5

333 57 10
                                    

Satu detik,

Dua detik,

Tiga detik,

Empat detik,

Lima detik.

Sudah lima belas detik lamanya bunyi gulir hujan terdengar mengetuk sekat kaca dengan teratur, mencari perhatian seisi ruangan dalam. Dan, tidak sia-sia, usaha si hujan membuahkan hasil.

Seorang gadis bersurai sebahu memandang bekas basah pada dataran sekat di sampingnya, menghitung sudah berapa lama kiranya hujan mengguyur area. Juga membuatnya menghitung, sudah berapa lama kiranya ia menunggu diam di sana. Terduduk tanpa suara, tanpa teman, tanpa pergerakan yang berarti.

Kesetiaannya sudah di puncak ubun-ubun, janjinya pada lelaki tinggi kemarin untuk menunggunya di sini bahkan masih ia genggam rapat-rapat.

Tidak peduli dengan malam menjelang, bangku di hadapannya masih belum terisi dengan seharusnya, meja di sekitarnya sudah tidak lagi menampung sosok humani manapun, gelas kacanya hampir mengering dengan bekas setelah isinya berhasil tandas sejak sepuluh menit yang lalu.

Lambat laun jemarinya bertaut gelisah, terlebih ketika keseluruhan penerangan di dalam ruang padam, tidak menyisakan seberkas cahaya sedikitpun, di manapun.
Sempurna dirinya tenggelam dalam gelap. Sementara dunia luar masih menadah derasnya hujan menyapa, menambah kesan muram dan sepi yang melibati sisi diri sang gadis.

Dirinya bukanlah seorang yang handal untuk menelisik dalam kegelapan, namun itu tidak menghalangi netranya menangkap sesosok raga di ujung jarak pada menit berikutnya. Ia sangat mengenali postur itu, sangat mengenali derap langkah itu, sangat ingin ia berlari ke dalam pelukannya dan menggamit kemejanya dengan erat, seandainya ia bisa.

Yang sayangnya, ia tidak sanggup.

Terlampau kalah telak dengan langkah lebar yang makin nyata terlihat, hingga pada akhirnya, langkah terhenti di hadapan, lekuk wajah kian tampak, memperlihatkan segaris senyum, sebelum akhirnya sudut lutut tertekuk mencium lantai, sebilah tangan dinginnya meraih sebilah tangan sang gadis, lantas menengadah menunjukkan siluet wajahnya di tengah samaran gelap.

"Jika kamu bersedia, aku akan selalu menjagamu, selalu bersamamu. Menerima semua yang kamu miliki, menerima semua yang tidak kamu miliki. Membuat kamu, dan aku, menjadi satu dunia yang sama." Raga bergerak maju, wajah mendekati punggung tangan dalam genggaman tanpa jarak, ditinggalkannya seuntai kecupan samar nan hangat di sana. "Maukah kamu?"

Reaksi retorik tubuh terasa bergetar, beku terasa mencair menghangatkan seisi dinding pertahanan yang dirasa tidak lagi kokoh. Tidak sanggup lagi untuk berkalimat, maka sang gadis merasa cukup untuk sekadar mengangguk, lebih dari sekadar cukup untuk membuat humani di hadapannya mengerti akan sarat sebuah jawaban.

Iya. Aku mau.

Tertarik raga mungil mendekat, terdekap hangat dan erat dalam pelukan membisu. Senyum tidak berhenti ia lepaskan, bahkan ketika ia membuat sedikit jarak kosong, mencari wajah lainnya dan memutuskan untuk menjatuhkan ciuman pertamanya pada sentuhan manis di hadapan, tanpa memohon lebih.

Berteriak pada dunia bahwa sang gadis dalam perjuangannya kini telah menjadi hak miliknya yang utuh.

"Aku harus bilang apa, selain aku mencintai kamu?"

"Apa pun, yang kamu inginkan."

"Kalau begitu ... terima kasih karena kamu telah lahir di dunia ini, terima kasih karena kamu telah menyempurnakan goresan takdir dalam hidupku. Dan ... jangan pernah berhenti mencintai Park Jaehyung-mu ini, ya?"

Realita mengabaikan suara hujan dan intonasi acaknya, menyingsing gelap berbaur dengan embusan napas teratur di antara kalimat-kalimat yang tersusun hangat dan manis dalam satu malam yang terasa begitu singkat.

*

"Biar aku ceritakan.
Gadis bersurai sebahu itu, seutuhnya telah menjadi milikku."

"Kau tidak bercanda, kan?"

"Ayolah, kau tidak mau percaya padaku untuk kali ini saja?"

"Sulit mempercayainya."

"Dasar kau. Kalau begitu, kau harus
Bertemu dengannya, suatu hari nanti."

"Baik, jika itu yang kau mau--"

"Tapi. Tunggu. Ada satu syarat."

"Apa?"

"Kau tidak boleh menaruh perasaan padanya.
Tidak boleh. Sedikitpun."

"Tentu, lagipula aku tidak mau. Kau pikir aku akan sanggup melakukannya?"

"Oh, ya. Aku lupa, kau adalah seseorang yang paling mengerti diriku."

"Jadi sekarang kau mengakui itu?"

"Hmm, terpaksa."

"Park Jaehyung, sialan ...."

*

RAINDROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang