tidak mempercayaimu sama saja kalau aku sudah sangat menyakitimu.

“Aku bisa gila tanpamu. Tolong kembalilah padaku.”

Just Hug Me, please! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang