Bagian Delapan

27.2K 2.8K 354
                                    

Jakarta, 17 Januari 2016

"Aku sudah bercerai dari istriku ...."

Andina menoleh. Dia sedikit terbeliak. Wanita bertubuh tinggi sedang itu tidak menyangka jika Irfan benar-benar bercerai dari istrinya. Apa yang pernah dikatakan Andina di taman kompleks waktu itu sebetulnya hanyalah cara tegas untuk menolak Irfan agar tidak ikut terlibat dalam kehidupannya. Entah mengapa, Andina justru meyakini, perceraian mereka terjadi mungkin karena kesalahpahaman saja. Dia mengenal Irfan. Lelaki itu tidak akan menceraikan seseorang yang sudah dipilihnya hanya demi bersama wanita lain. Irfan bukan lelaki setega itu.

"Hubungan kami mungkin bermasalah sejak awal. Aku terlalu mengabaikan soal itu karena meyakini semua akan baik-baik saja seiring dengan kebersamaan kami. Kupikir dengan sikap perhatianku padanya, dia bisa melupakan kejadian kecelakaan yang menewaskan kedua orangtuanya waktu itu. Tapi sepertinya, dia belum bisa memaafkan keluarga kami sepenuhnya. Sampai sekarang saja, dia masih belum bisa mencintaiku," kata Irfan dengan senyum yang getir. Dia tidak tahan untuk mengungkap kegundahan yang menjeratnya selama lebih dari sebulan ini. Mungkin dia seperti pria galau yang butuh tempat untuk berbagi.

Sejak mengucap cerai hari pagi itu, Irfan semakin meyakini jika Wulan memang tidak memiliki perasaan dengannya. Setiap hari, dia selalu menyempatkan datang untuk mengunjungi anak-anaknya. Namun, sikap Wulan sangat biasa sekali. Tidak ada gurat kesedihan ataupun kehilangan yang membingkai wajah ovalnya.

Terkadang di hari Minggu, Irfan akan sengaja memakirkan mobil agak jauh sehingga dia bisa diam-diam mengamati Wulan. Mengetahui Wulan yang masih bisa tersenyum lebar saat bermain bola bersama kedua putranya, semakin menunjukkan jika wanita itu terlihat baik-baik saja meski sudah berpisah dengannya.

Irfan masih berharap ada kesempatan bagi mereka untuk rujuk sekalipun berkas gugatan cerai sudah diproses di pengadilan. Irfan memang belum yakin betul jika dia sudah mencintai Wulan sepenuhnya. Namun, mendapati Wulan yang tampak baik-baik saja setelah bercerai darinya, benar-benar mengganggu pikiran Irfan. Membuat keinginan lelaki itu untuk kembali semakin menciut. Nyalinya untuk mengajak Wulan rujuk, padam sudah.

Irfan tahu, perpisahan mereka akan berdampak tidak baik bagi kedua putranya yang masih balita. Namun, sikap Wulan itu justru mengaburkan harapannya untuk bisa kembali lagi. Irfan masih bisa mengingat bagaimana gestur tenang yang diperlihatkan Wulan saat wanita itu menagih untuk satu kata 'cerai' yang belum terucap dari bibir Irfan malam itu.

"Saat aku turun ke bawah untuk ambil minum, aku baru ingat kalau Mas Irfan belum mengucap cerai untukku," kata Wulan setelah mereka baru saja selesai sarapan pagi. Meja makan sudah dibersihkan. Mereka duduk saling berhadapan.

Wulan tersenyum. "Aku bukannya kembali ke kamar, malah ketiduran di kamar anak-anak karena Firas terbangun lagi," ungkapnya dengan sunggingan bibir yang lebih lebar lagi.

Irfan hanya mematung. Dia pikir, ajakan perpisahan yang dikatakan Wulan malam lalu hanyalah sekadar emosi sesaat saja. Namun, perkiraannya salah. Wulan benar-benar mengajaknya untuk mengakhiri hubungan mereka.

Wulan menatap lekat pada manik kelam suaminya. "Mas Irfan bisa menceraikanku sekarang," tuntutnya dengan nada biasa.

Irfan tertegun. Dia hanya bergeming menatap lama istrinya. Air muka Wulan begitu tenang. Irfan berusaha menyelami sorot hitam kecokelatan itu. Barangkali dia menemukan kebohongan di sana. Dia pernah mendengar, mulut wanita itu seringkali berbeda dengan isi hatinya. Namun, semakin dia berusaha menerka-nerka di balik kilat teduh itu, justru hanya kekecewaan yang dia dapat. Wulan bahkan berani memandangnya. Seolah itu sudah cukup menunjukkan jika istrinya memang menginginkan perpisahan.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang