No. 5

4.6K 535 4
                                        

| Written on July, 27th 2018 |
...


Bagi Melati, rooftop kantor sebelah menjadi tempat terfavorit selain pantai. Tempat dimana ia bisa merehatkan diri dari segala kerumitan hidup di kota seperti Jakarta. Well, dia asli anak rantau. Jauh-jauh meninggalkan pulau terpencil di Kalimantan, hanya untuk mengadu nasib. Sudah enam tahun lamanya, dan dia baru menyadari jika Jakarta bukanlah lagi kota besar dimana kesempatan buat memperoleh pekerjaan bakal diraih tanpa perlu usaha berarti, seperti yang dialami oleh buyutnya dulu.

Persaingan memperoleh kesempatan semakin lama semakin sengit. Dimana, keterampilan tak butuh lagi banyak keberuntungan. Melati paham, satu kata itu tak akan banyak membantunya kecuali, hanya untuk membesarkan hati dikala gagal.

Kini dia memandang luas ke arah langit yang ia tatap. Melati sama sekali tak mengindahkan jika di sisi kanan dan kirinya ditempati oleh dua pria yang kini tengah berbagi kekesalan lewat tatapan mata.

"Ente ajak ane ke sini cuma buat lurusin masalah ente sama si gadis kurma?" Berkali-kali Geo menggelengkan kepala tak paham.

Sepuluh menit yang lalu, seperti adegan dari drama picisan yang sering ditonton Crish di ruang kerjanya, Melati memutar mata jengah tak kala adegan yang dilihatnya kembali terulang. Bak sepasang kekasih yang tengah merajuk dan merayu, begitulah yang dilakoni oleh Alan dan Geo.

Tak habis-habis Alan membujuk pria itu untuk mengikutinya menyambangi rooftop. Namun yang diminta terus-menurus menolak karena alasan klise---sibuk!

Geo kembali berdecak sebal, "kalian yang bermasalah, kenapa harus aku yang dilibatkan, sih?"

Ingin sekali Alan menamplok kepala Geo dengan keras. Mengingat, karena siapa juga dia sampai harus menahan geram karena disangka sebagai penyuka sesama jenis. "Bermasalah lo bilang?! Ya benar, masalah yang pastinya muncul juga berkat lo."

"Ane?"

"Lo lupa? Berkat lo nih cewek dekil nganggep kita berdua lagi jalanin hubungan terlarang. Oh, damn! Come on! Didn't you get my point, Yo?"

Geo menyerah. Dia kenal Alan. Mahluk keras kepala, manusia paling tak mau tahu sejagad raya, dan sayangnya dia berstatus sebagai sohib dunia akhiratnya. "Ane sebenarnya sibuk. Tapi ya sudah! Ane bantu luruskan."

Pria berhidung elang di depan Alan, menatap lembut ke arah Melati. Senyumnya mengembang, membuat Melati sedikit terkesiap di tempatnya berada. Pria itu, menurut Melati, tak bisa dikatakan biasa saja dengan wajah khas bak keturunan si raja Arab yang punya warisan harta tak kira-kira. Ya, Melati mengingatnya. Salah satu pangeran tampan negeri Saudi Arabia saat mereka melakukan kunjungan ke Indonesia. Dan rupa Geo hampir menyentuh kasta rupawan layaknya mereka.

"Kita belum kenalan?" Geo mengulurkan tangan.

Tersadar, Melati sigap menyambut uluran itu, "Saya Melati Shifanari."

"Geo Arfah Marzhandi. Kamu bisa panggil aku, Geo."

Alan yang mendengar selentingan obrolan dua mahluk yang baru saja kenal di depannya kini, mengerjapkan mata tak percaya. GEO! GEO! Aku? Kamu? Lo kesambet apaan, Yo?! Alan geram tak kala panggilan yang seratus persen bukan gaya si punuk onta itu, terlontar begitu saja dari mulutnya. Ya, ya. Alan mencium gelagat aneh dari manusia arab satu itu.

Pantofel VS SneakersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang