Bagian Sembilan

26.6K 2.6K 236
                                    

Surabaya, 8 Maret 2018

Wulan hanya memandang layar laptop dengan pandangan yang kosong. Draft novelnya baru sampai bab lima. Masuk ke bab enam, Wulan kesusahan untuk memulai paragraf pertama. Berkali-kali dia menghapus kalimat yang sudah ditulisnya. Entah mengapa, serasa tidak ada yang pas.

Wulan mengembuskan napas lelah. Telunjuknya menggeser kursor untuk memunculkan aplikasi iTunes yang tengah memutar nasyid-nasyid kesukaannya. Wulan terpaku saat kursor itu bergerak menuju lagu pertama pada music player—satu-satunya lagu barat yang masih terus mengisi play list selama dua tahun ini. Lagu Shayne Ward dengan judul "Breathless" itu selalu nangkring di posisi paling atas. Inginnya Wulan menghapus lagu itu. Namun, jemarinya mendadak kaku saat hendak menekan "remove". Selalu saja begitu.

"Lagu ini sangat cocok untukmu, Dik," kata Irfan suatu hari. Lelaki itu memasangkan earphone ke sebelah telinga Wulan yang sudah melepas hijabnya. Sementara earphone bagian kanan dipasangkan ke sebelah telinga kiri Irfan.

"Bagaimana? Lagu ini memang sangat cocok untukmu, kan?" tanya Irfan dengan senyum yang lebar setelah lagu milik Shayne Ward berhenti memutar.

Wulan mengenyahkan bayangan itu. Tidak ada gunanya dia mengingat kata-kata yang pernah diucapkan Irfan. Dia juga tidak mengerti apa maksud lelaki itu mengatakan lagu "Breathless" sangat cocok untuknya. Telunjuk lentik itu bergeser asal dengan meng-klik nasyid lawas milik Edcoustic berjudul "Muhasabah Cinta". Lagu-lagu seperti inilah yang cocok untuk diperdengarkannya saat ini. Bukan malah lagu yang disukai lelaki itu.

"Bun ...," suara Agha membuat Wulan menoleh. Sedari tadi Agha memang ada di sebelahnya. Sulungnya itu tengah asyik menggambar. Dia enggan menyusul kedua adiknya yang sudah terlelap. Sehabis pulang menjemput Agha di sekolah, Firas dan Safia langsung tidur di kamar.

"Ada apa, Mas?" Wulan melepas headphone, lalu meletakkannya di lantai. Meja untuk laptop ini memang sangat mungil sekali. Ukurannya hampir sama dengan besar laptop. Sebuah meja mini dengan kaki yang pendek sehingga Wulan bisa duduk lesehan menghadap laptop.

"Tadi di sekolah, temanku bilang kalau sepatuku jelek," ungkap Agha dengan wajah murung.

Wulan terhenyak. Dia memutar badannya, berhadapan dengan Agha. Kedua tangan Wulan memegang bahu putranya yang berumur 6 tahun itu.
"Tapi, Mas Agha ndak apa-apa, kan, sepatunya dibilang jelek sama temannya?"

"Ndak apa-apa. Kata Bunda, Mas Agha harus selalu bersyukur. Kata Bunda juga, Mas Agha harus bangga sama barang yang kita punya."

Wulan memandang haru putranya. Dia menyunggingkan senyum. "Mas Agha memang anak pintar dan sholeh," dia mengeluskan rambut tebal Agha, "apa pun yang kita punya memang harus disyukuri. Nanti kalau kita bersyukur, Allah pasti akan menambah dengan yang lebih baik. Jadi, Mas Agha yang sabar, ya. Mas Agha juga harus bangga dengan sepatunya walaupun dibilang jelek sama temannya. Sepatu Mas Agha masih bagus, kok."

Agha mengangguk mantap. Wulan memeluk tubuh mungil putranya. Mata teduh itu berkaca-kaca. Seringkali dia dibuat kagum dengan pemikiran Agha yang jauh lebih dewasa dari anak seusianya. Jika Wulan merasa lemah, anak-anak lah yang membuatnya bisa sekuat sekarang.

Sepatu hitam milik Agha memang hanya dibeli Wulan seharga 60 ribu saat Agha masuk TK delapan bulan yang lalu. Mungkin teman-teman Agha di sekolah membeli sepatu yang sering diiklankan di televisi dengan hadiah mainan mobil atau pesawat jet yang bisa dikendalikan remote control.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang