Bagian Enam

28K 2.6K 226
                                    

Jakarta, 4 Desember 2015

Wulan hanya termenung di atas balkon. Kedua tangannya bertumpu pada pagar pembatas. Lautan gemintang yang berkerlap-kerlip di langit yang kelam, tak jua diacuhkannya. Pikiran wanita itu justru terfokus pada banyak pertanyaan yang bergumul di kepalanya.

Sejak Irfan pulang terlambat tanpa memberi kabar malam itu, Wulan bisa menangkap ada yang ganjil dari suaminya. Lelaki itu masih bersikap hangat dan perhatian pada istri dan anak-anaknya. Dia juga tak segan memeluk atau memberikan kecupan di kening Wulan. Namun, insting seorang istri tak salah menilai. Bukan sekali atau dua kali Wulan mendapati suaminya tengah melamun. Kadang, diajak berbicara pun dia tidak bisa fokus. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu.

Wulan menghela napas panjang. Dia merapatkan kardigan cokelat tua di bagian leher saat angin berdesir dari arah utara. Hawa dingin menelusup ke dalam kain hijabnya yang tipis, menembus hingga lapisan epidermis. Menciptakan sensasi sedikit gigil yang menggelitik.

Pelan-pelan Wulan meraba perutnya yang masih rata. Sesosok makhluk mungil tengah tumbuh di dalam sana. Wulan baru mengetahui kehadirannya 3 hari lalu saat menyadari jadwal menstruasi terlambat 5 hari. Hingga kini, dia belum memberitahu kabar tersebut pada Irfan. Melihat suaminya sering murung akhir-akhir ini membuatnya enggan mengabarkan berita bahagia itu. Mungkin menunggu sampai keadaan suaminya kembali membaik. Tapi, sampai kapan? batinnya getir.

Wulan tersentak saat seseorang memeluknya dari belakang. Aroma lemon yang segar menguar. Bau menthol terhidu dari rambutnya yang masih basah. Lelaki yang tengah mendekapnya ini memang baru pulang setengah jam yang lalu.

"Memang kamu tidak kedinginan, Dik? Di luar, kan, dingin," katanya pelan. Manik hitam kecokelatan itu melempar pandangannya pada hamparan langit. "Tapi, langit malam ini memang cerah. Bintang-bintang berkerlip indah di atas sana. Kamu pasti suka melihat pemandangan seperti ini."

Wulan hanya bergeming.

Hening kembali menyergap. Beberapa menit berlalu, mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing.

Irfan menarik napas dalam, lalu mengembuskan panjang. "Dik ...."

"Hm ...."

Irfan membalikkan tubuh Wulan. Dia menunduk, menatap lekat istrinya. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."

Wulan membeku. Benaknya meyakini, sesuatu itu pasti yang berhubungan dengan yang mengganggu pikiran suaminya akhir-akhir ini. Wulan hanya pasrah saja saat Irfan merangkulnya untuk duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu jati. Di kursi ini, mereka bisa jenak berlama-lama menatap langit yang bertabur bintang atau rembulan yang berpendar sempurna. Di kursi ini pula, Irfan akan ikut bergabung saat Wulan terbangun untuk menyelesaikan cerpennya. 'Aku kesulitan tidur jika mendapatimu tidak ada di dekatku', itu kalimat yang selalu diutarakannya tiap kali Irfan menyusulnya di balkon.

Rasanya manis sekali. Kursi berukuran satu setengah meter ini menjelma sebagai tempat duduk paling romantis bagi Wulan. Namun, sepertinya tidak dengan malam ini.

"Namanya Andina ...," Irfan memulai cerita.

Wulan menelan ludah. Jemarinya memilin ujung kardigan. Selama ini, Irfan tidak pernah memberitahu siapa sosok yang menghuni di hati lelaki itu. Menyebut namanya secantik itu, membuat hati Wulan berdesir nyeri.

"Dia adik tingkatku saat masih SMA. Aku bertemu pertama kali dengannya saat dia menangis di balik pohon di dekat sekolah kami. Waktu itu aku melihat dahinya lebam."

Wulan menoleh. Dia terkejut. Dia pikir, pertemuan Irfan dengan cinta pertamanya seperti novel romance yang biasa dibacanya. Entah bermula karena tabrakan yang tak sengaja, buku yang tertukar atau berawal dari permusuhan.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang