Bagian Satu

66K 3.4K 231
                                    

Assalamu'alaikum, Teman-teman. Mulai hari ini sampai beberapa hari ke depan, saya akan repost EK untuk mengingatkan teman-teman yang pernah mengikuti cerita ini atau yang belum pernah mengikuti pun paling tidak sedikit tahu jalan ceritanya. Karena akan diterbitkan, mohon maaf sekali, saya hanya me-repost separoh bagian dari bab keseluruhan. Yang saya posting ini adalah draft yang sudah saya revisi. Namun, belum sampai ke meja editor. Jadi, saat terbit nanti akan ada perbedaaannya.

***

"Aku ingin mengaku padamu," lelaki yang baru saja mempersuntingku itu meraih tanganku ketika kami sudah memasuki kamar, "maafkan aku karena harus mengatakan ini. Aku hanya tidak ingin membohongimu sejak awal."

Aku menahan napas. Dari kalimat yang diucapkannya, aku sudah paham akan ke mana arah pembicaraan itu bermuara.
Pernikahan kami memang tidak didasari cinta. Jika bukan karena ulah adiknya itu, lelaki berkulit sawo matang dengan hidung mancung yang terpahat sempurna ini tidak mungkin menikahi gadis desa sepertiku. Rasanya mustahil jika seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) bisa bersanding dengan wanita biasa yang hanya lulusan Sastra Indonesia.

Semua bermula karena kecelakaan yang menewaskan kedua orangtuaku, tepat sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri tahun 2009 silam. Kabar itu benar-benar membuat sendi-sendiku melemas. Aku jatuh terkulai di lorong rumah sakit ketika mengetahui Bapak dan Emak telah tiada. Tangisku sesegukan. Derai air mata terus bersimbah membasahi pipi hingga merembes mengenai hijab yang kukenakan asal-asalan. Pikiranku tak sanggup membayangkan bagaimana harus menjalani hari-hari tanpa mereka.

"Nak, maafkanlah anak kami. Dia masih terlalu muda. Usianya bahkan baru menginjak 15 tahun. Kami memang lengah karena membiarkan dia nekat menyetir mobil sendiri."

Wanita yang kutaksir berusia 50 tahun itu bersimpuh di kakiku. Raut wajah ayunya mengguratkan perasaan bersalah. Aku mencelus. Demi putranya, seorang ibu sanggup melakukan apa pun, bahkan sampai rela menyingkirkan harga dirinya.
Kuangkat tubuh wanita itu hingga duduk sejajar denganku yang masih berlesehan di lantai. "Bagaimanapun juga ini sudah menjadi takdir Allah, Bu. Allah saja mau mengampuni hamba-Nya yang berlumur dosa. Mengapa saya sampai tidak memaafkan putra Ibu?" Aku berusaha memaksakan senyum ke arahnya.

Dia tergugu. Sorot matanya berkilat penuh kelegaan. Sejurus kemudian, dia sudah memelukku erat. Rasanya seperti pelukan seorang ibu kepada putrinya. Aku termangu menyadari dekapan Emak yang tak bisa kurasakan lagi.

"Kami akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan putra kami, Nak. Kami akan membiayai kuliahmu, bahkan seluruh keperluanmu," janjinya terdengar lirih di telingaku.

Aku anak tunggal. Saat Bapak dan Emak tiada, aku baru duduk di semester lima. Meski aku kuliah karena bantuan beasiswa, mereka tetap menepati janjinya. Tiap bulan, sejumlah uang selalu mengucur ke rekeningku. Tidak tanggung-tanggung, mereka mengirimiku 3 juta per bulan. Saat mudik ke kampung halaman di Sragen, Jawa Tengah—yang juga tempat asalku—mereka akan mengunjungi dan mengajakku jalan-jalan. Entah sekadar membelikanku baju baru atau bahkan pergi ke tempat wisata yang belum pernah kukunjungi.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang