Bagian Tujuh

26.8K 2.8K 213
                                    

Surabaya, 2 Maret 2018

Wafi mendesis kesal saat code program yang diketiknya berhenti berjalan. Dia mengacak-acak rambut hitam tebal yang dipotong pendek belah samping itu. Diambilnya secangkir kopi yang berada di sebelah komputer. Lagi-lagi lelaki itu mendengus sebal saat mendapati kopi hitamnya tinggal ampas saja.

Wafi memilih meninggalkan komputernya. Dia tidak berniat menyisir bug (cacat dalam code program) saat ini karena keadaannya sedang tidak mendukung. Lebih baik dia turun ke bawah untuk mencari udara segar.

Ketika melenggang menuju pintu keluar, Wafi melihat kakak sulungnya, Salma, duduk di sofa ruang tamu sembari memainkan gawainya. Dia melirik arloji di tangan. Sudah pukul 10 malam. Langkah kaki jenjang lelaki itu berjalan mendekat.

"Punya suami yang super sibuk itu, istri harus setia menunggu di jam berapapun suaminya pulang, ya, Mbak? Duh, romantisnya," kata Wafi diakhiri dengan kekehan lirih. Lelaki itu mengambil tempat duduk di sebelah Salma.

Salma mengerling sekilas. Dia masih sibuk menggulir  ratusan chat di grup bidan yang baru sempat dibacanya. "Iya, dong. Makanya buruan nikah. Nanti pas kamu sudah nikah, istrimu pasti akan setia menemani suaminya yang lagi duduk di depan meja komputer," sahut Salma mengompori.

"Kedengarannya enak, sih, Mbak. Tapi beneran dia bakal sabar nemenin suaminya yang lagi sibuk coding? Atau jangan-jangan dia terus melirik tajam suaminya karena terlalu konsentrasi di depan komputer?" tanya Wafi seraya merebahkan kepalanya di sandaran sofa.

"Nyari istri yang sabar dong, Fi. Yang bisa menerimamu apa adanya," balas Salma. Diletakkannya benda tipis itu di meja. Dia memiringkan tubuhnya menghadap Wafi. "Habis ini, kamu bakal kerja di mana? Atau bangun usaha sendiri?"

"Rencanaku, sih, mau bangun project sendiri, Mbak. Nanti aku bakal rekrut adik-adik tingkat yang baru saja lulus atau mau wisuda. Ini lebih enak ketimbang kerja di bawah tekanan bos."

Sebetulnya sudah ada perusahaan IT di Jakarta yang menawarinya kerja di sana. Sebelum melanjutkan studi S2 di Korea, Wafi memang sempat menjadi programmer selama setahun di perusahaan besar tersebut. Namun, dia memilih menjadi software developer yang bekerja tidak di bawah tekanan bos. Membangun proyek sendiri justru akan membuatnya terus bisa bereksperimen dan berinovasi, sekalipun di awal merintis pasti ada masa jatuh bangunnya.

"Terserah kamu sajalah. Yang penting proposal nikah jangan lupa disetor ke Ustaz Zaki. Beliau kemarin tanya, kapan kamu ngirim proposal nikahnya."

Wafi terkekeh. "Aku lebih milih nyari sendiri saja, Mbak. Aku khawatir proposal nikahku isinya cuman code program. Baru buka halaman satu saja, dia pasti langsung membuang proposalnya," gurau lelaki itu.

Salma menatap serius adiknya. "Memang kamu sudah punya calon? Jangan bilang selama di Korea kamu pacaran."

Wafi menegakkan tubuhnya. "Ya, nggaklah, Mbak. Aku tetap jomblo sampai halal, kok. Nyari sendiri bukan berarti harus pedekate apalagi sampai pacaran. Kan, bisa diam-diam mengamati. Begitu sudah oke, langsung lamar." Dia memainkan alis tebalnya.

"Terus yang diamati diam-diam itu, sudah oke belum? Kalau sudah, tinggal ngomong sama Mas Chandra biar jadi mediator buat lamar dia."

Sekelebat, Wafi jadi teringat dengan si pemilik dua lesung pipit samar yang tengah tersenyum pada muridnya. Wafi langsung menggelengkan kepala berulang kali. Dalam hati, dia merutuki pikiran konyolnya karena masih mengingat wanita yang sudah bersuami.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang