Part 15

3.3K 115 0
                                    

“Aku ada beberapa rapat hari ini. Kau tidak masalah sendirian di sini?”

Aku duduk di sofa yang berada di ruangan kerja Michael. Dia baru saja menghubungi sekretarisnya untuk menanyakan jadwal meeting hari ini. Sepertinya dia akan sibuk hari ini.

“Tidak masalah. Aku akan jalan-jalan kalau bosan nanti.”

Michael berjalan mendekatiku dan duduk disampingku. Dia mengusap kepalaku dan mencium pelipisku. “Lebih baik tadi kau di rumah saja, kan? Kau bisa mengobrol dengan mommy daripada sendirian di sini.”

Aku tersenyum dan menggeleng. “Mereka yang ingin ikut, hon. Aku mana bisa menolak, kan? I’ll be fine, don’t worry.”

“Hubungi aku atau Jonathan kalau butuh sesuatu. Jangan pergi terlalu jauh selagi aku rapat, okay?”

“Aku mengerti, Michael. Pergilah, kau bisa terlambat.”

“Baiklah. Jangan sampai lelah, ya?”

“Hmm.”

Michael mencium bibirku lembut sebelum keluar dari ruangannya dengan beberapa berkas dan laptop ditangannya. Aku mendesah keras karena bingung dengan apa yang akan aku lakukan sekarang. Kalau saja anak-anakku tidak memaksa ikut Michael, aku bisa melukis di rumah. Atau menghabiskan waktuku dengan tidur.

“Sekarang apa yang akan aku lakukan? Daddy pasti sedang sibuk di ruangannya.”

Aku mengeluarkan ponsel dari tas kecilku dan menghubungi Kak Michelle. Setahuku dia sedang libur dari studionya. Mungkin dia sedang tidak sibuk, kan?

“Hallo?”

-What’s up, Athalie?-

“Apa kakak sedang sibuk?”

-Aku di kantor daddy. Ada apa?-

Aku tersenyum tanpa sadar setelah mendengar jawaban kakak. Berarti dia bisa menemaniku jalan-jalan, kan?

“Kebetulan sekali. Aku ada di ruangan Michael sekarang. Kakak mau menemaniku jalan-jalan?”

-Okay. Aku akan bilang daddy dulu.-

Aku menunggunya dan mendengar suara yang teredam. -Daddy, aku menemani Athalie dulu dibawah, ya. Aku akan langsung pulang nanti. Okay, princess. Salam untuk Athalie.-

Aku tersenyum setelah mendengar suara daddy. Mungkin dia berpikir kalau sambungan teleponnya sudah berhenti. “Bagaimana kak?”

-Aku turun sekarang.-

“Okay.”

Sambungan diputuskan, aku mengirim pesan pada Michael sebelum pergi dengan Kak Michelle.

Athalie : Hon, aku jalan-jalan dengan Kak Michelle. Dia baru saja bertemu daddy. See you at lunch, okay? Love you.

Beberapa detik setelah aku mengirim pesan, Michael membalasnya.

Hubby : Okay, be careful. Nanti tunggu aku di café seberang saja, ya? Love you too, honey.

Aku tersenyum dan memasukkan ponsel ke tas. Suara pintu terbuka membuatku teralihkan. Kak Michelle berdiri dipintu dan tersenyum padaku. Dia seperti biasanya, terlihat elegan walaupun hanya berbalut baju rok selutut tanpa lengan berwarna pink. Dia mirip sekali dengan Michael, hanya saja versi perempuannya.

“Ayo, Athalie.”

“Ayo, kak.”

Aku berdiri dan memperbaiki bajuku sebelum melangkah keluar bersama Kak Michelle. Aku langsung meraih lengannya saat kami berhasil keluar dari lobi kantor. Kami hanya berjalan-jalan disekitar kantor karena Michael tidak mengizinkanku pergi terlalu jauh.

“Temani aku ke toko baju itu, okay?”

“Fine, aku juga bisa membeli beberapa pakaian hamil.”

Kak Michelle menuntunku masuk ke sebuah butik baju di dekat café. Hamparan baju dalam gantungan langsung memenuhi mataku. Aku langsung ditarik ke bagian gaun. Aku hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah kaki Michelle yang panjang. For your information, dia lebih tinggi dariku dan mommy, dia hanya lebih pendek 10 centimeter dari Michael. Jelas saja aku akan ketinggalan langkahnya.

“Banyak sekali gaun yang baru. Athalie, kau cari apa yang ingin kau beli, aku akan mencoba beberapa gaun dulu.”

“Okay, kak.”

Aku menatap gaun-gaun disana dengan tidak tertarik. Bahkan separah apapun hormon kehamilanku, aku tetap tidak terlalu suka berbelanja dan menghamburkan uang. Entah anak-anakku ini gadis atau pria. Kenapa mereka juga tidak suka berbelanja?

“Tapi aku perlu beberapa baju untuk keluar.”

Karena pakaianku yang memang selalu kurang bahan atau pendek, aku tidak menemukan banyak pakaian yang bisa kupakai selama perutku semakin membesar. Baju bergaris yang sedang kupakai saja adalah baju mama yang kutemukan di Jerman. Aku juga membawa beberapa baju milik mama untuk kupakai.

“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?”

Aku mengalihkan perhatianku pada pegawai yang memanggilku Nyonya. Entah mulai kapan orang-orang memanggilku nyonya. Aku merasa senang setiap mendengarnya.

“Aku mencari beberapa pakaian hamil. Apakah ada?”

“Mari ikut saya.”

Aku mengikuti langkah pegawai tadi dan berhenti didepan gantungan penuh pakaian. Sesekali aku melihat Kak Michelle sedang sibuk memilih-milih gaun. Aku mulai mencari beberapa baju yang sesuai dengan seleraku. Akhirnya aku hanya membeli 5 gaun. Lagipula aku tidak terlalu membutuhkan banyak. Just in case, pakaian yang kubawa dari Jerman tidak cukup.

“Aku akan mengambil yang tadi.”

“Silahkan langsung ke kasir, Nyonya. Terima kasih.”

Aku menghampiri Kak Michelle setelah membayar pakaianku. Dia masih saja sibuk mencocokkan gaun didepan cermin. Seorang pegawai masih setia berdiri disampingnya. Sepertinya kalau tidak ada yang mengingatkan Kak Michelle, dia akan menghabiskan waktunya dibutik ini. Ya ampun.

“Kak. Apa masih lama? Sudah hampir makan siang.”

“Ini yang terakhir, Atha. Sebentar ya?”

Aku menghembuskan napasku lelah dan duduk di sofa yang baru saja kulihat. Kusandarkan punggungku dan meluruskan kakiku. Ini akibatnya kalau aku terlalu banyak bergerak atau berdiri. Badanku akan pegal-pegal dan lelah.

Ponsel ditasku berbunyi, tanda ada pesan masuk. Aku segera mengeluarkan ponselku dan tersenyum saat melihat nama yang tertera.

Hubby : Meetingnya sedikit diundur. Kau tunggu aku di café, ya? Jangan kemana-mana, aku tidak akan lama.

Athalie : Okay, hubby. Aku akan ke café setelah ini. See you later.

Hubby : Be careful, honey.

Athalie : I got it, don’t worry.

Aku memasukkan kembali ponsel ke tas saat melihat Kak Michelle mendekat dengan beberapa kantong pakaian ditangannya. Aku bangkit berdiri dan meraih kantong pakaianku sendiri.

“Kakak akan langsung pulang setelah ini?”

“Ya, aku janji akan makan siang dengan mommy di rumah. Daddy mungkin sudah di rumah.”

“Baiklah. Aku akan ke café di seberang. Sampaikan salamku untuk mommy dan daddy, ya?”

“Okay. Hati-hati dengan keponakanku, okay?”

“Aku mengerti. Sampai jumpa.”

Kami kemudian berpisah didepan butik. Kak Michelle masuk ke mobil dengan Uncle Nate sebagai supirnya. Aku melambaikan tanganku saat Kak Michelle menurunkan kaca mobil.

“See you, Atha.”

Aku tersenyum dan melihat mobilnya menghilang diperempatan lampu merah. Setelah memperhatikan lalu lintas, aku menyeberang dan duduk di meja yang berada di depan café. Walaupun padat, café ini menyediakan beberapa meja dan kursi di luar. Tempat ini memang favoritku dengan Michael. Kami bisa melihat lalu lintas orang dan mendapatkan sinar matahari yang tidak terlalu terik.

“Anda ingin memesan, Nyonya?”

Aku menoleh pada pelayan yang membawa buku menu ditangannya. Aku mengangguk dan menerima menu darinya. “Satu lemon juice, satu americano panas, dan macaron. Aku akan tambah lagi nanti. Terima kasih.”

“Kami akan segera menyiapkan pesanannya. Terima kasih.”

Aku meletakkan tas kecilku di meja dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan baru dari Michael beberapa detik yang lalu.

Hubby : Aku sudah selesai. Kau dimana?

Athalie : Aku sudah di café. Dimeja biasa.

Hubby : I’ll be there in seconds.

Aku mengedarkan pandanganku dan melihat siluet Michael dikejauhan. Kulambaikan tanganku sebagai tanda agar Michael melihatnya. Setelah dia melihat kodeku, Michael tersenyum dan berlari kecil. Dia sampai didepanku dengan cepat.

“Maaf lama.”

“It’s okay. Aku juga baru sampai.”

Michael mencium bibirku cepat sebelum duduk di sebelahku. Tangannya mengusap perutku dan tersenyum. “Apa kalian sudah lapar?”

“Kami sangat lapar, Mikey.”

“Dimana Michelle?”

“Dia sudah pulang. Ada janji makan siang di rumah, katanya.”

Michael mengangguk paham dan melirik kantong baju di sampingku. “Kau berbelanja?”

“Ya. Aku membutuhkan beberapa baju untuk kupakai. Semua pakaianku sudah tidak muat lagi.”

“Kenapa kau tidak memakai kartu yang kuberikan?”

Aku tersenyum dan menggeleng. “Ini tidak banyak. Aku akan memakai kartunya lain kali.”

Michael menatapku tidak suka dan bergerak menyelipkan rambut di belakang telingaku. “Aku ini suamimu, Lie. Sudah kewajibanku untuk memenuhi segala kebutuhanmu. And the babies, nantinya.”

“Iya, Michael.”

“Aku memaafkanmu kali ini. Lain kali gunakan kartuku, mengerti?”

Memangnya apa salahku? Aku bahkan belum menggunakan kartu yang dia berikan kemarin. Karena memang aku hanya membeli sedikit, aku memutuskan untuk memakai uangku sendiri. Tapi Michael menganggap semua itu kesalahan? Aneh sekali suamiku ini.

“Tidak memakai uangku adalah kesalahan. Tidak ada yang aneh, honey.”

Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya. Apa pikiranku bisa dibaca semudah itu? Sepertinya papa saja sulit untuk menebak apa yang kupikirkan. Tapi Michael, dia tahu dengan semudah itu. Menakjubkan.

“Minumannya sudah datang. Kau ingin makan apa?”

Aku memperhatikan pelayan tadi yang meletakkan minuman dimeja kami. Michael membuka lagi buku menu. Kuletakkan ponsel dimeja dan menyeruput lemon juiceku.

“Hon?”

“Apa yang enak menurutmu?”

“Hmm, aku akan memesan salad sayur dan steak bebek. Kau ingin makan apa?”

Kutopang dagu dengan tangan dan memperhatikan Michael. Dia mengangkat alisnya menunggu jawabanku. Aku tersenyum dan menatapnya menggoda. “Aku ingin memakanmu saja.”

Telinga Michael dengan cepat memerah. Jangan bilang dia malu karena ucapanku. Biasanya dia yang membuatku malu, jadi tidak mungkin dia yang malu sekarang.

“Di sini banyak orang, hon. Kau membuatku memerah.” Michael melirik pelayan yang masih berdiri di samping kami dengan sedikit gugup.

Aku menyeringai puas dan menarik buku menu dari tangannya. Setelah memilih-milih, tidak banyak yang membuatku merasa tertarik. “Sup krim jamur dan lasagna saja. Aku akan meminta makananmu kalau masih kurang nanti.”

“Okay. Kami pesan salad sayur, steak bebek, sup krim jamur dan lasagna. Untuk desertnya dua tiramisu. Terima kasih.”

“Silahkan ditunggu pesanannya.”

Pelayan itu pergi dengan membawa buku menu membuatku kembali mengalihkan tatapanku pada Michael. Dia membaca sesuatu diponselnya sebelum meletakkannya di meja. “Ada apa?”

“Aaron bilang aku tidak akan ada rapat penting lagi. Aku bisa membawa pekerjaanku pulang. Kau ingin jalan-jalan bersamaku?”

“With my pleasure, honey.”

Michael tersenyum dan melepas jasnya. Dia menggulung lengan kemejanya dan melepas dasinya. “Di sini panas sekali.”

Awan mendung diatas kami dan Michael bilang dia kepanasan? Jelas sekali dia berbohong. Aku bahkan bisa merasakan angin dingin yang mengenai kakiku. “Jangan bilang kau masih terpengaruh ucapanku tadi?”

Michael menyeringai dan kembali mencium bibirku dengan cepat. “You know me so well.”

Aku berdecak malas dan menyeruput lemon juiceku. Michael meminum americanonya dan mengusap-usap perutku. “Masih 4 bulan, kan? Kenapa perutmu sudah besar sekali?”

“Mereka ada dua, Mikey.”

“Aku tahu. Aku hanya penasaran bagaimana mommy dulu saat mengandungku? Kami bertiga, kau tahu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan mommy dulu. Kuharap kau tidak akan banyak merasakan kesakitan nantinya.”

Aku menyentuh tangan Michael yang berada diperutku. “Mommy memang luar biasa. Aku berharap bisa seperti mommy nanti.”

“You’ll be a great mother, hon. Aku tidak akan meragukan itu. Apalagi dengan sifat kerasmu itu.”

Aku melotot padanya. Suasana sedang haru dan dia menghancurkannya dengan gurauannya itu. Tapi memang benar, kalau kami masih membahas ini, pasti aku akan teringat mama dan membuat emosiku tidak stabil.

“Kau melotot pun masih tetap cantik. Pasti anak-anak kita akan sangat cantik.”

“Kau pikir mereka perempuan?”

“Aku sangat yakin.”

Aku mengusap perutku dan tersenyum. “Akan sangat menyenangkan kalau mereka memang perempuan.”

“Dan mereka akan sangat cantik sepertimu. Tapi setelahnya aku ingin seorang putra, atau mungkin dua. Aku tidak akan bisa meninggalkanmu bersama dua malaikat lainnya saja. Kita membutuhkan seorang pria untuk melindungi kalian saat aku bekerja.”

“Kita bahkan belum pasti apa jenis kelamin mereka. Dan kau sudah menginginkan anak lagi?” Aku menatap Michael dengan tidak percaya. Masih lima bulan sebelum kami bisa melihat anak-anak kami. Tapi dia dengan mudahnya membicarakan anak kami selanjutnya?

“Bermimpi boleh saja, kan? Lagipula aku memintanya pada istriku, bukan orang lain.”

Aku mencubit perutnya dan kembali meminum jusku. “Kau menyebalkan.”

“Jangan merajuk.”

“Siapa?”

“Kau.”

Aku menyandarkan punggungku ke kursi dan menyilangkan tangan didepan dada. “Kau benar-benar menyebalkan.”

Michael mencium pipiku dan tersenyum. “Tapi kau tetap mencintaiku, kan?”

Aku berdecak. “Sayangnya, iya.”

Michael melotot padaku dan membuatku terkekeh pelan. “Iya, iya. Aku mencintaimu, Michael.”

“Begitu lebih baik.”

.
.
.

“Kakiku pegal sekali, Mikey.”

Aku mendudukkan pantatku ke ranjang dan membuka ikatan tali baju diperutku. Setelah makan siang tadi, aku dan Michael melanjutkan jalan-jalan. Menonton di bioskop dan memaksaku membeli beberapa pakaian lagi. Jadi akhirnya kami pulang saat hampir waktunya makan malam. Beruntung, papa sedang pergi ke Singapura, kalau tidak, papa pasti akan makan malam sendirian.

“Mandi dulu, ya? Setelah itu aku pijat kakimu.”

Aku merentangkan kedua tanganku dan menatapnya memohon. “Gendong.”

“Sebentar.”

Michael membuka bajunya dan hanya menyisakan boxer briefsnya sebelum mengangkatku ke kamar mandi. Dia mendudukkanku dipinggiran bathup sebelum mengisi air hangat. Aku membuka pakaianku dengan lambat. Aku sudah benar-benar lelah dan hanya menunggu waktu sebelum mataku tidak sanggup lagi terbuka.

“Biar aku saja.”

Aku melepaskan tanganku dari kancing baju dan membiarkan Michael membuka pakaianku. Aku sudah terlalu mengantuk untuk memikirkan rasa malu lagi. Lagipula, Michael suamiku, aku tidak perlu malu lagi dengan hal-hal seperti ini. Kami sudah saling melihat tubuh satu sama lain.

“Jangan tidur dulu. Kita mandi dengan cepat.”

Aku masuk ke dalam bathup dan Michael segera memandikan diriku sebelum dirinya mandi sendiri. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang dilakukannya pada tubuhku.

“Sudah selesai. Ayo kita tidur di kamar.”

Michael kembali mengangkat tubuhku dan membaringkanku diranjang. Tangannya bergerak mengoleskan minyak dikakiku dan memijatnya perlahan. Aku memejamkan mataku dan memeluk bantal.

“Aku mengantuk sekali.”

“Tidurlah.”

Aku kembali membuka mataku dan menatap Michael tidak suka. Kalau aku bilang mengantuk, dia harusnya melepas kakiku dan memelukku sampai kami tertidur. Dia justru melanjutkan memijat kakiku. Kenapa para pria tidak peka sama sekali?

“Kenapa?”

“Aku mengantuk.” Aku mengulanginya.

“Kalau begitu tidurlah.”

“Hentikan pijatannya. Peluk aku sekarang.”

Michael menatapku tidak percaya sebelum akhirnya tersenyum lembut. “Kau ini. Harusnya mengatakan ‘aku mengantuk, cepat peluk aku dan tidur’. Kalau hanya aku mengantuk, aku tidak tahu kalau kau ingin kupeluk.”

Aku meletakkan bantal disampingku dan memperbaiki posisiku. “Whatever, cepat peluk aku.”

Michael segera berbaring disampingku dan menarik selimut menutupi tubuh kami. Aku langsung meringkuk didalam pelukannya dan bersandar pada dadanya.

“Tidurlah.”

“Hmm.”

Aku memejamkan mataku dengan lelah dan akhirnya tertidur dalam pelukan Michael.

.
.
.

Aku tidak merasakan Michael disebelahku. Tanganku bergerak menyisiri sisi lain ranjang dan terasa dingin. Dimana Michael?

Aku membuka mataku dengan mengantuk dan melirik jam digital dinakas. Masih tengah malam, kenapa Michael tidak ada disini? Apa dia membiarkanku tidur sendirian?

“Michael?”

Aku terduduk dan memandang sekeliling kamar. Tidak ada Michael dimanapun. Aku turun dari ranjang dengan tergesa dan keluar dari kamar. Aku menatap sekeliling dengan panik. “Michael? Mike!”

Terdengar langkah kaki dari kejauhan sebelum aku melihat siluet Michael dari dapur. “Mikey!”

“What’s wrong, hon? Kenapa kau panik seperti ini?”

Aku langsung memeluk tubuhnya saat dia berada dihadapanku. Kucengkeram kausnya dan menarik napasku perlahan. Michael disini, dia tidak meninggalkanku. Tidak ada sesuatu yang terjadi padanya.

“Ada apa?”

“Kau meninggalkanku.”

Michael mengusap punggungku dan mencium kepalaku. “Aku tidak pergi kemanapun. Air dikamar habis, aku minum sebentar didapur.”

“Kau tidak menemaniku tidur.”

“Ada beberapa pekerjaan yang harus kulakukan. Aku ada dikamar dari tadi. Sekarang, kita masuk dan tidur. Aku juga akan tidur. Hmm?”

Aku melepas pelukanku dan masuk ke kamar. Michael menutup pintu sebelum menyusulku dan berbaring diranjang. Aku masuk ke dalam pelukannya dan kembali memejamkan mataku. “Lain kali jangan tinggalkan aku saat tidur.”

“Maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi.”

.
.
.

“Apa yang akan kau lakukan hari ini?”

Aku meletakkan sepiring waffle didepan Michael dan duduk di sampingnya. “Aku dirumah saja. Mungkin melukis atau bermalas-malas.”

“Kau tidak ingin ikut ke kantor?”

Aku memotong waffleku dan memakannya. “Aku akan bosan disana.”

Michael menaikkan sebelah alisnya. “Kemarin kau memaksa ikut. Sekarang sudah berubah lagi?”

Aku mengangkat bahuku dengan acuh dan melanjutkan makanku. Hormon kehamilan ini memang membuat moodku berubah-ubah. Kemarin aku ingin dekat-dekat dengan Michael. Dan hari ini terasa biasa saja.

“Ada apa? Suasana hatimu berubah lagi?”

“Begitulah. Yang pasti aku sedang tidak ingin pergi keluar.”

Michael mengusap kepalaku dan tersenyum lembut. “Okay, then. Yang penting, apapun yang kau lakukan di rumah, jangan sampai kelelahan, jangan mengangkat barang berat atau sejenisnya. Minta saja Jonathan yang melakukannya. Okay?”

“Hmm, aku mengerti.”

“Kalau begitu aku berangkat dulu, ya? Jangan membuatku mengkhawatirkanmu.”

“Iya, Michael.”

Michael memakai jasnya dan bangkit berdiri. Aku mendorong piring kosongku dan ikut mengantarnya ke pintu depan. Aku merapikan letak dasinya dan mengancingkan jasnya. “Hati-hati di jalan. Hubungi aku kalau sudah sampai.”

Michael menarik pinggangku mendekat dan mencium bibirku lembut. Tangan kirinya naik ke tengkukku dan memperdalam ciuman kami. Kalau kita tidak berhenti, Michael tidak akan berangkat bekerja.

Aku mendorong dadanya pelan dan terengah. Aku mengusap rahangnya dan tersenyum. “Kita lanjutkan nanti malam saja, ya? Kau akan terlambat.”

Michael membalas senyumanku sebelum mencium keningku. “Ingat pesanku tadi. Jangan kelelahan.”

“Iya, honey. Pergilah.”

“Papa pergi dulu, ya. Jaga mama baik-baik. Kalau sampai mama tidak istirahat, kalian tendang saja dari dalam, okay? Papa loves you, babies.”

Aku memukul lengannya pelan. “Apa-apaan ucapanmu itu?”

“Mereka harus menjagamu, kan? Aku berangkat ya? Love you, hon.”

Aku menghembuskan napas panjang dan mengangguk. “Aku mencintaimu, Michael.”

“Sampai nanti sore.”

Aku melambaikan tanganku saat range rover Michael masuk ke jalan. Setelah menghilang dikejauhan, aku masuk ke dalam dan membereskan sisa sarapan kami. Mungkin hari ini aku bisa mendekor kamar anak-anak disebelah kamarku. Sudah lama sekali kamar itu kosong. Kupikir lebih baik membuat kamar mereka disebelah kamarku. Aku akan meminta Michael membuat pintu penyambungnya.

Setelah membawa rak penuh cat dan kuas, aku masuk ke dalam kamar yang tidak terlalu besar. Dindingnya berwarna abu-abu. Aku tidak perlu mengganti warna dasarnya. Seperti ini saja sudah cukup.

Kemarin aku sudah meminta Jonathan mengosongkan kamar ini. Jadi sekarang aku bisa melukis dindingnya tanpa bingung menggeser perabotannya. Membayangkan akan melukis kamar anak-anakku saja aku sudah merasa bahagia.

“Ayo kita mulai, babies.”

Kudorong rak khususku ke dekat dinding. Aku berencana melukis sebuah pohon penuh bunga dan dua sangkar burung yang menggantung dibatangnya. Karena aku belum mengetahui jenis kelamin mereka, aku memutuskan melukis sesuatu yang netral.

Kusiapkan beberapa kuas cat dan tempat untuk mencampur cat. Tanganku bergerak dengan lincah diatas dinding kosong itu. Dengan berpijak pada kursi tinggi, aku bisa melukis dari ujung kiri. Batang pohon kokoh dengan untaian bunganya. Kulukis sedetail mungkin, tidak melewatkan kesalahan sekecil apapun.

“Baru pohonnya saja sudah terlihat mengagumkan. Aku tidak sabar melukis bagian lainnya.”

Aku berkacak pinggang dan memandang lukisanku dengan kagum. Ini pertama kalinya aku melukis dinding, dan kurasa hasilnya tidak mengecewakan.

“Ash.”

Tanganku segera menyentuh perutku saat tendangan pertama mereka akhirnya datang. Aku segera mendudukkan diriku ke kursi dan mengusap-usap perutku. Sakit rasanya, tapi aku terlalu takjub untuk merasakannya. Ini adalah tendangan pertama mereka.

“Tendang lagi, sayang.”

Sekarang giliran perut kiriku yang ditendang. Apa mungkin mereka berdua melakukannya secara bergantian? Aku tersenyum dengan haru dan mengeluarkan ponselku dari saku baju. Sedikit terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan waktu makan siang yang kulewatkan. Aku terlalu fokus pada lukisanku sampai lupa untuk makan siang.

Apa mungkin mereka menendangku untuk membuatku tersadar?

-Hallo, hon? Kau sudah makan siang?-

“Mereka menendang untuk pertama kalinya, Michael.”

-Apa? Mereka menendang? Benarkah?-

Aku tersenyum semakin lebar saat membayangkan senyuman dalam suaranya. Dia pasti sedang tersenyum lebar dan bangkit berdiri. Aku bisa membayangkan hanya dengan mendengar suaranya.

“Kau bahagia?”

-Kuharap aku ada disana saat mereka menendang. Apa mereka mendengarkan permintaanku tadi pagi?-

Aku bersandar dan meluruskan kakiku. “I think so. Aku sedang mengagumi lukisanku saat mereka mulai menendang. Sepertinya mereka benar-benar menyuruhku untuk beristirahat.”

-Mereka luar biasa. Sekarang, kau harus istirahat. Kau pasti lelah, kan?-

Aku menguap saat rasa kantuk menyerbuku. “Hmm. Dan aku mengantuk.”

-Makan sesuatu sebelum tidur. Aku akan berada di rumah saat kau bangun nanti. Okay?-

“Okay, aku mengerti. Sampai nanti, hubby.”

-Love you, Lie. Istirahatlah.-

.
.
.

Aku membuka mataku perlahan saat merasakan ciuman lembut diatas perutku. Michael berada disana, dengan pakaian kerja yang sudah tidak bisa dikatakan rapi lagi. Dia sudah pulang ternyata.

“Michael.”

Dia mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Aku membangunkanmu, ya? Maaf.”

Aku menggeleng dan duduk. “It’s okay. Kau pasti lelah. Ingin mandi?”

“Kita mandi bersama. Hmm?”

Aku berdecak mendengar tingkahnya. Kenapa dia selalu ingin mandi denganku? Biasanya juga dia mandi sendiri. Bahkan kalau kami memang mandi bersama, aku hanya diam karena dia selalu memandikanku dan akan menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk itu, karena sudah pasti tidak hanya mandi yang kami lakukan.

“Baiklah. Cepat isi airnya dulu. Aku akan menyusul.”

Michael mencium bibirku cepat sebelum kabur ke kamar mandi. Dia ini sungguh kekanakan. Aku tidak percaya kalau sudah mengenalnya lebih dari 13 tahun. Bukan waktu yang singkat, kan?

“Hurry up, hon!”

Aku turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi. Kututup pintu dibelakangku dan mulai melepas pakaianku satu persatu. Michael sudah berendam dengan nyaman dibathup. Aku menyusul dan bersandar didadanya. Tangannya langsung bergerak mengusap perutku.

“Kau tahu kenapa aku mencium perutmu tadi?”

“Tidak. Kau biasanya juga mencium perutku.”

“Aku bangga pada mereka karena sudah bisa menendang. Itu berarti mereka berkembang dengan baik, kan?”

“Hmm.”

“Sayangnya aku tidak dirumah saat mereka mulai menendang.”

Aku menggenggam tangan Michael dan meletakkannya diatas perutku. Dan seperti yang kuinginkan, mereka kembali menendang. Aku bisa merasakan Michael menegang sebelum rileks. “Mereka tahu kau ingin merasakannya.”

“It’s amazing.”

“It is.”

“Terima kasih, Athalie. Karena sudah membuatku menjadi pria paling bahagia. Dan membuatku merasakan semua ini.”

Aku tersenyum lembut dan memutar tubuhku menghadapnya. “Aku mencintaimu, Michael.”

Kutarik tengkuknya mendekat dan membungkamnya dalam ciuman lembut yang selalu kami lakukan setiap harinya. Entah hari ini, besok ataupun lusa, aku selalu tahu, dia adalah pria terbaik dalam hidupku setelah papa.

Just Hug Me, please! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang