Bagian Dua Belas

28.4K 3K 232
                                    

Jakarta, 5 April 2018

Suara merdu Shayne Ward memecah pertengahan malam. Irfan yang baru sejam tertidur, mengerjapkan matanya. Tangan kukuh itu meraih gawai di atas nakas. Dia spontan bangkit saat suara di seberang memberitahu sesuatu setelah layar digeser ke kanan.

"Baik, Sus. Saya akan segera ke sana. Pastikan pasien tetap dalam keadaan tenang."

Andina ikut terbangun. Diangkatnya tubuh yang sudah bertambah beberapa kilo itu agak sempoyongan. Dia memerhatikan Irfan yang mengenakan celana bahan dan kemeja sekilat mungkin. Lampu temaram sudah berganti benderang setelah Andina menekan saklar di sebelahnya.

"Mas Irfan mau pergi lagi?" tanyanya dengan nada kecewa. Irfan baru pulang dua jam yang lalu. Dan sekarang, suaminya itu hendak kembali lagi ke rumah sakit.

"Pasienku mengalami pendarahan berat dan juga kram di bagian perut, Andina. Usia kandungannya baru 25 minggu. Sudah 8 tahun dia sangat menantikan momongan. Aku harus menyelamatkan ibu dan calon bayinya," terang Irfan sembari mengancingkan kemaja abu-abu itu dengan cepat.

Air muka Andina mengeras. Memiliki suami seorang dokter spesialis obgyn memang harus siap ditinggal kapan pun. Hampir tiap malam, Irfan seringkali pulang larut malam. Terkadang baru sampai di rumah, lelaki itu sudah pergi lagi karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit.

"Apa di rumah sakit itu tidak ada dokter obgyn lain?" tanya Andina tajam. Kesabaran wanita itu habis sudah. Perutnya semakin membesar. Ditinggal suami dengan kondisi mendekati masa persalinan membuat Andina tak mampu lagi memahami pekerjaan suaminya.

Irfan menatap tajam Andina. "Dia pasienku, Andina. Dia memercayakan semua dari sebelum hamil hingga sekarang harus mengalami pendarahan kepadaku."

"Bagaimana kalau istrimu nanti melahirkan, Mas? Usia kehamilanku sudah mendekati HPL. Aku ingatkan Mas Irfan kalau lupa kapan HPL-nya."

"Usia kehamilanmu baru 36 minggu, Andina. Saat ini pasienku sangat butuh pertolonganku. Aku harap kamu bisa mengerti."

Irfan tak mengacuhkan rajukan Andina. Segera disambarnya tas kerja, lalu melenggang cepat menuju pintu.

"Kapan Mas Irfan akan menghapus foto Wulan?"

Pertanyaan tiba-tiba Andina itu seketika menghentikan langkah Irfan. Tatapan tajam langsung terhunus tepat di manik mata Andina. "Kenapa kamu menanyakan itu? Aku jelas tidak mungkin menghapus fotonya jika di sana ada foto anak-anakku," balas Irfan dingin.

"Aku masih bisa memaklumi jika di dalam foto itu ada anak-anak, Mas. Tapi, di HP Mas Irfan itu masih ada foto Wulan. Hanya foto Wulan. Jangan dipikir aku tidak tahu soal itu." Andina sudah tidak tahan lagi untuk mengeluarkan sesuatu yang mengganjalnya akhir-akhir ini.

Irfan meraup wajahnya kasar. Dia menghela napas panjang. "Pasienku sudah menunggu pertolonganku, Andina. Aku tidak punya waktu untuk mendengar ceracauanmu itu. Lekaslah tidur. Aku pergi dulu."

***

Surabaya, 14 April 2018

Sinar mentari menerobos ke sela-sela rerimbunan daun. Cahayanya ditangkap riak-riak kecil danau buatan, menciptakan kerlap keperakan di beberapa bagian. Bayangan pepohonan yang berjajar mengelilingi danau memantul samar di balik permukaan air.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang