Dinginnya cuaca pagi itu tidak melunturkan niat Seungcheol untuk menginjak gas mobilnya menjauhi Pyeongchang. Perjalanan yang mereka tempuh agak jauh. Namun Jihoon bersikeras untuk pulang pagi itu juga.
Keduanya sama-sama merasa bersalah satu sama lain, juga canggung. Mereka mungkin masih berstatus sebagai sepasang kekasih, namun perasaan itu malah muncul dan menciptakan dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Sepanjang jalan, Jihoon hanya terdiam di jok depan sambil menatap keluar jendela. Semakin jauh dari Pyeongchang, pemandangannya berubah menghangat. Kini salju telah tergantikan oleh pepohonan hijau.
Seungcheol sendiri juga tengah diam. Ia tidak sedang menikmati pemandangan yang ada karena indera penglihatannya itu tengah sibuk memandang jalan yang mereka lalui. Ia tidak ingin keadaannya menjadi lebih dramatis bila semisal terjadi kecelakaan lalu lintas.
Setelah beberapa jam berkendara, mereka berstirahat sejenak di pos jalan bebas hambatan. Jihoon mengeluarkan makanan ringan yang dibelinya sebelum kembali ke hotel di Pyeongchang dan membaginya dengan Seungcheol. Walaupun tangannya sudah terulur, namun ia tetap enggan menatap mata kekasihnya itu.
“Untukmu saja. Aku tidak lapar,” tolak Seungcheol.
Jihoon mendengus pelan. Ia juga sedang tidak ingin bicara dengannya selepas malam yang mungkin bisa dibilang sedikit mengecewakan itu. Jadi ia berpindah posisi dan duduk membelakangi Seungcheol, memakan sendiri makanan ringan itu dalam diam.
“Setiap aku mengajakmu kencan bermalam, pasti semuanya berubah kacau. Maafkan aku,” aku Seungcheol blak-blakan.
Saat ini Jihoon tidak sedang meminta sebuah permohonan maaf namun malah hal itu yang keluar dari mulut kekasihnya.
“Tidak apa-apa,” ketus Jihoon.
Sebenarnya Jihoon tidak ingin berkata ketus, tapi nada semacam itu keluar begitu saja, membuat suasananya semakin runyam. Seungcheol pasti akan mengira ia sedang marah. Jihoon bisa mendengar suara helaan kasar sekarang. Seungcheol pasti benar-benar merasa sebagai kekasih gagal sekarang.
“Aku yang salah. Harusnya dulu aku langsung menerimanya saja. Sekarang aku membuatmu ragu,” ujar Jihoon lagi.
Kekasihnya balas tertegun. Ia tidak sedang berpikir ke arah sana. Seungcheol bukan ragu karena Jihoon pernah menolaknya. Ia ragu karena merasa tidak pantas melakukan hal itu saat membandingkan status mereka dan refleksnya sendiri.
“Jihoon-ah,” panggil Seungcheol dibalas deheman singkat.
“Apakah kau benar-benar merasa beruntung karena memiliki kekasih sepertiku?”
Jihoon terdiam, agak lama. Ia tidak pernah menyangka kekasihnya akan melontarkan pertanyaan semacam itu. Kenapa ia merasa beruntung hanya dengan keberadaan Seungcheol di sisinya?
“Aku tidak tahu,” balas Jihoon, “Aku hanya merasa bahagia saat kau bersamaku dan itu membuatku merasa beruntung.”
Jihoon terkekeh pelan di tengah ucapannya. Rasa canggungnya perlahan sirna sendiri.
“Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapat dan aku bisa merasa bahagia hanya dengan berada di sisimu. Bukankah itu sebuah keberuntungan?”
Sebuah penjelasan yang mengena bagi Seungcheol. Ia tidak menyangka kekasihnya akan memberikan jawaban seperti itu dan terharu karenanya.
Seungcheol bukanlah seseorang yang melankolis, terbawa perasaan setiap menonton serial drama di televisi. Tapi ia sudah tersentuh hanya dengan mendengar definisi kebahagiaan seorang Lee Jihoon.
“Aku merasa bahagia di sisimu dan aku tidak pernah ragu untuk menghabiskan hidupku bersamamu,” ujar Jihoon lagi.
Seungcheol mengangguk pelan dan menahan air mata yang akan keluar dari pelupuknya. Mereka masih duduk saling membelakangi. Makanan ringan yang harusnya menjadi penunda lapar malah teranggurkan di pangkuan sang gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] After I Let You Go | JeongCheol
FanfictionChoi Seungcheol is a son of rich family. All he want to do is spending life with excitement. One frustating day, he dare himself to try special service in a nightclub. But there's only a carrier left there at that time. Carrier is a special person...