Bagian Empat

28.6K 2.1K 73
                                    

Jakarta, 28 November 2015

Andina mengerang frustrasi. Azdan, bungsunya yang baru berusia 11 bulan itu terus saja menangis. Dia tidak mau disusui. Digendong pun selalu berontak. Andina menyerah hingga membiarkan putra kecilnya itu tertidur di atas kasur dengan tangis yang semakin kencang.

"Biar saya yang coba tenangkan Den Azdan, Nyonya." Mbok Suti, asisten rumah tangga di rumah Andina tidak sampai hati membiarkan Azdan hanya dibiarkan menangis di atas kasur. Sedari tadi, dia memang menemani Andina di kamar. Namun, majikannya itu tidak mengijinkan Mbok Suti menyentuh Azdan.

Andina malah menangis histeris. Mbok Suti tidak jadi mengambil Azdan. Suara bel dari pintu luar menyeret langkah Mbok Suti keluar dari kamar besar di lantai satu itu.

"Biar aku saja yang buka, Mbok." Gibran yang ada di ruang tengah bersama kedua adiknya langsung berlari menuju pintu di ruang tamu. Anak lelaki berusia 9 tahun itu sontak terbeliak saat mengetahui siapa sosok di balik pintu.

"Ayah!" Gibran langsung memeluk Henry erat. Dia luapkan rasa rindu setelah 10 hari tidak bertemu dengan ayahnya. Saat tahu keberadaan anak-anak dan mantan istrinya di Jakarta, lelaki jangkung itu langsung terbang menuju Ibukota. Sesampainya di sini, pintu pagar belum dikunci. Henry bergegas memasuki pekarangan rumah. Tak sabar untuk bertemu dengan keempat putranya.

Abyan dan Athar lantas berlari kecil ketika tahu seseorang yang berada di ruang tamu adalah ayahnya. Mereka saling berpelukan erat. Henry berkaca-kaca. Berjauhan dengan darah dagingnya serasa seperti tanaman yang tercerabut dari akarnya. Henry merasa tak sanggup. Saat tahu Andina membawa pergi anak-anaknya, Henry langsung mencari tahu keberadaan mereka. Tidak sulit bagi seorang Henry untuk menemukan di mana mereka sekarang.

Henry melepas pelukan pada ketiga putranya saat menyadari suara tangis Azdan dari arah kamar utama. "Ayah lihat adek Azdan dulu, ya? Kalian di sini saja."

Langkah kaki jenjang Henry tergopoh menuju kamar utama yang pintunya terbuka. Tangis Andina sudah reda. Leleran air mata masih membekas di pipinya. Wanita itu sontak menatap tajam Henry yang sudah memasuki kamar, mendekati Azdan yang hanya dibiarkan menangis di atas ranjang. Jarak kamar utama dengan ruang tamu tidak begitu jauh. Andina sudah tahu jika Henry datang ke rumahnya. Dia tidak heran jika Henry akan menemukan keberadaan mereka secepat ini.

"Jangan sentuh anakku!" sergah Andina, mencegah Henry mengambil Azdan. Dia hendak meraih bayinya. Namun, kalah cepat dengan Henry yang sudah menggendong Azdan.

"Aku bilang jangan sentuh anakku!" Andina berusaha merebut Azdan dalam gendongan Henry. Tangan lelaki itu begitu kuat. Azdan masih tetap dalam dekapan ayahnya.

"Azdan juga anakku. Dia tidak akan muncul kalau kita tidak bekerja sama," jawab Henry sekenanya. Tangan besar Henry memeriksa dahi Azdan setelah menyadari dekapannya yang terasa hangat. Mata tajam lelaki itu sontak melebar.

"Azdan demam, Andina. Dan kamu biarkan dia begitu saja?" Sorot kecewa berkilat-kilat dari manik kelam Henry.

Andina terpaku. Dia tidak tahu jika Azdan demam. Tadi saat menangis, Azdan belum demam. Memang sedikit hangat. Andina pikir, suhunya meningkat karena Azdan yang terlalu lama menangis.

"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!" ajak Henry tanpa pikir panjang.

"Biar aku saja yang bawa ke rumah sakit. Kamu tidak perlu mengurusi kami lagi," cegah Andina keras.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang