8

324 60 33
                                    

Park Jaehyung mengerti isyarat itu.

Dari seberang jalan, gadis bersurai sebahu kesayangannya memberi isyarat agar Jaehyung menunggu di tempat. Jaehyung tidak mau, sejujurnya, tetapi sang gadis memaksa.

Maka Jaehyung betulan menunggu sang gadis menyelesaikan urusan dengan temannya, di ujung selasar, seperti biasa.

Kekhawatiran terasa melibati diri ketika rintik mulai berjatuhan seperti kemarin, ia percaya pada hujan, ia percaya pada apa yang akan di hadapinya setiap hujan turun, jadi, tidak seharusnya Jaehyung merasa cemas, bukan?

Park Jaehyung tidak lagi menghitung jarak antara rintik yang lambat laun menjadi deras tidak terkira, Jaehyung lebih tertarik mengamati gerak gadisnya di seberang, gadisnya masih kering utuh walaupun satu-persatu teman yang menemaninya telah pergi dengan keadaan memaksa basah.

Sekali lagi, Jaehyung hendak melangkah menerobos hujaman air yang menutupi pandangannya, namun humani manis di ujung jarak tetap mengisyaratkan lelaki tinggi itu untuk tetap menunggu.

Aku harap kamu bisa menjaga diri.

Selalu itu yang Jaehyung bisikkan kepada dirinya sendiri, disertai doa untuk dirinya dan sosok manis miliknya.

Tidak butuh waktu lama setelah itu, senyumnya terangkat naik memecah kaku yang tidak tahu sejak kapan mendominasi air wajah, netra menangkap jelas pergerakan sang gadis yang tengah bersiap menerobos hujan dari tempatnya.

Oh, Jaehyung juga berusaha menyamakan langkahnya setelah ia berhasil membuka payung miliknya, maka ia melangkah lebih menepi agar dapat membawa gadisnya ke dalam pelukan.

Segera. Setelah ia sampai.

Tetapi, tidak pernah Jaehyung bayangkan, apalagi harus ia telan mentah-mentah bingkaian gerak yang terpaksa masuk ke dalam netra.

Senyum bukan lagi hal yang menarik, lantas air mata sebagai gantinya telah berkumpul tanpa wadah, lekuk wajah pucat kini menjadi satu-satunya penanggung jawab yang ada. Retorik sempurna bergetar, seakan tidak lagi memiliki tenaga untuk mempertahankan kewarasan jenis apa pun, jemarinya mati rasa, membiarkan utuh dirinya terhunjam basah setelah mengabaikan genggaman yang melepaskan satu-satunya pelindung yang ia punya.

Membiarkan payungnya terhempas, terhempas seperti tubuh mungil di ujung jarak.

Dan gadisnya, tidak pernah lagi sampai.

Warna pekat tidak malu-malu mencecar di antara warna dingin dan kelam, merah telah berani bersanding dengan genangan bersih dari langit kelabu membentang.

Disaksikan jutaan rintik yang belum bersedia berhenti, pemandangan tragis dan tidak adil di area itu seakan menyiksa setiap humani yang ada.

Park Jaehyung, termasuk.

Ia tahu langkahnya tidak lagi dapat bergerak, ia tahu dirinya sempurna hancur seketika, ia tahu dirinya tidak lagi bisa berbuat apa-apa di balik jerit tangis yang pecah mendera, memilukan pendengaran setiap rungu yang memperhatikan.

Saat itu, untuk pertama kalinya, Park Jaehyung menyerah pada hujan. Saat itu, untuk pertama kalinya, Park Jaehyung ingin menghentikan hujan itu, setidaknya, berhenti menghakimi dirinya yang telah gagal dalam menjaga apa yang seharusnya ia jaga.

Saat senyum kamu menghilang,
Langit menjadi gelap kelabu.
Aku tahu itu tandanya, esok hari, kamu sudah pergi.

*

"Biar aku ceritakan--"

"Hei ... jangan menangis."

"Tuhan telah memanggil gadisku,
Bukankah itu terdengar tidak adil?"

"Aku juga."

"Maksudmu?"

"Tuhan telah memanggil gadis
beraroma mawar itu."

"Ta--tapi, bagaimana, bisa?"

"Dia terseret baja sialan, kemarin, saat hujan."

"Kenapa ...."

"Sama seperti gadismu, kan?
Lantas gadisku juga."

"Jadi ... yang kau bilang--"

"Ya ... gadis bersurai sebahumu.
Adalah gadis beraroma mawarku juga."

"Kita, menginginkan gadis yang sama?"

"Tanpa terkecuali.
Bahkan, sekarang aku sadar, Tuhan memang benar-benar adil."

"Memberikan gadis yang sama, rasa yang sama, dan sakit dengan cara yang sama? Terdengar mustahil."

"Tetapi itu kenyataannya.
Mungkin, lain kali, kita tidak boleh menyukai suatu hal yang sama."

"Kau kira kau bisa membohongi perasaanmu sendiri?"

"Tidak juga, tapi setidaknya hanya satu
Di antara kita yang tersakiti."

"Aku terkadang masih bertanya-tanya.
Kenapa, kita harus terlahir, kembar?"

"Karena ... Tuhan menginginkan
Park Jaehyung dan Park Seongjin menghadapi cobaan dunia dengan saling melengkapi?"

"Aku tidak bisa melengkapimu, Park Seongjin, aku masih memiliki banyak kekurangan."

"Lalu aku apa, yang selalu Park Jaehyung temukan dalam keadaan tersiksa karena pandangannya?"

"Itu sudah menjadi reflek. Entahlah."

"Sadar atau tidak, Tuhan telah merencanakan ini semua dengan baik."

"Park Seongjin ... jangan membuatku menangis lagi."

"Aku serius, gadis itu ... pergi, tepat setelah kau
Menyelesaikan bait milik kita, bukan begitu?
Tepat setelahnya, kita akan merasa kehilangan bersama, memberikan persembahan lagu terakhir untuknya bersama, dan kita, akan menangis bersama-sama, kan?"

*

RAINDROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang