No. 4

5.2K 549 9
                                        

| Written on July, 25th 2018 |
...


Reza bukan takut wanita, hanya saja dia takut menyakiti. Melati paham bagaimana karakter pria tersebut. Dekat atau jauh, jika ada masalah maka Melati adalah tujuan pelariannya.

Seperti sekarang, gadis berbaju t-shirt hitam itu menghempas bokong ke undakan batu semen pembatas taman setinggi tak lebih dari 10 cm di lahan depan Camel cafe. Reza mengabarinya lewat pesan singkat, bahwa ia butuh asupan energi--- istilah untuk 'mayday! I need your advices', menurutnya.

Melati melirik sekilas ke sisi sebelah, dimana Reza tengah memandang kosong ke arah jalan sepi sembari menghisap sebatang rokok. Pria berkulit sawo matang itu terlihat begitu maskulin dengan rahang kokoh dan beberapa bulu halus yang ia biarkan tumbuh di sekitaran rahang. Reza tampan. Sangat, bahkan. Sayangnya, kaku.

"Za! Kalau ada masalah lebih baik lo curhatnya ke gue. Daripada ngisap rokok gitu, banternya masalah lo cuma ngadet di otak mulu."

Reza meliriknya sekilas lalu dengan gerak santai dia membuang puntung rokok di tangan tepat ke selokan tak jauh dari mereka.

"Nyampah pula." Melati bergumam. "Masalah apalagi sih, Za? Buruan cerita! Gue mau cepet pulang nih. Jam tiga gue mau setor revisi ke prof Fauzan."

"Lo masih niat kuliah?" Reza memandangnya datar.

"Buset! Lo sangsi banget gue gak bisa wisuda akhir tahun?" Melati menepuk dada bangga. "Nih, Melati. Yang kalau sudah niat, disuruh mendaki gunung turunin lembah bareng Hatori pun gue jabanin."

"Otak lo lebih ramah soal duit daripada ribet mikir pentingnya ijazah buat masa depan lo."

Nah. Ini yang paling Melati benci. Kalau Reza sudah mulai ngelantur membicarakan betapa mulianya wacana pemerintah kita buat menyekolahkan anak-anak bangsa sampai ke negeri cina. Dipikir murah?!

"Duit penting, Za. Ijazah gue belum tentu laku di dunia kerja kalau gue lulus kuliah bentar. Lo liat sendirikan, Rian yang jadi lulusan terbaik sarjana hukum di kampusnya? Jangankan mau jadi pengacara kondang macam si Hotman Prancis ntuh, dapat beasiswa buat lanjut S2 aja susahnya minta ampun."

"By the way, karena Rian fokus buat nafkahi ibunya." Kilah Reza.

Melati memiringkan tubuh menghadap si pria. "Sampai buat dia nyerah, ditolak sana-sini? Gak ngaruh kali, Za! Lagian lo tahu kan si bos kece badai kita yang sayangnnya ngondek itu?! Maha agung Bapak Cris Rendra dengan segala lambaiannya. Dia lulusan sarjana komunikasi di Harvard, oi! And see! Dia memuseumkan ijazahnya di ruang kerja noh. Karena gak guna juga selain buat pajangan atau dipamer kalau ada yang liat."

Reza akhirnya menyerah. Yang tadinya niat mau curhat malah yang datang malah sibuk ngoceh tak kenal putus. "Ti!"

"Stop, panggil gue, Ti. Dikira gue Ati".

"Memang nama lo Ati."

"Gue cabut kalau lo panggil begitu lagi."

Reza tersenyum. Dan garis bawahi, hanya sepersekian detik. "Oke. Gue sudah ngerti apa yang harus gue lakukan sekarang."

Melati melongo. "Heh? Ngerti apaan? Boro-boro gue kasih solusi, lo nya aja belum curhat."

Pantofel VS SneakersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang