1

1.5K 130 44
                                    

Waktunya tidak terbuang sia-sia, Park Seongjin padahal hanya berniat mengikat tali sepatunya yang lepas, namun hujan yang turun tanpa aba-aba membuatnya harus terjebak di sana.

Pada dinding pembatas antara dunia luar dan bangunan sempit berstruktur kedai kecil.

Setidaknya Seongjin merasa tidak terlalu basah di tepi sana selagi duduk diam menunggu debit air mereda, walaupun dingin menusuk tetap ia rasakan. Juga menyesal di saat yang sama, menyesal tidak menerima tawaran rekan tugasnya yang mengajak pulang bersama sore tadi.

Maka Park Seongjin berakhir sendirian.

Awalnya, memang, sendirian.
Tapi sepertinya tidak untuk beberapa menit ke depan.

Ketika satu papan pintu kedai mengeluarkan bunyi gemerincingnya dan terbuka, Seongjin memperhatikan dengan lamat. Dilihatnya humani lain keluar dari dalam dengan tiga kotak karton di tangannya, ia sengaja meletakkan kotak tersebut di sudut kosong yang ada lantas ia berbalik, dan barulah ia menyadari keberadaan Seongjin. Pemuda yang masih memperhatikan kegiatannya.

Merasa diperhatikan dengan heran, Seongjin mengusap tengkuknya kikuk.

"Ah, maaf, aku hanya menunggu hujan reda. Aku akan segera pergi setelahnya."

Park Seongjin memberanikan diri meneliti reaksi yang diberikan oleh gadis di ujung jarak, yang masih memperhatikannya diam.

Oh, Seongjin merasa bersalah sekarang.

"Baiklah, maaf. Aku pergi--"

"Tunggu!" Langkahnya kecil, menghampiri, menahan langkah lain yang telah bersiap berangkat. "Apa ... kita pernah bertemu, sebelumnya?"

Pikiran Seongjin mendadak kosong, dibaliknya kalimat tanya itu di dalam otaknya secara konstan berulang.

Pernah bertemu? Dengannya?

"Tidak, aku rasa tidak."

"Aku seperti pernah melihatmu." Sang gadis masih tidak yakin dengan jawaban yang ia dapatkan. "Kalau begitu, namamu?"

Baru saja Seongjin sadari, ternyata penciumannya sejak tadi mengenali aroma mawar di sekitarnya. Dan ketika gadis itu kian mendekat, Seongjin tahu semua berasal dari mana.

"Nama?"

"Maksudku, siapa namamu?"

Park Seongjin terkekeh, menertawakan dirinya sendiri dalam diam, bodoh sekali.

"Namaku, Park Seongjin."

"Seongjin? Park Seongjin?" Sang gadis tampak berpikir keras beberapa detik, alih-alih melanjutkan, ia menggeleng, membuyarkan bayangnya sendiri. "Sepertinya memang tidak."

Park Seongjin menyadari lengkungan bibirnya tertarik naik melihat gadis lugu di hadapannya, sangat lucu.

Entahlah, Seongjin jadi merasa lelahnya telah menghambur pergi ke mana setelah kedua netranya mendapati sosok kecil itu sejak pertama kali. Dan Seongjin tetap bertahan memperhatikannya tanpa terlewat.

"Di sini dingin, omong-omong." Ucapan sang gadis memecah udara, setelah merasakan dingin menggelitik kedua lengan tangan yang tidak tertutup serat benang. "Kamu mau masuk? Setidaknya di dalam lebih hangat."

Park Seongjin tidak pernah menyesal mengikat tali sepatunya di sini.

Park Seongjin tidak pernah menyesal menunggu hujan mereda meski ia lelah.

Park Seongjin tidak pernah menyesal selalu memperhatikan kegiatan humani lain di sekitarnya.

Karena itu semua, seperti satu ikatan yang mempertemukannya dengan si gadis beraroma mawar, yang berada satu langkah di depannya, menuntunnya masuk ke dalam kedai kecil tersebut. Dan rasanya, persis seperti apa yang dikatakannya tadi.

Setidaknya di dalam lebih hangat.

*

"Biar aku ceritakan.
Sebelum pulang, aku bertemu dengan seseorang."

"Benarkah? Siapa?"

"Seseorang, dan dia sangat manis."

"Kau kenal?"

"Tidak."

"Pernah bertemu?"

"Tidak."

"Kau suka?"

"Tidak. Atau ... mungkin?"

"Apa yang membuatmu menyukainya?"

"Tidak tahu. Aku hanya tahu, aroma parfumnya seperti mawar."

"Menyenangkan, ya, rasanya dapat mengenali aroma seseorang yang kau suka."

"Tetapi, mataku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Apa itu menyenangkan?"

"Itu lebih baik, jangan sepertiku yang tidak bisa mengenali aroma apa pun yang ia punya."

"Hidup itu tidak adil, kau percaya?"

"Hidup memang tidak adil. Tetapi, Tuhan selalu punya rencana untuk keadilan. Ingat itu, Park Seongjin."

"Apakah kita, salah satu yang akan mendapat keadilan itu?"

"Bisa saja."

*

RAINDROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang