| Written on July, 21st 2018 |
.
.
.Alan menguap lebar saat kakinya melepas anak tangga terakhir. Dilihatnya ruang makan keluarga sepi dari keberadaan ayah ataupun ibu. Alan tahu, Minggu adalah jadwal tersibuk bagi sang ayah. Sibuk apalagi kalau bukan reunian rutin para karyawan pos pertanggal merah satu itu. Diliriknya jam. Baru pukul delapan dan Kanjeng Ratu masih belum pulang dari pasar. Alan mau berniat mandi tak kala matanya menangkap siluet dua manusia tengah bercengkrama mesra di balik dinding dapur.
"Renata nginap di sini lagi?", Alan bergumam. Hidungnya mencium bau wewangian teh dari arah sana. Serasa terpanggil, ia melangkah menuju ruang kecil tak jauh darinya berdiri sekarang. Baru saja kakinya berpijak di ambang pintu dapur, dua mahluk kasmaran di depan matanya tengah menyuguhkan pemandangan memuakkan menurut Alan.
"Aku maunya anak pertama kita perempuan. Dan untungnya, kata mbak Ratih, anak dalam kandungan kamu ini beneran perempuan, yang!" Brama merangkul istrinya dari arah belakang sembari dua tanganya mengelus perut sang istri dengan lembut.
Renata hanya terkekeh. Sedari tadi tangannya sibuk meracik teh dalam tiga gelas cangkir di atas meja makan, "masa sih, mas? Kok bisa?"
"Soalnya kamu lagi hobi tidur, yang. Mbak Ratih ngomongnya begitu."
"Ih! Apaan sih? Siap-siap gih kerja. Kemaren sudah telat. Masa hari nih mau telat lagi, sih?"
Brama makin mengeratkan pelukannya. "Ninggal kamu semenit berasa setahun."
"Mas Brama! Gombal, ih. Kerja sana! Nih cepatan teh hangatnya diminum."
"Iya! Iya! Nih sudah mau jalan!" Sigap Brama menyeruput secangkir teh hinga tandas. "Dah. Mas mau kerja dulu. Jangan kecapean kamu di rumah. Jaga bibit aku baik-baik ya, istriku."
Renata tersenyum, apalagi Brama. Hingga si penoton cuma bisa mendengkus keras-keras sambil bersedekap tangan di depan dada. "Bibit? Lo pikir lagi ternak lele. Tuh perut adek gue. Bukan kolam ikan."
Bukannya marah, justru Brama makin gemas mencubit pipi istrinya dengan lembut.
"Astaga! Pagi-pagi sudah umbar cinta kalian. Bisa gak, jangan nginap sini keseringan? Enggak juga kan aku harus liat pemandangan yang sama setiap pagi."
"Buruan nikah makanya. By the way, Pagi, Alan!" Sapa Brama. Dia tak mengindahkan ucapan Alan.
"Duduk sini. Renata sudah bikinin teh buat abang." Secangkir teh sudah terhidang di depan Alan.
"Enggak kerja lu, Ran?"
"Nih, baru mau berangkat kerja."
Renata menatap Brama cukup lama. Sesekali dua bola matanya melirik Alan. Brama yang paham cuma tersenyum. "Yang, berkas di atas meja kamar kita tolong kamu taruh di jok belakang mobil ya."
Tanpa ba bi bu, istrinya langsung melongos pergi. Sedang Brama malah menarik kursi di sebelah Alan dan menyeruput secangkir teh lagi.
"Lan? Kamu mau gak ngisi posisi manajer di Branch Corp? Aku lagi nyari orang karena dalam waktu dekat ini aku bakal gantikan mas Harmoko di kantor pusat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pantofel VS Sneakers
General Fiction-spinoff Well I Gave up maybe It's really You- ... "Yakin lu mau tanding lari pakai pantofel?" "Yakin. Dan lo? Elo yakin mau ke pelaminan bareng gue pakai sneakers?" . . . [On going] Judul : Fantofel VS Sneaker Genre : romcom Status : on going Sub-c...