3

555 82 12
                                    

Kaki panjang tegap menunggu, retina berusaha keras untuk fokus, sesekali diamnya menghitung sudah berapa lama ia berada di sana demi mengulang kejadian yang sama.

Sudah hampir tiga puluh menit lamanya Park Seongjin memperhatikan sekitar, namun tanda-tanda kemunculan gadis itu belum juga tampak. Membuat Seongjin akhirnya memutuskan berjalan kembali mengitari tepi kedai, dan lagi, Seongjin tidak menyesal bisa mengenal tempat ini.

Ditemuinya sebuah sudut dinding yang kotor, tetapi sama sekali tidak terlihat kotor karena berbagai macam cekungan pot plastik di sana hampir seluruhnya terlihat diisi serumpun tanaman yang indah dan rapi.

Salah satu yang dikenali Seongjin adalah tumpukan kelopak merah muda yang sudah bermekaran dengan penuh, megah, menguarkan aroma lembut dan menjadi dominan di area sempit itu.

Mawar, Seongjin mendekat, memastikan apa yang ia lihat adalah betulan setangkai mawar merah muda.

"Menepilah, nanti kamu akan basah."

Park Seongjin menegakkan tubuhnya, suara gemetar tadi menjadi distraksi pertamanya, yang juga menyadarkan dirinya sendiri bahwa rintik hujan kembali datang.

"Apakah kamu menyukai tamannya? Sampai tidak sadar jika hujan akan turun?"

Park Seongjin hanya tersenyum ragu, malu-malu ia berjalan menepi. Membuatnya dapat mendengar jelas kekehan kecil dan garis-garis keriput di sekitar matanya yang mendampingi.

Ia tidak tahu harus bagaimana menyapa wanita paruh baya di hadapannya kini.

"Lagipula, apa yang sedang kamu lakukan di sana?"

"Aku hanya melihat-lihat, aku menyukai mawar merah muda itu."

Netra Seongjin selanjutnya menangkap senyum mengembang di lipatan wajah itu, terlihat tulus menyenangkan.

"Putriku yang merawatnya hingga sebesar itu." Alih-alih berbicara mengenai kelopak bermekaran dan berguguran di sana, wanita tua itu merajut atensinya pada Seongjin. "Kamu mengenal putriku?"

Park Seongjin menemukan sebuah kesimpulan dari kalimat sederhana tadi. Mau tidak mau membuatnya kembali mengulas senyum terbaik yang ia punya.

"Aku ... baru saja mengenalnya, kemarin. Dan putrimu sangat baik hati."

"Terima kasih, aku senang dia memiliki teman seperti kamu."

Sisi lain, bagian diri Seongjin bergemuruh, perasaan senang dan perasaan-perasaan lain yang belum sempat ia sebutkan satu-persatu rasanya telah mendominasi.

Satu kata yang tidak bisa Seongjin singkirkan dari pikirannya saat ini, terus berputar berulang di dalam diri.

Teman?

"Jadi, kamu sedang menunggunya, ya?"

Park Seongjin berusaha sebisa mungkin, menutupi air wajahnya kini yang sangat ia yakin, ada seraut rasa terkejut di sana.

Menunggunya?

"Tunggulah di dalam, di luar sangat dingin."
Kalimat terakhir yang mengawali langkah renta di hadapan Seongjin untuk pergi, menghilang di balik sekat kaca pembatas dunia luar dan kedai sederhana itu.

Lantas Seongjin menghela napasnya, mempertahankan lengkungan senyum di wajah.

Terlebih. Ketika netra telah menggapai jarak di ujung pandang, membingkai sosok mungil yang ditunggunya dari kejauhan.

Menunduk, sebelah tangannya menutupi dahi menuju wajah, menghindari rintik hujan yang belum berhenti agar tidak menyentuh wajah tirusnya, satu tangan lainnya mengapit tas kain sederhana yang tampak kusam.

Park Seongjin memperhatikan dengan baik, ulasan senyum telah mengambil alih kewarasan Seongjin saat itu juga.

Bahkan ketika pijak langkahnya telah berhenti di hadapan.

"Oh, Park Seongjin? Kamu kemari?" Katanya, tanpa mengusap bekas basah rintik hujan pada bahu ataupun kepalanya.

"Aku tidak tahu ... aku menyukai tempat ini."

Aroma yang Seongjin sukai kembali menyerbak, bersamaan dengan tubuh kecil di hadapan kembali bergerak. 

Mengambil jangkauan kosong di samping Seongjin, mensejajarkan tegap kakinya serta menatap bentang langit sedikit gelap, yang perlahan, tidak lagi menurunkan rintik dalam bentuk apa pun.

Sepenuhnya menghilang.

"Hujannya hanya bermain-main, bukan begitu?" Seongjin reflek memulai konversasi, saat dilihatnya telapak tangan putih itu terulur menadah, memastikan hujan benar-benar gagal turun untuk hari ini.

"Kamu benar. Hanya petrikor yang ada."

Park Seongjin menyetujui jawaban singkat tersebut. Karena selain aroma sang gadis yang ia sukai, aroma tanah kering terbasuh rintik hujan secara acak adalah apa yang juga berputar mengenali penciumannya.

Petrichor. Nama yang Park Seongjin tahu.

"Jadi, apa yang kamu lakukan di sini, Seongjin?"

Jawaban tidak langsung terdengar saat itu juga, Seongjin sendiri masih berpikir, kenapa dirinya bisa berada di sini?

"Aku juga tidak tahu. Kebetulan aku lewat, dan aku melihat tamanmu di sana."

"Kamu menyukainya?"

"Iya, rasanya menyenangkan melihatnya."

Senyum manis mengembang, geraknya membawa lengan Seongjin bergerak menjauh pergi dari sana.

Sang gadis mengajak langkah Park Seongjin berhenti kembali di depan sudut taman itu, sementara Seongjin sendiri, masih belum bisa berkutik mengenai apa yang baru saja terjadi padanya.

Tentang jemari sang gadis yang masih melingkar di pergelangan tangannya kini.

"Anggap kita berteman, maka kamu bisa merawat taman ini juga, jika kamu mau."

Tangan lainnya terulur, mengajak, membuat netra Seongjin terpaku di sana selama sekian sekon.

Jadi awalnya ... teman?

*

"Biar aku ceritakan.
Sudah lama aku tidak menghirup petrikor,
namun hari ini aku kembali bertemu dengannya."

"Bukannya kau tidak suka aroma petrikor?"

"Itu dulu. Entahlah, rasanya berbeda.
Seperti menggelitik pangkal hidungku."

"Kau hanya tahu aroma petrikor, saat itu?"

"Tidak juga ... aku bertemu dengan yang lainnya."

"Gadis itu? Kau bertemu dengannya lagi?"

"Tepat sekali."

"Apa yang terjadi selanjutnya?"

"Aku dan dia, sekarang berteman."

"Secepat itu?"

"Seperti yang kau dengar."

"Terdengar cukup bagus.
Jadi, jangan sia-siakan itu, Park Seongjin."

*

RAINDROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang