Chapter 3: Approval

3.3K 298 27
                                    

Keesokan harinya, Seungcheol masih mengantar Jihoon ke kampus. Itu menjadi rutinitasnya setiap hari, sebagai permintaan maafnya. Jihoon masih tampak tidak nyaman dengan keberadaannya. Berulang kali ia membalas ucapannya dengan dingin setelah itu memalingkan wajah dan langsung melesat ke dalam kampus.

Jihoon tidak tahu saja kalau Seungcheol sudah hafal kebiasaannya. Ia sudah mengalami hari-hari bersama gadis itu sejak SMA. Ia bisa memprediksi kalau setelah memalingkan wajahnya, setelah Seungcheol mencapai sepeda motornya, kekasihnya itu akan berbalik dan menatapnya sambil tersenyum.

Seungcheol tahu Jihoon juga rindu. Namun ia memilih untuk tidak bersikap agresif dan sedikit mengulurnya. Ia masih menghubunginya walau tak sesering dulu. Setidaknya ia pasti mengirim pesan setelah pulang dari kantor ayahnya atau sebelum jam tidur. Sebenarnya Seungcheol tidak akan tidur pada jam-jam itu, terlalu dini. Tapi itu waktunya bagi Jihoon, waktu yang wajar.

Jihoon akan membalasnya dengan sangat pendek dan hanya seperlunya saja. Seungcheol tidak pernah protes akan hal itu. Kekasihnya memang sudah seperti itu sejak dulu dan itu satu poin menariknya. Biasanya para gadis akan menghujani kekasih mereka dengan pertanyaan namun tidak bagi Jihoon. Ia tidak akan terlalu mengusik Seungcheol.

“Hoi, Choi Seungcheol!” panggil seseorang dari belakangnya.

Seungcheol menoleh dan menatap sosok itu tidak asing. Dia salah satu laki-laki yang bergabung dalam jajaran murid populer semasa sekolah.

Bersama dirinya.

“Soonyoung?” bingung Seungcheol. Seingatnya, temannya itu tidak berniat untuk melajutkan sekolah.

“Aku mendadak ingin sekolah,” balas laki-laki bermata sipit itu, “Dan ya, di sinilah aku.”

Seungcheol ber-oh ria sembari berjalan menghampiri teman semasa sekolahnya itu. Ia merangkul pundaknya santai dan memberikan remasan pelan pada lengannya.
“Apa yang merasuki otak pemalasmu sampai ingin sekolah lagi?” tanya Seungcheol sedikit merendahkan Soonyoung.

Soonyoung terkekeh pelan, “Aku juga tidak tahu. Tidak ada yang tahu soal hidup.”

“Benar juga,” angguk laki-laki di sebelahnya.

Mereka berjalan menuruni tangga kampus dengan begitu intim– maksudnya, intim untuk ukuran teman, saling merangkul.

“Kau masih berkencan dengan Jihoon?” tanya Soonyoung tiba-tiba.

“Tentu,” balas Seungcheol cepat.

Soonyoung berdehem pelan sementara ia melepas rangkulannya dari bahu Seungcheol.

“Dia sangat tahan banting,” puji Soonyoung dengan sisipan nada menyindir.

Seungcheol gantian terkekeh, “Memangnya apa yang kulakukan padanya?”

Laki-laki bermata sipit itu berbalik badan, berjalan mundur di hadapan Seungcheol seakan tidak takut kakinya akan tersandung sesuatu yang tidak ia lihat. Ia mengendikkan bahunya dan melempar lirikan ke samping.

“Entahlah. Kau kan tampan. Siapa tahu sekretaris cantik di perusahaan ayahmu juga menyimpan rasa padamu,” kelit Soonyoung.

“Tidak ada yang seperti itu. Mereka semua sudah berumur dan rata-rata memiliki tunangan.”

Kelitan demi kelitan itu diselingi dengan tawa canggung. Seungcheol mulai merasa sensitif dengan topik pembicaraannya.

“Aku setia pada Jihoon. Kau hanya tinggal menunggu undangan pernikahan tiba tepat di depan rumahmu.”

Soonyoung tidak lagi berjalan mundur, langkahnya sudah kembali seperti biasa dengan membelakangi teman lamanya. Mereka berpisah di depan kampus, di mana Soonyoung berjalan ke arah halte dan Seungcheol menghampiri sepeda motornya.

[√] After I Let You Go | JeongCheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang