7

250 54 36
                                    

Park Seongjin membeku.

Gadis di hadapannya, sama.

Hanya Park Jaehyung seorang, yang masih dapat melampirkan selembar senyum setelah memperkenalkan gadis berambut sebahu miliknya kepada Park Seongjin.

Ternyata, gadis itu ... dia?

Belum sempat Seongjin berpikir lebih jauh, gadis yang ada di hadapan lantas berseru. Ia mulai mengerti dengan keadaan yang ada, dan apa yang sebenarnya terjadi di sini.

"Jadi kalian, kembar?" Sebilah jemari mungilnya menitik Park Jaehyung dan Park Seongjin bergantian, ditemukannya kembali beberapa persamaan di lekuk wajah keduanya, "kalian ternyata mirip! Sangat mirip!"

Jaehyung tidak bisa menahan senyumnya, melihat tingkah lucu sang gadis setiap kali ia berseru memperhatikan keduanya. "Iya, aku dan Park Seongjin, kembar."

Sang gadis masih terkejut, sebetulnya, namun tidak urung sebelah tangannya menuding wajah Jaehyung. "Kenapa kamu tidak pernah bilang?"

"Karena suatu saat kamu juga akan tahu."

Sang gadis berdecak, menggeser atensinya kembali pada humani lain yang hanya terlihat seperti seorang pengamat saat ini. "Park Seongjin, kamu sama."

"Maafkan aku, bukankah kita baru saja saling mengenal? Aku rasa, belum saatnya kamu tahu akan itu."

Sisi lain dirinya bergemuruh. Bukan, bukan itu yang sebenarnya ingin Seongjin berikan sebagai jawaban. Namun hatinya kini seperti mati rasa, tidak lagi mengenali mana senang, mana bahagia, bingung, dan terkejut, rasanya tidak pernah menjadi setimpa ini.

Andai Seongjin tidak menghabiskan waktunya untuk menunggu gadis itu, mungkin ia tidak akan ada di sini. Andai Seongjin tidak terus bercerita pada humani lain tentang gadis itu, mungkin ia tidak akan ada di sini.

Semua jika andai, yang tidak bisa kembali barang sejengkal. Semua hanya andai, yang tidak pernah terbayangkan oleh Park Seongjin sebelumnya.

Apa karena kami lahir bersama, kami harus selalu mencintai hal yang sama, Tuhan?

Seongjin berbisik, melayangkan semua tanya dan keluhnya, sementara Jaehyung sendiri menyadari air wajah Seongjin, saat itu. Ia tampak tidak lagi menyimpulkan sebuah senyuman.

"Kau baik-baik saja?"

"Memangnya aku kenapa?"

"Apa penglihatanmu--"

"Tidak, tidak apa-apa. Aku masih melihat semuanya dengan jelas."

Park Seongjin kembali mencoba tersenyum sedikit, demi meyakinkan saudara sedarahnya bahwa ia baik-baik saja.

Saudara sedarah.

"Baiklah, kalau begitu," Jaehyung menggeser atensinya pada bentang selasar kering di sekitar yang sepi, tidak urung untuk meraih telapak kurus milik gadis di samping, mendekatkannya kepada jangkauan. "Omong-omong, aku harus mengantarnya pulang. Ayolah, kau juga pulang bersama kami."

"Benar, Park Seongjin. Aku masih ingin melihat persamaan kalian berdua."

Seongjin hanya membalasnya lagi-lagi dengan tarikan senyum ketika gadis di hadapan terkikik tanpa suara.

Masih tetap terlihat cantik, pikir Seongjin.

"Kalian ... pulanglah. Aku masih harus pergi."

Setelah melewati perdebatan kecil, juga paksaan ajakan pulang untuk Seongjin, akhirnya Jaehyung menyerah dan membiarkan adik sembilan menitnya melakukan apa yang ia inginkan untuk hari ini.

Tidak lupa, sebelum benar-benar pergi, Jaehyung kembali berpesan pada Seongjin tanpa sepasang mata lain mengetahuinya.

"Berjanjilah padaku, jaga dirimu. Dan, kau harus cepat pulang, bait kita telah selesai, kau boleh melihatnya."

Lalu Seongjin merasakan tepuk pelan pada puncak kepalanya, mendapatkan salam sebelum langkah kaki panjang milik Jaehyung menjauh teratur.

Dan hilang.

Park Seongjin bergeming di tempat, seakan tidak lagi memiliki tenaga barang hanya bertahan untuk tegap, lututnya tertekuk perlahan, membawa raga sempurna terduduk bersatu dengan selasar yang berdebu.

Matanya terpejam, membiarkan rungu mendengar jerit angin yang teratur membawa kabar tentang si air dari langit yang sebentar lagi akan menyapa. Tetapi sia-sia, Seongjin masih bergeming.

Tertunduk, rasanya malu walau hanya sekadar menengadah pada kumpulan awan kelabu, apalagi jika harus mengadu keluhnya di sana. Maka Seongjin memutuskan untuk tetap terdiam.

Hingga pandangan memburam, untuk yang kesekian kali. Mengerti dua sampai tiga gulir air mata mengaliri lekuk wajah, mendukung sifat konstan yang kembali menyerang kedua penglihatannya.

Park Seongjin menangis, ditelan diam. Semakin kalah telak dengan debit air yang mulai berjatuhan sukarela, membasahi area dengan sebagaimana mestinya, menemani dan mendukung sesaknya isakan yang terdengar kecil namun menyambut pilu.

Saat itu, untuk pertama kalinya, Park Seongjin menyerah pada hujan. Saat itu, untuk pertama kalinya, Park Seongjin ingin hujan itu mengasihani, setidaknya, tidak membuat diri makin terjatuh dalam afeksi yang dibencinya.

*

"Biar aku ceritakan."

"Soal?"

"Gadismu. Si surai sebahu."

"Dia? Kenapa?"

"Kau tidak tahu?"

"Tentang?"

"Dia ... beraroma mawar."

*

RAINDROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang